عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalimat yang berisi hikmah dan ilmu adalah kepunyaan seorang mukmin yang hilang, maka dimana saja ia menemukannya ia lebih berhak untuk mengambilnya.” (H.R.Tirmidzi, No.2611)
Penjelasan:
Hadis yang amat latif ini adalah yang terakhir dari hadis-hadis yang dipilih untuk buku ini dan menunjukkan pula jalan yang sebaik-baiknya untuk mendapatkan ilmu. Ilmu bukanlah sesuatu yang hanya dapat diperoleh dengan masuk dalam suatu sekolah atau madrasah atau mendengarkan khotbah-khotbah dalam masjid atau duduk dalam majelis orang-orang ‘alim atau mempelajari buku-buku saja, tetapi ilmu itu adalah sesuatu yang amat luas yang dapat diperoleh dari tiap-tiap sabak dan coretan alam ini oleh tiap-tiap manusia yang hidup dengan menumbuhkan penglihatan dan pendengarannya.
Bagi tiap manusia yang gemar mencari ilmu, bumi dan langit, matahari dan bulan, bintang dan planet, hutan dan gunung, sungai dan laut, kota dan pedusunan, pandir dan cendekia, insan dan hewan, lelaki dan wanita, anak-anak dan orang tua, jahil dan alim, kawan dan lawan, semuanya menjadi laksana kitab ilmu yang terbuka, dari mana ia dapat mengisi khazanah ilmunya menurut kecakapan dan usaha masing-masing, oleh karena itulah junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ – kukorbankan diriku baginya – telah bersabda bahwa kalimat yang berisi ilmu dan hikmah adalah kepunyaan orang-orang Mukmin yang kehilangan daripadanya, maka dimana saja terdapat itu ia haruslah mengambilnya.
Hendaknya, ia harus banyak membukakan hati dan otaknya sehingga jangan sampai ada suatu ilmu yang berhadapan dengannya dan terus tidak masuk ke dalam perbendaharaan otak dan hatinya. Demikianlah kelapangan dan keluasan ilmu itu yang ditunjukkan oleh hadis ini. Sebenarnya kalau pintu otak manusia dibukakan dan jalan ke hati manusia tidak ditutupkan, kemudian acap kali seorang alim yang tinggi dapat memperole ilmu dari anak-anak juga.
Adalah diriwayatkan bahwa pada suatu waktu Imam Abu Hanifah r.h. melihat seorang anak sedang berlari-lari di tempat berbencah dalam hujan, maka beliau r.h. memperingatkan anak-anak itu untuk berjalan dengan hati-hati supaya jangan sampai jatuh. Anak itu membalikkan diri dan menjawab: “Imam Sahib, baiklah tuan memikirkan diri sendiri karena saya adalah anak kecil biasa dan jatuhnya saya hanya berakibat kepada diri saya sendiri, tetapi tuan adalah Imam dalam agama dan jikalau tuan tergelincir, maka akan membahayakan seluruh kaum.
Tuan Imam pun adalah seorang yang sangat halus dan cerdik, maka dengan segera tuan mengatakan, bahwa anak ini telah memberikan suatu pelajaran yang sangat berharga kepadanya pada hari ini.
Berhubung dengan hadis ini, maka haruslah diperhatikan akan hal ini bahwa perkataan: “dallat” – sesuatu yang hilang, yang dipergunakan dalam hadis ini mengisyaratkan dengan sangat halus hal yang berisi hikmah dan ilmu biarpun tadinya diketahui atau tidak oleh seorang Muslim, tetapi sebenarnya sebagai bibitnya itu telah diadakan pula dalam Islam. Maka disebutkan dengan nama “dallatu” supaya dapat menunjukkan bahwa sesungguhnya hal itu adalah kepunyaan orang Mukmin, tetapi oleh karena terluput dalam pandangannya, maka belum termasuk dalam kekuasaannya. Demikianlah orang Mukmin mempunyai hak untuk segera mengambil hal-hal itu biar dimana dan kapan saja terdapatnya. Bukanlah karena ia mendapat kesempatan untuk merampas atau mengambil barang-barang orang lain melainkan karena ia telah bertemu kembali barangnya yang hilang itu.
Nabi Muhammad ﷺ pun sesudah perkataan “dallatu” mempergunakan lagi perkataan: “Fahuwa haqqu biha” – yakni orang Mukmin itu lebih berhak atas barang itu meskipun dalam zahir barang itu ada dalam kekuasaan orang lain. Dengan perhatian yang lebih dalam akan nyata bahwa sebenarnya asal-usul tiap sesuatu itu terisi dengan ilmu dan hikmah terdapat dalam Islam sebagaimana Al-Quran mengatakan: “Fiihaa kutubun Qayyimah” – yakni tiap-tiap kebenaran abadi yang berfaedah bagi manusia ada terdapat di dalam Al-Quran.
Akan tetapi sangat disayangkan bahwa hanya sedikit orang-orang yang merenungkan hal ini dan mengambil faedahnya. Sesungguhnya sabda Nabi Muhammad ﷺ di dalam hadis ini pada hakikatnya adalah sebagai tafsiran Al-Quran juga, tetapi ternyata bahwa dalam hal ini tiada pandangan dan penglihatan orang lain yang sudah atau akan dapat menyamai dengan pandangan dan penglihatan beliau ﷺ . dengan bantuan dan pertolongan Ilahi isyarat-isyarat dan petunjuk-petunjuk yang tersembunyi di dalam Al-Quran oleh beliau ﷺ diterangkan dan dihiasi atas halaman-halaman yang terbuka dari hadis. Akan tetapi, seperti alam zahir ini yang sejak zaman nabi Adam a.s. hingga sekarang senantiasa mencukupi segala keperluan-keperluan tiap zaman. Sesungguhnya Al-Quran pun adalah sebagai alam rohani yang tidak akan habis-habis khazanahnya. Oleh karena itulah Allah Ta’ala berfirman:
وَاِنْ مِنْ شَيْئٍ اِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ اَلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُوْمٍ
Artinya: Dan tiada sesuatu melainkan pada kami adalah khazanah-kazanah dan tidaklah kami menurunkannya melainkan menurut ketetapan dan ketentuan pula. (S.Al-Hijr:22)
Maka tiada keraguan sedikit pun dalam hal ini bahwa sebenarnya tiap-tiap hal yang mengandung hikmah dan ilmu adalah kepunyaan orang Mukmin yang hilang – “dallatu”; karena bibitnya itu terdapat di dalam Al-Quran dan Al-Quran adalah khazanah (perbendaharaan) orang mukmin sendiri biar pun isi-isinya perbendaharaan itu dikenal atau tidak boleh orang mukmin itu sendiri. Betapa bahagianya kalau dunia mengerti pada keagungan Al-Quran dan alangkah beruntungnya kalau dunia mengenal kepada mutiara-mutiara dari hadis yang mana junjungan kita, Rasulullah ﷺ menggali dari tambang-tambang Al-Quran dan disajikan di hadapan kita sekalian.
Dikutip dari: Buku Empat Puluh Permata Hadits Karya Hazrat Mirza Bashir MA. r.a
Diterjemahkan oleh: Mln.Malik Aziz Ahmad Khan
Ditulis ulang oleh: Abdul Abdul Kartono