Rasulullah ﷺ Nabi Pembawa Syariat Terakhir

Oleh : Hadhrat Mirza Bashir Ahmad ra.[1]

فَقَالَ لَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَشْهَدُ أَنِّي سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنِّي آخِرُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ مَسْجِدِي آخِرُ الْمَسَاجِدِ

 

Maka Abdullah bin Ibrahim berkata kepada kami, “Aku bersaksi, bahwa aku telah mendengar Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku adalah Nabi yang terakhir, dan masjidku juga merupakan masjid yang terakhir.”(H.R.Muslim, No.2471-Kitab Haji)

Penjelasan:

Dalam hadis yang latif ini Yang Mulia Rasulullah bersabda bahwa beliau adalah nabi terakhir yang membawa syariat, dan sesudah beliau tidak akan ada seorang nabi yang diutus untuk mengakhiri atau memansukhkan masa kenabian beliau, dan tidak pula akan menandingi beliau untuk memulai suatu masa kenabian yang baru.

Bahkan, bila seorang muslih (reformer) diutus, dia harus berasal dari antara umat Rasulullah ; sebagai murid dan khadim syariat beliau; bernaung di dalam benteng dan ruang lingkup masa kenabian beliau, dan bukan di luarnya.

Untuk menjelaskan masalah yang sangat halus ini Rasulullah telah menambahkan ungkapan:

مَسْجِدِ هٰذَا آخِرُ الْمَسَاجِدِ

Artinya: “Dan Masjidku ini(di Madinah) adalah masjid yang terakhir.”

Jelas sekali bahwa ungkapan ini sama sekali tidak mendukung itikad bahwa di permukaan bumi ini tidak akan pernah didirikan masjid yang lain, hal ini terbukti dari fakta dan peristiwa yang telah terjadi kemudian. Sebaliknya ungkapan itu mengandung arti bahwa tidak akan ada sebuah masjid pun yang berlawanan dengan masjid beliau , dan semua masjid yang bakal datang akan didirikan sejalan dan mengikuti pola masjid beliau. Masjid-masjid itu seolah-olah merupakan penggandaan dan bayangan masjid Nabawi. Demikian pula halnya dengan ungkapan: إِنِّي آخِرُ الْأَنْبِيَاءِ artinya: “Sesungguhnya aku adalah yang terakhir dari nabi-nabi.”

Maksudnya bahwa di kemudian hari tidak akan diutus seorang nabi yang bukan pengikut beliau serta berlawanan dengan kenabian beliau . Bahkan, bila seorang nabi akan diutus pasti berasal dari antara murid-murid beliau, seolah-olah merupakan bayangan atau bagian dari pribadi beliau sendiri.

Betapa dalamnya kandungan falsafah Khatamannabiyyin yang diterangkan dalam ayat Al-Quran. Bila kita simak dengan seksama makna dan mafhum ungkapan: مَسْجِدِ هٰذَا آخِرُ الْمَسَاجِدِ Yakni, masjidku ini adalah masjid yang terakhir, seraya tidak bersikukuh mempertahankan maknanya secara harfiah; sementara puluhan ribu masjid telah didirikan di negeri-negeri Islam setelah masjid beliau yang berada di kota Madinah; bagaimana mungkin anugerah pangkat kenabian – yang dikaruniakan kepada seorang hamba sahaya yang juga murid yang ditunjuk oleh beliau dari antara umat beliau sendiri – dapat dianggap bertentangan dengan falsaah khatamannabiyyinatau tidak selaras dengan jiwa hadis,

إِنِّيْ آخِرُ الْأَنْبِيَاء Artinya, sesungguhnya aku adalah yang terakhir dari antara nabi-nabi.”

Karena itu hadis ini dengan indah telah mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad   adalah pembawa syariat terakhir dan tidak ada nabi yang akan dating sesudah beliau yang berdiri sendiri lepas dari ikatan nubuwah beliau serta mengikuti syariat yang lain dari Islam; dan sesungguhnya masjid beliau di Madinah adalah yang terakhir dan tidak aka nada lagi masjid yang menandingi kemuliaannya.

Sepintas kilas akan nampak bahwa sungguh tidak sepadan dengan martabat Rasulullah bila beliau dianggap sebagai penutup nikmat-nikmat yang telah mengalir sejak dahulu kala. Bahkan, keagungan martabat beliau menuntut agar semua saluran mata air karunia dan nikmat yang dahulu terpisah-pisah dan terbatas (untuk satu kaum) itu, kini oleh beliau dihentikan dan sesudah itu selanjutnya oleh beliau dikucurkan dari sebuah sungai yang amat luas; (sungai) yang merupakan tamsil dari wujud dan pribadi agung Rasulullah .

Dan, inilah penjelasan yang sangat berharga yang telah dikemukakan oleh para ulama Islam terkemuka dan mujadid-mujadid besar pada permulaan tiap abad.

1.                  Hadhrat Syaikh Akbar Muhyidin Ibnul Arabi (560-638 H) berkata:

أَلنُّبُوَّةُ الَّتِيْ إِنْقَطَعَتْ بِوُجُوْدِ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنَّمَا هِيَ نُبُوَّةُ التَّشْرِيْعِ

Artinya: “Bahwasannya kenabian yang telah tertutup dengan kedatangan diri Rasulullah , sesungguhnya itu hanyalah kenabian yang mengandung syariat.” (Futuhat Al-Makiyah)

2.                  Hadhrat Imam Abdul Wahab Sya’rani (wafat 976 H) berkata:

إِنَّ مُطْلَقَ النُّبُوَّةِ لَمْ تَرْتَفِعْ وَ إِنَّمَ ارْتَفَعَتْ نُبُوَّةُ التَّشْرِيْعِ

Artinya: “Sesungguhnya sesudahnya (Yang Mulia Rasulullah ) tidak semua macam kenabian tertutup, dan yang ditutup ialah kenabian yang mengandung syariat saja.”

3.                  Hadhrat Syaikh Ahmad Sarhindi, Mujadid abad ke XI (wafat 1034 H). Berkata dalam bahasa parsi:

Hashuli kamalati nubuwwat martabi’an ra ba – thariqi tali’ yat wa urrisat ba’d az bi’sati khatamurrusul munafi khatmiyati au nist, fala takun mumtarin.” (Makhtubat Ahmadiyya).

Artinya: memperoleh kesempurnaan kenabian – sesudah kedatangan khatamunnabiyyin Muhammad – oleh pengikut-pengikutnya dengan jalan waris dan taat kepada beliau sama sekali tidak bertentangan dengan khatamunnubuwwat dan engkau janganlah menjadi diantara orang-orang yang ragu.”

4.            Hadhrat Shah Waliullah Muhaddas Dehlawi, Mujadid abad ke XII, (1114-1176 H), berkata:

خُتِمَ بِهِ النَّبِيُّوْنَ أَيْ لاَ يُوْجَدُ مَنْ يَأْمُرُهُ اللّٰهُ سُبْحَانَهُ بِالتَّشْرِيْعِ عَلَى النَّاسِ

Artinya: habislah dengannya(kedatangan Nabi Muhammad ) nabi-nabi, itu hanya bermaksud bahwa tidak ada seorang pun yang akan diperintah Allah untuk membawa syari’at baru bagi manusia.” (Tafhimati Ilahiyyah).

Maka, tidak diragukan lagi dan dengan yakin dapat disimpulkan bahwa inilah pendirian dan itikad yang benar dan shahih, yakni segala sifat kenabian telah sempurna dalam diri Yang Mulia Nabi Muhammad dan sesudah beliau tiada seorang nabi melainkan seorang hamba Allah yang menjadi murid dan pengikut beliau yang berkat keitaatan dan pengkhidmatannya kepada beliau , hamba Allah ini mewarisi nikmat kenabian itu.

Alangkah berbahagianya bila umat Islam secara umum dapat memahami hal ini.



[1]Dikutip dari buku Empat Puluh Permata Hadits karya Hadhrat Mirza Bashir Ahmad ra. terjemah oleh Mln. Malik Aziz Ahmad Khan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *