PENDAHULUAN
Sekitar enam belas hari yang lalu, saya menerima sebuah e-mail dari Mln. Luthfi Julian Putra yang diforward dari milist ahmadi-ina berkenaan dengan perbedaan antara nabī dan rasūl. Penulis e-mail itu adalah Bpk. Darisman Broto dari Kebayoran. Beliau sejatinya hanya menyalin sebuah artikel yang ditulis oleh seorang ġair Aḥmadī yang berisi lima point yang menurut ġair Aḥmadī itu adalah dalil-dalil yang membuktikan bahwa nabī dan rasūl merupakan dua personifikasi yang berbeda. Setelah saya cek, saya menemukan artikel itu pada aslinya terdapat di http://al-atsariyyah.com/5-perbedaan-antara-nabi-dan-rasul.html. Ternyata, seusai dicermati, saya mendapati bahwa argumentasi-argumentasi penulis tersebut dibangun di atas fondasi yang sangat lemah dan rapuh, bahkan cenderung sembrono. Saya sudah melakukan riset dari buku-buku para ‘ulamā’ mutaqaddimīn yang menyanggah argumentasi-argumentasi penulis itu. Untuk lebih jelasnya, pembaca bisa melihatnya di bagian pembahasan nanti.
Saya sebenarnya cukup menyesal karena baru bisa menyelesaikan tulisan ini pada hari ini, sekitar enam belas hari setelah saya mendapat e-mail itu. Saya seharusnya bisa menyelesaikannya dalam jangka waktu tiga-empat hari, atau maksimal satu minggu. Berhubung saya harus masuk sekolah, maka sebagai konsekuensinya adalah saya harus mengerjakan tugas-tugas dan menghadapi ulangan-ulangan yang tentunya amat sangat melelahkan. Oleh karena itu, saya mohon maaf jika kehadiran tulisan ini sedikit terlambat.
Satu hal yang saya harap dari para pembaca adalah, janganlah sekali-kali menganggap bahwa tulisan ini adalah karya Iffat Aulia Ahmad. Iffat Aulia Ahmad hanyalah seorang bocah enam belas tahun yang bodoh lagi pandir, tak memiliki ilmu sedikitpun. Anggaplah tulisan ini adalah karya Khalīfah, Ḥaḍrat Mirzā Masroor Aḥmadatba. Semata-mata karena kecintaan dan ketaatan terhadap beliaulah saya dapat menyelesaikan tulisan ini. Saya teringat kutipan syi‘r seorang Arab Badui yang dikutip oleh Ibn ‘Arabī dalam al-Fuṣūṣ:
و بذا سمي الخلييل خليلا
|
قد تخللت مسلك الروح مني
|
“Engkau sungguh telah merasuk ke dalam suluk ruh dariku. Oleh karena itu, seorang kekasih dinamakan kekasih”.
Sesungguhnya di dalam ketaatan kepada seorang Khalīfah terdapat samudera ilmu jasmanī dan rūḥānī yang tiada bertepi. Sebagai khātimah bagian ini, alangkah baiknya bila saya cantumkan do‘a yang diajarkan kepada Ḥaḍrat al-Masīḥ al-Mau‘ūdas dalam I‘jāz al-Masīḥ, semoga Allāh meniupkan ruh keberkatan dalam tulisan ini dan semoga Dia menjadikan hati manusia tertarik kepadanya.
أللهم انفخ روح بركات في كلامنا و اجعل أفئدة الناس تهوي إليه
آمين أللهم يا ناصر الربانيين
TERMINOLOGI AḤMADIYYAH TENTANG
NABĪ DAN RASŪL
Al-Jamā‘ah al-Islāmiyyah al-Aḥmadiyyah berpandangan bahwa nabī dan rasūl pada hakikatnya sama. Dua istilah tersebut tidak mencerminkan perbedaan, tetapi dipergunakan sesuai dengan konteks yang saling berhubungan. Pendiri Aḥmadiyyah, Ḥaḍrat Mirzā Ghulām Aḥmadas bersabda:
“Hal ini perlu diingat bahwa kata nabī secara literal berarti seseorang yang menyingkapkan ilmu-ilmu ġaibiyyah setelah diberitahu oleh Tuhan. Oleh karena itu, konotasi ini dijustifikasi di mana pun terlaksana. Seorang nabī haruslah menjadi seorang rasūl. Karena, apabila dia bukan seorang rasūl, maka dia tidak bisa menjadi penerima ilmu-ilmu ġaib sebagaimana diindikasikan oleh ayat:
فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا ﴿﴾ إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِنْ رَسُولٍ ﴿﴾