Mutiara Hadits : Tinggalkanlah Ahli Waris dalam Keadaan Baik

Mutiara Hadits : Tinggalkanlah Ahli Waris dalam Keadaan Baik

عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي وَأَنَا بِمَكَّةَ فَقَالَ: إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ

Artinya:

Diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash r.a. bahwa Nabi ﷺ datang menjenguk saya sedang berada di Mekah, lalu bersabda: “Meninggalkan ahli warismu dalam keadaan cukup, maka itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang.” (H.R.Bukhari, No.2537)

Penjelasan:

Kalimat ini diucapkan oleh Nabi Muhammad ﷺ sewaktu seorang sahabat karib beliau ﷺ yang bernama Sa’ad bin Abi Waqqash r.a. jatuh sakit dan ia menyatakan keinginannya di hadapan beliau ﷺ untuk mewaqafkan seluruh harta bendanya pada jalan Allah Ta’ala. Maka beliau ﷺ bersabda, bahwa hal itu adalah bagian yang sangat besar dan beliau tidak memperkenankan yang seperti itu. Kemudian sahabat r.a. itu hendak mewaqafkan dua pertiga bagian dari harta benda miliknya, tetapi beliau ﷺ tidak memperkenan pula. Akhirnya, Hadhrat Sa’ad bin Abi Waqqash r.a. memohon izin mewaqafkan sepertiga bagian dari harta bendanya dan beliau ﷺ memperkenankan hal ini, tetapi beliau ﷺ menambahkan sabdanya,begini: “Jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan cukup adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain.”

Ajaran yang penuh hikmah ini membuktikan bahwa Islam memperhatikan pula kepada keadaan di masa depan dan mengajarkan untuk memikirkan pula kepada keadaan di masa depan dan mengajarkan untuk memikirkan suatu hal dengan lebih panjang dan lebih jauh. Islam sekali-kali tidak menyukai andai kata ada seorang Muslim yang mempunyai harta benda dengan tidak memberikan apa-apa kepada ahli warisnya, mewaqafkan semua harta bendanya itu di jalan Allah Ta’ala sehingga setelah ia wafat ahli warisnya itu menjadi orang yang meminta-minta.

Akan tetapi sangat disesalkan bahwa orang-orang Islam pada zaman sekarang kebanyakan keliru dalam mengartikan “tawakal”. Pada prasangkaan mereka sesuatu hal yang diserahkan kepada Allah Ta’ala sama sekali tidak perlu disertai lagi ikhtiar dan daya upaya yang zahir. Padahal tawakal menurut Islam sama sekali tidak bermaksud demikian. Tawakal yang sebenarnya menurut Islam ialah dengan keadaan dan kekuatan masing-masing hendaklah dijalankan segala ikhtiar dan daya uapaya yang semestinya, beserta itu harus bertawakal kepada Allah dan berkeyakinan bahwa walaupun ikhtiar-ikhtiar yang zahir telah dijalankan tetapi kunci yang sebenarnya dari kemenangan dan kemajuan adalah di tangan Allah Ta’ala.

Hal ini dalam lahirnya kelihatan muskil malahan seolah-olah bertentangan. Jangankan untuk diamalkan diartikan pun tidak mudah. Tetapi, sesungguhnya tawakal yang sebenarnya menurut Islam ialah di satu pihak harus dijalankan segala ikhtiar dan usaha yang semestinya dan di pihak yang lain harus mempunyai keyakinan bahwa kekuatan dan hasil segala ihktiar-ikhtiar ini ada di tangan Allah Ta’ala. Pada akhirnya apa yang terjadi ialah apa yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Jika diperhatikan secara seksama, maka ternyata kedua hal ini tidaklah bertentangan karena apabila segala takdir (ketetapan) tentang baik dan jahat, semua sifat-sifat dan khasiat-khasiat dari tiap-tiap sesuatu dan segenap sebab-musabab adalah dijadikan dan dikuasai Allah Ta’ala, kemudian tidak ada keragu-raguan lagi bahwa akibat dan natijah akhir dari segala amal dan ikhtiar-ikhtiar kita yang zahir itu pun adalah dalam tangan Allah Ta’ala jua.

Adalah diriwayatkan bahwa sekali peristiwa datanglah seorang pemuka Arab Badui untuk menghadap Rasulullah ﷺ . terdorong oleh kegirangan akan berjumpa dengan Rasulullah ﷺ ia tergesa-gesa meninggalkan untanya di luar pintu Masjid Nabawi dengan diikatnya. Setelah berjumpa dengan Rasulullah ﷺ ia kemabali keluar masjid dan melihat bahwa untanya telah lari, hilang. Tergopoh-gopoh ia masuk lagi ke dalam masjid dan menceritakan kepada Rasulullah ﷺ , begini : “Ya Rasulullah, dengan bertawakal kepada Allah tadi saya telah meninggalkan unta saya di luar masjid, tetapi setelah berjumpa dengan anda, waktu saya keluar kembali unta itu telah lari.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “i’qilha wa tawakkal” – ikatlah lutut untamu dan bertawakal lah kepada Allah Ta’ala. Sabda Rasulullah inilah yang disusun oleh Maulana Rumi r.a. dalam syairnya yang masyhur: bar tawakkal janwe usytar bah band – bertawakal kepada Allah, ikatlah lutut unta itu.

Ringkasnya, dalam hadis yang diuraikan di atas ini Nabi Muhammad ﷺ di satu pihak menganjurkan kepada orang-orang tua untuk memikirkan lebih panjang dan lebih jauh tentang masa depan dan penghidupan yang terhormat bagi keturunan mereka (hendaknya berikhtiar sedapat mungkin agar ahli waris dan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya tidak ditinggalkan dalam keadaan miskin bahkan diusahakan upaya-upaya agar yang ditinggalkan itu mempunyai penghidupan yang pantas dan baik). Di pihak lain dalam hadis ini juga beliau ﷺ mengisyaratkan bahwa menjalankan ikhtiar yang zahir ini tidaklah bertentangan dengan sifat tawakal. Maka terlebih dahulu jalankanlah ikhtiar-ikhtiar semuanya yang zahir menurut kekuatan dan alat-alat yang ada kemudian bertawakal kepada Allah Ta’ala.

Sebagaimana telah saya canumkan di atas bahwasannya inilah suatu kedudukan yang sangat muskil, karena menurut sifat dan kebiasaan manusia yang ada dalam kelemahan suka cenderung kepada satu jurusan saja. Kadang-kadang ia cenderung kepada ikhtiar-ikhtiar zahir sehingga itu dianggapnya seolah-olah sebagai Tuhan saja. Atau, ada kalanya ia sama sekali meninggalkan ikhtiar-ikhtiar yang zahir itu dengan mengharapkan kepada Allah bahwa Dia akan turun dari Arasy-Nya untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya. Maka sesungguhnya kedua-dua anggapan ini adalah keliru (bathil) dan berlawanan dengan ajaran Islam.

Filsafat yang sebenarnya ialah di satu pihak ikatkanlah lutut untamu dan di lain pihak bertawakal lah kepada Allah Ta’ala.

Dikutip dari: Buku Empat Puluh Permata Hadis Karya Hazrat Mirza Bashir Ahmad MA, r.a.

Diterjemahkan oleh: Mln.Malik Aziz Ahmad Khan

Ditulis ulang oleh: Abdul Haq Kartono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *