Peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) itu bersifat jasmani atau rohani? Tulisan ini mengungkap hakikat sebenarnya tentang peristiwa Isra Mi’raj.
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa perjalanan isra mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) ke langit (surga) adalah perjalanan jasmani. Dalam tulisan ini, kami akan berusaha mengungkap fakta lain mengenai ‘kenaikan secara fisik’ dan membuktikan melalui Al-Quran, hadis sahih dan bukti logis terhadap peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad itu bukan perjalanan secara jasmani melainkan rohani.
Peristiwa Isra dan Mi’raj merupakan dua peristiwa yang berbeda. Mi’raj adalah perjalanan rohani yang dialami oleh Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) dimana telah diperlihatkan surga, bertemu beberapa Nabi terdahulu dan dihadirkan di hadapan lingkungan Kerajaan Allah Ta’ala. Sedangkan Isra adalah perjalanan rohani yang dialami oleh Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) dimana beliau telah diperjalankan dari Mekah ke Jerusalem. Berikut akan dijelaskan mengenai kedua peristiwa tersebut dari Al-Quran dan berbagai hadits:
Peristiwa Mi’raj Menurut Al-Qur’an
Pertama-tama yang harus dipahami adalah apa yang Al-Quran katakan mengenai kenaikan secara fisik. Disebutkan bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) sendiri menafikan kemampuan naik ke langit.
Disebutkan dalam Surah Bani Israil ayat 94 bahwa orang-orang Kuffar Mekah mengungkapkan kesiapan mereka untuk menerima Islam, namun pertama-tama mereka menuntut untuk diperlihatkannya beberapa tanda khusus. Mereka mengatakan kepada Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bahwa mereka tidak akan beriman jikalau beliau tidak naik ke langit (surga) dan menurunkan sebuah Kitab untuk mereka baca. Atas hal demikian, maka Allah Ta’ala menurunkan ayat sebagai berikut:
قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَسُولًا
“Katakanlah, Mahasuci Tuhan-ku! Aku (Muhammad) tidak lain hanyalah seorang manusia, yang diutus sebagai seorang rasul” (QS Bani Israil (17): 94)
Perlu diingat bahwa ini bukanlah sunah dari Allah Ta’ala untuk mengangkat hamba-Nya ke langit secara jasmani dan mengembalikannya ke bumi. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran:
فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَحْوِيلًا
“Maka sekali-kali tidak akan engkau dapati suatu perubahan dalam sunah Allah Ta’ala, tidak pula sekali-kali engkau dapati suatu pergantian dalam sunah Allah” (QS Fathir (35): 44)
Ini merupakan hukum alam bahwa manusia hidup di bumi dengan waktu terbatas dan hanya akan kembali kepada Tuhan ketika datang kematiannya. Hal ini akan menjadi salah dan keliru serta menentang sunah Allah Ta’ala dimana manusia bisa diangkat ke langit secara fisik. Berhubungan dengan peristiwa Mi’raj, Al-Quran menyatakan secara jelas:
مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى
“Hati (Rasulullah) tidak berdusta dalam penglihatan apa yang ia lihat” (Surah Al-Najm (53): 12)
Dari ayat tersebut, kita mengetahui bahwa Mi’raj adalah perjalanan rohani yang dialami dalam penglihatan sepenuh hati, dan bukan merupakan sebuah kenaikan secara fisik. Jika sekiranya tubuh dan mata jasmani Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) menyaksikan perjalanan ini, maka apa pentingnya Al-Quran menyebut kata hati (الْفُؤَادُ). Oleh karena itu, sebagaimana Al-Quran menyebut kata hati (الْفُؤَادُ), maka ini menunjukkan kepada perjalanan rohani.
Peristiwa Mi’raj Menurut Hadits
Selanjutnya mari kita bahas dari berbagai hadits sahih yang membahas peristiwa Mi’raj yang menunjukan bahwa itu merupakan perjalanan rohani. Dalam satu hadits Sahih Bukhari Bab Kitab Bad’ul Al-Khalq di mana disebutkan bahwa penglihatan telah diperlihatkan kepada Rasulullah antara keadaan tidur dan keadaan terbangun (Sahih Bukhari no.3207)
Dalam riwayat lain, dalam hadis Bukhari Bab Kitab Al-Tauhid disebutkan di akhir hadis mengenai peristiwa Mi’raj sebagai berikut:
قَالَ وَاسْتَيْقَظَ وَهُوَ فِي مَسْجِدِ الْحَرَامِ
Maksudnya adalah bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) terbangun ketika beliau berada di Masjidil Haram (Sahih Bukhari no.7517)
Dari hadis di atas menandakan bahwa penglihatan tersebut merupakan sebuah mimpi yang dialami oleh RasulullahSAW. Hadis lainnya yang sama adalah:
وَهُوَ نَائِمٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya: “Dan beliau sedang tertidur di Masjidil Haram”
Ini semua menandakan bahwa Mi’raj adalah perjalanan yang terjadi ketika Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) tertidur di Masjidil Haram. Dan lain disebutkan yakni:
وَتَنَامُ عَيْنُهُ وَلاَ يَنَامُ قَلْبُهُ
Artinya: “Matanya tertidur namun hatinya tidak tertidur”
Dalam sebuah hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari Kitab Tafsirul Quran no.4855 bahwa telah disebutkan dimana Aisyah (ra) sekali pernah ditanya jika sekiranya Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) pernah melihat Allah dengan mata kasar (secara fisik) yakni:
يَا أُمَّتَاهْ هَلْ رَأَى مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَبَّهُ
Atas hal ini, Hadhrat AisyahRA menjawab:
لَقَدْ قَفَّ شَعَرِي مِمَّا قُلْتَ
Artinya: “Apa yang telah kamu katakan telah membuatku sangat terkejut”
Selanjutnya Hadhrat AisyahRA lebih lanjut mengatakan:
أَيْنَ أَنْتَ مِنْ ثَلَاثٍ مَنْ حَدَّثَكَهُنَّ فَقَدْ كَذَبَ مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ ثُمَّ قَرَأَت
(صحيح البخاري, كتاب تفسير القرآن)
Artinya: “Ketahuilah jika seseorang memberitahukanmu salah satu dari tiga hal, maka dia seorang pendusta. Siapa pun yang memberitahukanmu bahwa Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah melihat Tuhan-Nya, maka dia seorang pendusta”
Selanjutnya, Hadhrat Aisyah (ra) membacakan ayat Al-Quran yakni:
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Artinya: “Penglihatan mata tidak mencapai-Nya tetapi Dia mencapai penglihatan, dan Dia Mahahalus, Mahateliti” (Surah Al-An’am (6): 104)
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Artinya: “Dan tidaklah mungkin bagi manusia bahwasanya Allah berbicara kepadanya secara langsung kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang rasul untuk mewahyukan dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Mahaluhur, Mahabijaksana” (Surah Al-Syura (42): 52)
Siti Aisyah (ra) lebih jauh lagi mengatakan:
“Dan siapa pun yang memberitahukanmu bahwa Nabi mengetahui apa yang akan terjadi esok hari, maka dia adalah seorang pendusta”
Lalu membacakan ayat:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا
Artinya: “Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui apa yang akan diusahakannya esok hari” (Surah Luqman (31): 35)
Lalu menambahkan:
“Dan siapa pun yang memberitahukanmu bahwa Nabi menyembunyikan (perintah-perintah Allah), maka dia adalah seorang pendusta”
Lalu di akhir Aisyah (ra) membaca ayat:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
Artinya: “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepada engkau dari Tuhan engkau” (Surah Al-Maidah: 68)
Oleh karena itu, dengan adanya bukti jelas demikian, bagaimana bisa seseorang menyatakan dan percaya bahwa peristiwa Mi’raj itu merupakan perjalanan jasmani? Di samping Al-Quran dan hadis, apakah ada bukti yang lebih besar untuk membuktikannya? Bahkan kita melihat Hadhrat Aisyah (ra) yang telah belajar agama dari Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam), telah menyatakan kenaikan secara fisik pada malam peristiwa Mi’raj itu tidak terjadi, namun ini merupakan perjalanan ruhani yang telah dialami oleh Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam).
Pertanyaan Logis tentang Mi’raj yang Bersifat Jasmani
Akan tetapi jika seseorang masih belum yakin, maka orang tersebut harus bisa menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:
Dalam hadis persitiwa Mi’raj disebutkan, “Sebuah penampan emas yang penuh hikmah dan keyakinan telah dibawakan kepadaku…..” (Sahih Bukhari no.3207)
Sekiranya ini merupakan perjalanan jasmani, maka seseorang akan terpaksa untuk menerima bahwa hikmah dan keyakinan tersebut merupakan benda nyata yang mana bisa dibawa di atas sebuah penampan. Dan ini secara jelas menyimpang logika.
Membaca lebih jauh lagi, ada hadis yang menyatakan bahwa dada Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah dibelah terbuka dan hatinya telah dicuci serta dibersihkan dengan air zamzam. Sungguh jelas bahwa ini bukan merupakan peristiwa secara jasmani sebagaimana ini merupakan arti kiasan saja.
Dapatkah kita dipaksa untuk percaya bahwa dada dan hati Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) perlu untuk dibersihkan dan dicuci, ketika Umat Muslim lainnya tidak menjalankan semacam peristiwa tersebut? Gagasan dan kepercayaan semacam itu tidak dapat diterima.
Kita lihat dalam hadis selanjutnya bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah masuk ke dalam surga dimana bertemu dengan para Nabi terdahulu. Sekarang sangat penting untuk diketahui tentang apa yang Al-Quran katakan mengenai surga. Al-Quran menyatakan:
لَا يَمَسُّهُمْ فِيهَا نَصَبٌ وَمَا هُمْ مِنْهَا بِمُخْرَجِينَ
“Keletihan tidak akan menyentuh mereka di dalamnya dan selamanya (di surga) mereka tidak akan dikeluarkan dari situ” (Surah Al-Hijr (15): 49)
Dari ayat di atas, kita mengetahui bahwa orang-orang yang telah memasuki surga maka mereka tidak akan dikeluarkan lagi. Maka sungguh tidak mungkin untuk Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) masuk ke surga dan dikeluarkan lagi dari sana.
Bahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Hadhrat Abu Hurairah (ra) yang mana Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:
“Allah Ta’ala berfirman: Aku telah menyiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh segala sesuatu yang mana tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia” (Sahih Bukhari Kitab Al-Tauhid)
Maka ini akan bertentangan dengan logika kita dan menentang kemuliaan serta kehormatan Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) untuk percaya bahwa beliau telah pergi ke surga dengan tubuh jasmaninya.
Peristiwa Isra
Selanjutnya kita membahas mengenai peristiwa Isra. Perjalanan Isra telah disebutkan dalam Surah Bani Israil sebagai berikut:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Mahasuci Dia Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada waktu malam hari dari Masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsa, yang telah Kami berkati sekelilingnya supaya Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia-lah, Yang Maha Mendengar, Maha Melihat” (Surah Bani Israil (17): 2)
Sebenarnya ayat di atas sudah cukup untuk membuktikan bahwa Isra itu merupakan sebuah perjalanan rohani. Karena dari ayat tersebut disebutkan kata malam (لَيْلًا) dan memperjalankan (أَسْرَى) yang secara jelas menunjukkan bahwa seluruh perjalanannya terjadi dalam tempo satu malam saja. Lebih jauh lagi kita baca setelahnya dimana disebutkan alasan peristiwa itu yakni supaya “Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami.”
Lebih jauh lagi kita dapati dari kata لِنُرِيَهُ yang menunjukkan sebuah perjalanan rohani karena kata ru’ya telah dipakai di sini.
وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ
“Dan tidaklah Kami jadikan ru’ya yang telah Kami perlihatkan kepada engkau melainkan sebagai ujian bagi manusia” (Surah Bani Israil: 61)
Kata ru’ya secara pasti menandakan keadaan tidur/istirahat. Kata tersebut tidak hanya berarti sebuah mimpi, namun artinya bisa juga diartikan sebagai pandangan rohani yang berarti artinya bahwa perjalanan yang dialami oleh Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) merupakan perjalanan rohani dan sebuah tanda yang ditunjukkan kepada beliau.
Oleh karena itu, Al-Quran sendiri membenarkan bahwa perjalanan ini merupakan sebuah ru’ya dan perjalanan rohani. Isra merupakan sebuah nama perjalanan dimana Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah dibawa dari Mekah ke Yerusalem yang dijelaskan di atas seekor hewan cantik berwarna putih dimana lebih besar dari keledai namun lebih kecil dari bagal yang disebut Buraq.
Ketika Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) mencapai Yerusalem, beliau mengikat hewan tersebut lalu masuk ke dalam mesjid yang mana di dalamnya bertemu para Nabi terdahulu seperti Nabi Ibrahim (as), Nabi Musa dan Nabi Isa (as) serta Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) memimpin shalat bagi mereka. Setelah itu, Jibril yang waktu itu beserta Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah mempersembahkan dua cangkir (sebagian riwayat tiga cangkir). Satu cangkir diisi dengan susu dan yang lainnya diisi dengan alkohol. Kemudian Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) memilih cangkir yang berisi susu lalu Jibril berkata “Bersyukurlah kepada Allah yang telah membimbing engkau kepada fitrah (Islam). Jika sekiranya engkau mengambil alkohol, maka para pengikut engkau akan tersesat.” (Sahih Bukhari, Kitab Al-Tafsir no.4709)
Dalam narasi lainnya oleh Ibnu Jarir yang diriwayatkan oleh Hadhrat Anas bin Malik (ra) bahwa setelah berpindah dengan jarak yang tidak jauh ketika perjalanan, maka Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) melihat seorang wanita tua. Setelah melihat wanita tua tersebut, maka Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam)bertanya wanita tua tersebut yang ternyata adalah Jibril, namun Jibril tidak menjawab dan memberitahu Rasulullah untuk terus melanjutkan perjalanan. Setelah itu, ada seseorang yang memanggil nama Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) dengan tujuan untuk menarik perhatian beliau. Namun Jibril tetap berkata kepada Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) untuk terus melanjutkan perjalanannya. Selanjutnya, Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) disambut oleh sekelompok orang, dan Jibril mengatakan kepada beliau untuk menjawab sambutan mereka dengan kedamaian.
Meneliti hadis tersebut, kita mendapati indikasi yang jelas bahwa perjalanan ini merupakan perjalanan rohani. Bahkan di dalam Sahih Bukhari Kitab Al-Tafsir, Imam Bukhari (ra) meriwayatkan mengenai peristiwa Isra. Ketika orang-orang kuffar Mekah diberitahu mengenai peristiwa Isra, sebagaimana ini sifat alamiah mereka yakni mereka menolak dan tidak percaya bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah melakukan perjalanan ke Baitul Muqadas.
Mereka yang sebelumnya telah pergi dan mengunjungi Yerusalem bertanya kepada Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) untuk menggambarkan apa yang telah beliau lihat. Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) menjadi gelisah karena tidak benar-benar mengetahui apakah yang ada di dalam mimpi dan penglihatan rohaninya itu serupa dengan struktur dan pemandangan nyata yang ada di Yerusalem. Pada kenyataannya, Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) tidak mengetahui hal yang menonjol yang termahsyur di Yerusalem, melainkan hanya mengetahui apa yang telah beliau lihat di dalam mimpi. Atas hal ini, maka Allah Ta’ala telah memperlihatkan gambaran Yerusalem yang sebenarnya di hadapan mata Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan mulai menggambarkan apa yang beliau lihat serta membungkam orang-orang kuffar Mekah. (Sahih Bukhari, Kitab Al-Tafsir no.4710)
Dari narasi tersebut, ini sangat jelas terlihat bahwa Isra merupakan sebuah perjalanan rohani, karena jika sekiranya Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah melihat Yerusalem dengan mata jasmaninya maka tentunya tidak akan merasa gelisah dan Allah Ta’ala tidak perlu untuk memberitahu beliau gambaran sebenarnya tentang Yerusalem. Setelah Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) selesai memimpin shalat berjamaah bersama dengan para Nabi terdahulu, maka Jibril memberitahu bahwa wanita tua yang telah dilihat itu artinya dunia, suara yang terdengar itu adalah setan, serta sekelompok orang yang telah mengirim salam itu di antaranya ada Nabi Ibrahim (as), Nabi Musa (as) dan Nabi Isa (as).
Isra Mi’raj Sebagai Tanda Rohani Nabi Muhammad
Pendek kata bahwa isra mi’raj merupakan perjalanan rohani saja sebagaimana telah dijelaskan dari Al-Quran dan hadis. Oleh karena itu, kita harus memahami bahwa peristiwa isra mi’raj itu adalah dua tanda rohani yang telah diperlihatkan kepada Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam).
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan tentang peristiwa Mi’raj:
“Kenaikan rohani berupa mi’raj dari yang mulia Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) merupakan pertanda penarikan diri beliau sepenuhnya dari segala yang bersifat duniawi dan tujuannya adalah untuk memperlihatkan posisi maqam samawi beliau. Setiap jiwa mempunyai suatu titik di langit yang tidak akan bisa dilampauinya lagi. Adapun titik terakhir bagi yang mulia Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah Arasy Ilahi. Dengan demikian jelas bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) dimuliakan di atas semua manusia lainnya”. (Malfuzat, vol.II, hal.136)
Disusun oleh Mln. Nasir A.Tahir