Kenangan Emas Bersama Khalifatul Masih ke-II Bag. V

Kenangan Emas Bersama Khalifatul Masih ke-II Bag. V

Selama perjalanan keliling saya, Hudhur(r.a.) mengunjungi dua atau tiga negeri untuk pesiar. Ketika beliau tinggal sementara di Den Haag negeri Belanda, kami juga membuat rencana untuk mengunjungi negeri itu. Saya menelpon Hudhur mengenai hal itu dan beliau meminta saya untuk tinggal dengan beliau. (Dua rumah telah disewa untuk maksud itu). Penting untuk menyebutkan bahwa Hadhrat Chaudhry Sir Muhammad Zafrullah Khan(r.a.) secara terus-menerus tetap beserta beliau selama perjalanan itu dan beliau menyediakan segala keperluan Hudhur. Beliau mengatur kemudahan-kemudahan selama Hudhur tinggal serta segala sesuatu lainnya yang beliau perlukan.

            Ketika kami tiba di Den Haag, bapak saya mengabarkan bahwa tak ada kamar terpisah untuk saya dan keluarga saya dan saya mungkin terpaksa tinggal dengan istri dan putri saya beserta saudari-saudari saya lainnya. Sebab itu, saya putuskan bahwa saya akan tinggal di hotel. Itu akan nyaman bagi saya.

            Chaudhry Sahib(r.a.) sedang duduk bersama saya. Maka beliau memerintahkannya untuk membawa saya ke mobil dan mengatur akomodasi saya di hotel yang cocok dan  beliau akan menetapkan biaya untuk tinggal saya. Chaudhry Sahib membawa saya beserta beliau dan kami pergi untuk memesan penginapan di suatu hotel.

            Ada satu tempat tamasya terkenal di pinggiran kota Den Haag dan itu ada sebuah hotel terkenal yang juga menjadi istana seorang adipati pada suatu masa dulu. Ia membentang pada satu kawasan yang luas. Ada juga sebuah danau dan perahu-perahu motor tersedia bagi para tamu. Chaudhry Sahib membawa saya ke sana dan menyediakan akomodasi untuk saya. Mulanya saya diam saja tapi ketika berdiri di sana, saya katakan kepada Chaudhry Sahib(r.a.) bahwa itu terlampau mahal dan tidak sesuai untuk tinggal di sana. Lebih baik batalkan pemesanan itu dan aturlah akomodasi yang lebih murah. Chaudhry Sahib mengatakan bahwa beliau tidak mengatur akomodasi itu untuk saya saja tapi karena akomodasi ini, Hadhrat Sahib(r.a.) akan datang ke sana untuk istirahat. Beliau akan mengadakan jamuan teh malamnya di hotel itu dan jika beliau mau, kadang-kadang menggunakan perahu motor juga. Tak seorang pun dapat masuk kawasan itu kecuali para tamu yang tinggal di hotel itu. Para tamu yang tinggal di sana dibolehkan untuk membawa tamu-tamu mereka sendiri. Dengan cara ini, Hudhur akan memperoleh tempat yang baik untuk bersantai dan istirahat.

            Ketika kami kembali ke kediaman Hudhur, Chaudhry Sahib memberi-tahukan beliau bahwa dia telah menyiapkan akomodasi untuk saya dan memberikan beliau beberapa catatan tentang hotel itu dan menyiapkan bagi beliau untuk istirahat malam itu selama saya tinggal. Nama hotel itu adalah Oud Castegel (Kastil/Benteng Kuno). Maka, Hudhur biasa menghabiskan malam-malam beliau bersama kami selama kami tinggal di Belanda.

            Sesudah beberapa minggu perawatan di Zurich, Hudhur beralih ke London. Manakala kami sedang keliling Eropa, kami datang lagi ke negeri Belanda. Di sini saya menerima sepucuk surat dari Sekretaris Pribadi Hudhur yang mengatakan bahwa Hudhur mengundang konperensi para muballighin benua itu (Eropa) dan Afrika di London diselenggarakan pada suatu tempat dan tanggal sekian. Sebagai Wakilut Tabsyir kehadiran saya adalah penting. Sebab itu, kami menuju London satu hari sebelum konperensi.

            Selama masa kuliah saya, saya telah menerima perintah dari Hudhur untuk tidak mengenakan pakaian Eropa. Sesudah perintah ini, saya tak pernah memakai pakaian itu. Selama perjalanan keliling ini juga, saya memakai pakaian Timur yakni Achkan (jubah gaya India/Pakistan). Ketika saya menjumpai Hudhur, beliau menanyai saya jika saya tak punya pakaian itu. Saya diam mendengar pertanyaan itu.

            Beliau menyadari suasana dan bersabda, “Barangkali engkau teringat waktu kuliah engkau ketika aku melarang engkau untuk mengenakan pakaian Eropa. Engkau benar untuk mengatakan bahwa Islam tak menetapkan pakaian tertentu. Seorang Muslim dapat memakai pakaian yang layak dan beradab. Perintahku hanyalah untuk masa tertentu. Saat itu adalah masa (zaman) Inggris dan kita sedang diperintah oleh mereka. Mengenakan pakaian mereka merupakan ungkapan perbudakan secara mental dan aku tidak akan membiarkan itu [terjadi] pada anak-anakku. Inggris tak lagi memerintah kita dan tak ada buruknya mengenakan pakaian itu.”

            Beliau menulis cek sejumlah tertentu dan memberikannya kepada saya [sambil] menyatakan bahwa pakaian-pakaian bagus tersedia di toko-toko yang bagus dan jika saya mau, saya dapat memperolehnya dari toko-toko itu. Tempat membuat pakaian juga dapat disiapkan di New Bond Street. Karena sekarang saya hendak memperoleh sepasang pakaian yang siap pakai beserta dengan dasi yang sesuai dan kemeja dan saya akan memakainya. Sejak saat itu, saya mulai memakai pakaian itu. Ini merupakan keperluan juga. Dalam perjalanan-perjalanan ke luar negeri, salwar dan kemeja tidak dapat seterusnya. Pakaian-pakaian itu tidak dapat tetap bersih dan biaya pembersihannya adalah besar di negeri-negeri itu (barat).

            Saya ingin mengatakan lagi sesuatu tentang tarbiyat anak-anak. Tapi sebelum berlanjut, saya ingin menuliskan contoh teladan beliau sendiri dalam perkara ini. Paman tua saya (Jawa: pak de /Sunda: uwa), Hadhrat Mirza Sultan Ahmad(r.a.), yang merupakan putra tertua Hadhrat Masih Mau’ud(a.s.) dari istri pertama beliau tidak menyatakan bai’at pada masa hidup Hadhrat Masih Mau’ud. Beliau menjadi Ahmadi di tangan Hadhrat Mushlih Mau’ud(r.a.). Ketika beliau mengungkapkan keinginannya untuk menerima Ahmadiyah, Hudhur sendiri pergi ke rumah beliau dan mengambil bai’at dari beliau. Ini dilakukan sebagai tanda hormat kepada abang beliau. Jabatan Khilafat adalah khas (istimewa) pada kedudukannya sendiri, tapi hormat kepada saudara yang lebih tua juga ada. Ini sukar dijumpai satu contoh teladan dari penghormatan kepada yang lebih tua di tempat lain.

            Sejak dari kanak-kanak kami dilatih untuk menghormati orang-orang kami yang lebih tua dan beliau selalu mengawasi apakah anak-anak mengingat pelajaran ini. Kami adalah anak-anak dari beberapa ibu dan ada perbedaan umur yang hanya satu atau dua tahun, di antara saudara-saudara wanita dan pria. Walaupun perbedaan yang kecil ini, tak ada anak yang berani melalaikan penghormatan dan penghargaan kepada saudara atau saudari yang lebih tua.

            Di sini saya ingin menyebutkan salah satu dari kesalahan saya dalam perkara ini. Bapak memutuskan bahwa abang saya, Mirza Nasir Ahmad(r.h.) hendaklah menghafalkan Al-Qur’an Suci dan seorang Hafiz Sahib ditetapkan untuk tujuan ini. Suatu hari, saya melihat abang saya sedang berdiri di halaman rumah dan saya waktu itu berada di beranda. Saya memanggilnya sebagai ‘Hai Hafiz’ yang terdengar oleh bapak saya. Dengan marah beliau mendatangi saya dan memukul saya sekali dan menegur, “Engkau seharusnya malu dengan hal itu. Engkau berbicara dengan tidak hormat kepada orang yang menghafalkan Al-Qur’an Suci. Lagipun, dia itu abang engkau.”

            Beliau dengan segera memanggil seorang pegawai dari kantor Private Secretary beliau dan memerintahkannya untuk pergi ke sekolah menengah dan segera mencoret nama saya dari daftar mereka. Beliau bersabda, bahwa mulai besok, saya akan menghadiri sekolah Ahmadiyah (Ahmadiyya school) alih-alih sekolah menengah. (Sekolah Ahmadiyah adalah lembaga pendidikan teologi dari Jama’at).

            Sesuai dengan itu saya didisiplinkan, tapi saya tak punya kata-kata untuk berterima kasih atas keberkatan ini. Di balik disiplin ini adalah berkat tersembunyi bagi saya. Kemudian saya mendengar dari ibu saya bahwa bapak saya ingin mengirimkan saya dalam pendidikan medis. Ada perbedaan antara dunia profesi medis dan khidmat agama. Bila saja saya memikirkan hal itu, kepala saya tunduk di hadapan Tuhan dengan penuh syukur.

            Tak ada persoalan tentang kurangnya rasa hormat kepada yang lebih tua dalam keluarga. Kami sepenuhnya disiapkan untuk menghormati orang-orang yang lebih tua, apakah mereka itu Ahmadi atau bukan Ahmadi, para sahabat Hadhrat Masih Mau’ud, kaya atau miskin. Kami diajarkan secara berulang-ulang oleh bapak kami pelajaran bahwa setiap manusia merupakan pribadi yang terhormat apakah dia kaya atau miskin. Kami diajarkan untuk memahami kehormatan diri dan beramal di atasnya.

            Saya sedang berbicara mengenai masa kanak-kanak dan belajar saya. Sesudah saya memperoleh kelulusan, bapak memutuskan untuk mengirim saya ke Mesir. Sebelum bertolak di perjalanan, beliau memberi saya beberapa nasihat yang amat berharga dalam sepucuk surat yang merupakan bimbingan bagi seluruh generasi muda Ahmadi. Saya masih menyimpan surat itu hingga hari ini dan di sini saya berikan cetakan fotonya agar orang-orang yang mencintai beliau juga boleh melihat tulisan tangan beliau dengan mata mereka sendiri yang beliau tulis dengan tangan beberkat beliau. (Tulisan asli dalam Bahasa Urdu dan di sini hanya ditampilkan satu lembar).

            “Yang terkasih Mubarak Ahmad,

            Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuhu.

            Semoga engkau pergi dan kembali dengan selamat. Semoga Allah menganugrahkan kekuatan kepada engkau untuk melangkah di jalan yang Dia ridhai. Sebenarnya perjalanan (keberangkatan) engkau adalah untuk pendidikan Bahasa Arab dan pertanian. Tapi selama perjalanan singkat ini engkau seharusnya tidak melupakan perjalanan panjang yang setiap orang harus lalui. Para jendral, negarawan dan raja-raja membaca catatan-catatan para pendahulu mereka untuk mengambil manfaat dari mereka. Jika engkau terus mempelajari keluarga Nabi Suci Muhammad(s.a.w.), engkau akan kebal dari berbagai ketergelinciran. Manusia diberikan ganjaran menurut pengorbanan-pengorbanannya (amalnya). Nabi Suci(s.a.w.) bersabda kepada para sahabat beliau, “Wahai para sahabatku, orang-orang dunia akan datang (pada hari kiamat) dengan amal-amal yang mereka perbuat di dunia ini dan jangan berpikir bahwa kalian akan membawa bersama kalian, harta benda kalian yang kalian dapatkan di dunia ini. Ini tidak akan terjadi. Kalian akan mempersembahkan amal-amal kalian kepada Allah Ta’ala yang kalian perbuat di sini di dunia ini.” Harga diri dan kehormatan dari anak-anak keturunan Nabi Suci(s.a.w.) bukanlah karena mereka adalah putra-putri beliau melainkan karena kenyataan tanggung jawab dan pengorbanan-pengorbanan mereka.

  1. Engkau adalah orang dewasa. Itu akan menjadi sesuatu yang berlebihan jika aku mengatakan kepadamu untuk menepati waktu shalatmu. Dia yang tidak menghiraukan Tuhan, tidak [akan] menghiraukan manusia. Jika engkau sudah tepat waktu, nasihatku akan membawa nilai tsawab (ganjaran) tambahan. Tapi jika engkau tidak [tepat waktu], maka nasihatku merupakan jeritan di padang gurun. Lagi pula aku tidak dapat berhenti dari mengatakan bahwa shalat adalah tiang agama. Dia yang secara sengaja meninggalkan bahkan [hanya] satu shalat adalah melalaikan (merugikan) agamanya. Arti hakiki dari shalat adalah melaksanakannya secara berjamaah dengan wudhu yang dilakukan dengan baik. Itu seharusnya dilakukan dengan perlahan-lahan dan dengan memahami makna-maknanya. Orang hendaknya menaruh perhatian sepenuhnya terhadap shalatnya. Itu hendaknya dia seakan-akan sedang melihat Tuhan atau paling tidak [dia yakin bahwa] Tuhan sedang melihat dia. Bahkan jika ada dua orang Muslim, merupakan kewajiban mereka untuk melaksanakan shalat secara berjamaah dan mengatur untuk melaksanakan shalat Jum’at juga. Untuk mengingat Allah sesudah shalat merupakan bagian dari itu. Dia yang meninggalkannya, tidak akan memegangnya dengan kuat. Hatinya tidak akan berada dalam shalat. Nabi Suci (s.a.w.) bersabda bahwa sesudah shalat, orang hendaklah membaca tiga puluh tiga kali Surah Al-Fatihah dan Subhanalloh dan tiga puluh empat kali Allohu Akbar. Ini semua menjadi (jumlahnya) seratus kali. Jika kadang-kadang engkau melihat para sesepuh pergi keluar sesudah shalat tanpa ber-dzikir dengan bacaan-bacaan itu, ini tidak berarti bahwa mereka tidak melakukannya, mereka pergi karena ada keperluan tapi mereka dzikir secara diam-diam.

Tahajjud bukanlah shalat yang tak penting. Itu adalah shalat yang amat bermakna. Ketika aku berada dalam kesehatan yang baik, dan usia bertahun-tahun lebih muda dari pada engkau sekarang, aku biasa melaksanakan tahajjud berjam-jam. Shalat itu bahkan selama tiga atau empat jam. Aku juga mengalami sesuai dengan sunnah Rasulullah(s.a.w.) bahwa kakiku bengkak karena berdiri sangat lama.

  • Allah tak punya hubungan darah dengan seseorang. Dia adalah lam yalid wa lam yûlad (Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan). Hubungan-Nya adalah dengan setiap orang sesuai dengan harapan hamba-Nya terhadap Dia. Allah menunjukkan tanda-tanda dan keagungan-Nya kepada dia, yang mencintai-Nya. Tak ada benteng atau pasukan duniawi yang dapat menyediakan keamanan yang perlindungan Allah dapat [berikan]. Tak ada perlengkapan yang tersedia setiap waktu.

Sumber: Ahmadiyya Gazette, Canada, March 1994, hal. 10-12

Terjemah bebas oleh : Mln. SM. Muharim Awaludin

Berkaitan :

Kenangan Emas Bersama Khalifatul Masih ke-II Bag. VI

2 thoughts on “Kenangan Emas Bersama Khalifatul Masih ke-II Bag. V

  1. Mashaalloh Mubarak, tulisan dan sebuah nasehat yang sangat luar biasa.
    Semoga menjadi teladan bagi diriku dan keturunan ku.
    Aamiin Allohuma Aamiin 🤲

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *