Khalifah Ahmadiyah : Hubungan Antara Agama, Syariat dan Politik

Khalifah Ahmadiyah : Hubungan Antara Agama, Syariat dan Politik

Ini adalah sebuah pidato yang disampaikan oleh Hazrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifah Islam Ahmadiyah yang ke-IV di Inter-religious Consults, Suriname, 3 Juni 1991. Walau hampir 30 tahun yang lalu pidato ini disampaikan, tapi substansi dari pidato adalah jawaban mendalam dari diskursus mengani hal ini yang sampai hari ini masih terus menjadi pergolakan pemikirian.

Yang mulia Bapak Uskup Agung;

Yang mulia Sekretaris Jendral Asosiasi ini, yang kami hormati bapak dan ibu para tamu sekalian;

Sungguh merupakan sebuah tanda kehormatan bagi saya diundang pada malam ini sebagai tamu pembicara pertama sepanjang sejarah Asosiasi ini.

Ini merupakan peristiwa bersejarah bagi saya untuk bebas berbagi pengalaman dalam kedewasaan dialog tanpa adanya kehebohan, tanpa emosi, hanya untuk menyampaikan pandangan-pandangan kami seperti manusia normal lainnya, semuanya dalam bentuk kesopanan, agar diri kami bisa lebih dimengerti oleh orang lain, dan mencoba untuk lebih mengerti orang lain. Inilah tujuan dari dialog bebas, dan saya amat bersyukur bahwa Anda telah menjalankan tugas mulia ini, karena sekarang ini dunia benar-benar sangat memerlukan hal ini di setiap ruang lingkup kehidupan.

Sejauh pertanyaan [mengenai persekusi Ahmadiyah] yang menghendaki saya untuk berbicara soal itu, sebelumnya saya mohon maaf, karena dua topik yang diajukan sangat luas pembahasannya, dan mungkin karena adanya keterbatasan waktu yang kami miliki, tidaklah mungkin membahas keduanya sampai tuntas. Jadi, saya mengusulkan setelah selesai pembahasan aspek pertama, yaitu syariat dan politik, hukum syari’at serta pengenaan hukum syari’at di suatu negara, jika kita masih memiliki waktu, saya akan beralih ke subyek lain; dan kita akan tinggalkan aspek pertama untuk memberikan kesempatan menyampaikan pandangan-pandangan Anda dan mengajukan pertanyaan yang Anda inginkan.

Saya akan coba ringkaskan, namun harus komprehensif. Hukum Syari’at sekarang menjadi sebuah pertanyaan yang sedang panas-panasnya diperdebatkan di negara- negara Muslim.

PENGUNDANGAN HUKUM SYARI’AT DI PAKISTAN

Baru-baru ini Pakistan telah menjadi kursi panas, terkadang terjadi kontroversi sengit mengenai Syari’at. Secara umum telah diketahui, bahwa jika suatu negara mayoritas penduduknya beragama Islam, maka kaum Muslim lebih memiliki hak,

dibandingkan kewajibannya, untuk mengundang-undangkan hukum Syari’at. Hal ini berlandaskan argumentasi bahwa jika mereka percaya kepada Al-Qur’an dan jika mereka juga percaya Al-Qur’an adalah sebuah kitab komprehensif yang berhubungan kepada setiap wilayah aktifitas manusia dan mengarahkan manusia bagaimana seharusnya ia menjalani hidupnya sendiri pada tiap seginya, maka hal itu merupakan sebuah kepura-puraan untuk tetap puas dengan adanya klaim-klaim tersebut. Mereka harus mengikuti hasil olah logikanya, mengundang-undangkan hukum Syari’at, dan membuatnya sebagai satu-satunya hukum yang berlaku di sebuah negara.

Inilah yang sedang mereka katakan di satu sisi. Di sisi lainnya, timbul banyak kesulitan, seperti masalah-masalah legislatif yang diusulkan – masalah konstitusional yang sangat serius yang sama seriusnya dengan masalah pengundangan Syari’at. Oleh sebab itu, akan saya sampaikan dengan singkat mengapa hukum Syari’at tidak dapat dijalankan atau dipaksakan kepada orang yang pada praktek normalnya tidak dianggap sebagai Muslim yang ideal. Di dalam wilayah di mana mereka bebas untuk mempraktekkan Islam, dan ketika mereka ingin untuk tidak mempraktekkan Islam, bagaimana mungkin mereka diharapkan untuk dapat melakukan itu dengan paksaan dan kekuatan hukum. Hal ini dan di banyak tempat lainnya merupakan wilayah-wilayah di mana perdebatan panas sedang dilangsungkan dan diikuti, dan sekarang secara singkat akan saya sampaikan satu demi satu hal-hal yang dapat membuat Anda mengerti semua sisi dari masalah ini.

Saya sendiri ikut berpartisipasi dalam debat yang terjadi di Pakistan, dan saya membantu banyak cendekiawan yang datang ke London atau yang menulis kepada saya untuk mendapatkan pengarahan. Meskipun saya tidak mendiktekan semua hal kepada mereka, namun sampai batas tertentu mereka terbantu oleh saya untuk mengerti masalah ini dari sudut pandang yang lebih luas. Banyak artikel yang telah terbit di Pakistan memuat dan mengungkapkan opini saya.

Syari’at adalah hukum dan tidak ada keraguan mengenai hal ini; hukum Islam; hukum bagi umat Muslim. Tetapi pertanyaannya adalah, seberapa jauh hukum ini dapat ditransformasikan ke dalam perundang-undangan untuk menjalankan politik pemerintahan. Di atas semua itu masih banyak masalah lainnya yang terlibat. Sebagai contoh, jika sebuah negara Muslim memiliki hak untuk mendiktekan hukumnya kepada seluruh penduduknya, maka dengan alasan dan logika yang sama, tiap negara lain yang mayoritas penduduknya memeluk agama tertentu juga memiliki hak yang sama untuk mengundang-undangkan hukum-hukum [agama] mereka.

Seluruh dunia akan menjadi sebuah dunia yang tidak hanya memiliki konflik politik saja namun juga lahir konflik agama-politik, di mana semua hukum dikaitkan kepada Tuhan, [hukum] yang masih menimbulkan pertentangan diametrikal satu dengan lainnya. Di sana akan muncul sebuah kebingungan karena orang akan mulai kehilangan keyakinannya kepada satu Tuhan yang berbicara mengenai suatu hal kepada suatu kaum, dan berbicara tentang hal lain kepada kaum yang lain, dan Dia

mengatakan kepada mereka untuk menjalankan hukum ini pada suatu kaum atau “mereka menjadi tidak setia kepada-Ku.”

Seperti itulah, Anda dapat benar-benar membayangkan, sebagai contoh, apa yang terjadi di India jika hukum yang dimiliki oleh mayoritas Hindu diterapkan kepada minoritas Muslim. Seperti kenyataannya, sebagian besar masyarakat India secara bertahap sedang didorong ke arah permintaan pihak ekstrim ini – dengan cara yang reaksioner, saya menganggap ini yang sedang terjadi di beberapa negara Islam. Apa yang akan terjadi pada kaum Muslim dan minoritas lainnya di India? Selanjutnya hal ini bukanlah pertanyaan bagi India saja. Bagaimana jika Israel menerapkan hukum Yahudi – hukum Talmud – saya telah membacanya dan saya mengetahui adalah tidak mungkin bagi [hukum] non-Yahudi untuk tinggal di sana dengan layak dan normal.

Dalam soal serupa, Kristen dan Buddha juga memiliki hak yang sama.

PARTISIPASI DALAM PEMBUATAN UNDANG-UNDANG

Pertimbangan selanjutnya adalah mengenai konsep negara: Ini adalah masalah paling fundamental yang harus diselesaikan dan diberikan kepada mereka yang bergulat dengan politik atau hukum internasional.

Dalam konsep sekuler mengenai pelaksanaan perundangan dan pemerintahan, setiap orang yang lahir di suatu negara, apa pun agama atau warna kulitnya atau keyakinannya mendapatkan hak-hak sipil yang paling mendasar. Dan yang paling penting di antara hak-hak ini adalah kesempatan, paling tidak, untuk berpartisipasi dalam pembentukan perundang-undangan.

Tentu saja partai-partai datang dan pergi; hari ini menjadi partai mayoritas mungkin besok akan menjadi partai minoritas. Setiap orang berharap hal itu tidak terjadi atau sebaliknya. Namun dalam prinsipnya, setiap orang memiliki kesempatan yang adil dan setara untuk membuat suaranya didengar, paling tidak oleh pihak oposisi, dalam hal prinsip-prinsip yang umum. Namun apa yang terjadi jika suatu Syari’at atau suatu agama dijalankan sebagai hukum negara? Jika hukum Islam diterapkan di suatu negara, semua orang [non-Islam] yang tinggal tersisa sebagai penduduk di wilayah yang sama akan dianggap sebagai warga negara kelas dua, tiga atau empat dari negara yang sama tanpa memiliki [kesempatan] mengatakan ‘Tidak’ dalam hal perundang-undangan. Tetapi bukan itu semua masalahnya, selanjutnya ada [masalah] yang lebih rumit di dalam Islam itu sendiri: Karena Islam memiliki  sebuah Kitab yang diwahyukan oleh Tuhan dan para cendekiawan Muslim menyatakan bahwa mereka berhak untuk menafsirkan Kitab itu.

BADAN LEGISLATIF BERADA DI BAWAH CENDEKIAWAN AGAMA

Mengenai masalah perbedaan opini, badan legistatif berada di bawah opini akademis para cendekiawan yang secara khusus mengerti Al-Qur’an atau mereka yang mengklaim benar-benar memiliki pengertian atas Al-Qur’an. Apa yang menjadikan mereka saling berhubungan? Sebuah badan dibentuk untuk mengatur. Mereka mengatur dan kemudian Anda mendengar dari beberapa cendekiawan Islam bahwa ‘apa yang kamu usulkan untuk menjadi sebuah hukum/aturan adalah bertentangan prinsip-prinsip dasar Islam. Islam tidak memiliki ruang bagi omong kosong seperti itu.’

Lalu suara siapa yang harus didengar? Di satu pihak tampaknya Tuhan sedang berbicara kepada mereka; tetapi hanya tampaknya saja, namun di sisi lain terdapat suara mayoritas penduduk di suatu negara, sehingga muncul dilema yang hampir tidak mungkin untuk dituntaskan.

SEJALAN DENGAN WAKTU SEMUA AGAMA TERBAGI MENJADI SEKTE-SEKTE

Setiap  agama  sumbernya  adalah  satu,  tunggal  dan  tak  terbagikan,  namun  seperti Anda yang berjalan melewati waktu, sebuah agama dari dalamnya mulai terbagi dan berbeda, berkembang biak dan jumlahnya menjadi bertambah dan bertambah, sama halnya  dengan  keyakinan,  sebagai  contoh,  pada  masa  Yesus  Kristus  a.s.  yang  ada hanyalah  satu  kekristenan  yang  tunggal  dan  kemudian  berubah  menjadi  ratusan kekristenan.  Dilihat  dari  sudut  pandang  yang  menguntungkan  bagi  berbagai  sekte, satu  sumber  yang  tunggal  kemudian  terlihat  dalam  berbagai  warna.  Berbeda  kaca mata berwarna yang digunakan oleh berbagai macam pengikut dari beragam sekte. Hal  yang  sama  juga  terdapat  dalam  Islam.  Hal  ini  tidak  hanya  sebuah  pertanyaan dari  Islam  Sunni  dan  Islam  Syiah  saja  bagaimana  mereka  menafsirkan  Syari’at. Dalam Islam Syiah terdapat 34 sekte yang mengartikan Syari’at dengan berbeda satu dengan  lainnya.  Terdapat  persoalan-persoalan  yang  tidak  bisa  disepakati  oleh  dua orang  ulama  dari  sekte  yang  berbeda.  Bukan  hanya  persoalan  ringan  saja,  bahkan persoalan fundamental tidak dapat disepakati. Anda dapat membaca Munir Inquiry Report. Hakim Munir, seorang Kepala Hakim dari Pengadilan Tinggi adalah satu di antara  dua  orang  hakim  yang  ditunjuk  untuk  menyelidiki  latar  belakang,  sebab- sebab   dan   modus   operandi   dari   kerusuhan   anti-Ahmadiyah   pada   tahun   1953. Siapakah  yang  bertanggung  jawab  dan  siapakah  yang  tidak  bertanggung  jawab? Bagaimana mendefinisikan seorang Muslim?

Selama masa penyelidikan, hakim Munir menanyakan dengan jelas kepada setiap cendekiawan Muslim yang ditemuinya apakah ia mengetahui definisi Islam yang dapat diterima oleh sekte lainnya; hal yang sama dapat ditujukan kepada setiap orang dan dengan bantuannya dapat kita definisikan, “Ya, ini adalah Muslim,” dan “Itu bukanlah Muslim.” Dalam laporannya, hakim Munir menyampaikan bahwa tidak ada dua cendekiawan pun, dari semua cendekiawan Muslim yang ditanyainya, sepakat dengan sebuah definisi tunggal mengenai apakah Islam itu.

Dalam suatu kasus, seorang cendekiawan meminta waktu lebih banyak untuk memikirkan mengenai definisi Islam, dan hakim Kayani, seorang rekan hakim Munir, yang memiliki rasa humor yang istimewa, memberikan jawabannya: “Saya tidak dapat memberimu waktu lebih banyak, karena kamu telah memiliki waktu lebih dari seribu tigaratus tahun untuk merenungkan pertanyaan ini. Apakah hal itu tidak cukup?”

“Jika tigabelas abad ditambah dengan beberapa tahun tidak cukup bagimu untuk dapat mendefinisikan hal yang paling pokok – apa itu definisi Islam – berapa banyak waktu lagi yang kamu inginkan?”

Jadi, hal ini adalah masalah yang sangat genting. Jika interpretasi Syari’at dari sebuah sekte dijalankan, maka tidak hanya non-Muslim saja yang akan dicabut hak asasinya untuk berpartisipasi dalam perundang-undangan negara, dan dalam Islam juga ada banyak sekte yang akan dihilangkan haknya.

TAFSIRAN SEKTE MANA YANG DITERAPKAN SEBAGAI HUKUM SYARI’AT?

Selanjutnya masih terdapat banyak masalah lainnya: Sebagai contoh, menurut beberapa konsep Syari’at, hukuman bagi suatu kejahatan sangat berbeda pada konsep Syari’at di sekte lainnya, kemudian Islam akan dipraktekkan dengan sangat berbeda pada masalah yang sama di dunia ini, sehingga akan menciptakan sebuah kesan yang menakutkan bagi dunia non-Muslim. Keyakinan macam apa yang memberi hukuman untuk sebuah kejahatan yang sama di sini dan di tempat lainnya, dan di beberapa tempat lainnya hal itu hanya sedikit terjadi dan bahkan sama sekali bukan suatu kejahatan.

Yang seperti ini dan masih banyak masalah lainnya menimbulkan pertanyaan atas hampir tidak mungkinnya pelaksanaan Syari’at.

Lebih lanjut, hak-hak mendasar dari sekte-sekte lainnya juga dirusak atau dinjak- injak oleh banyak situasi yang mungkin terjadi. Sebagai contoh yaitu pertanyaan mengenai meminum [minuman] beralkohol. Benar, alkohol dilarang dalam Islam; namun pertanyaannya adalah apakah hal itu adalah sebuah pelanggaran yang dapat dihukum dan apakah hukumannya, jika ada, dilakukan oleh manusia di dunia ini atau apakah hal itu adalah sebuah masalah yang berubah-ubah. Hal ini merupakan sebuah masalah yang kontroversial dan belum disepakati oleh semua pihak yang terlibat. Apakah hukuman minum [minuman beralkohol]? Al-Qur’an TIDAK menyebutkan hukuman apa pun. Ini [Al-Qur’an] adalah sebuah hukum pokok, Kitab hukum, dan diduga hukuman meminum [minuman beralkohol] berasal dari beberapa Tradisi yang oleh beberapa cendekiawan dianggap sebagai hukuman. Namun kesimpulannya adalah dibuat-buat dan Tradisi itu sendiri kemudian mendapat tantangan dengan dianggap sebagai tidak otentik oleh pihak lainnya.

Sehingga sebuah wilayah besar yang tidak hanya masyarakat Muslim saja, namun juga di wilayah besar di mana masyarakat non-Muslim akan dihukum untuk alasan- alasan tersebut yang mana mereka sendiri masih penuh keraguan atas hal itu. Apakah hukuman itu merupakah hal yang sah atau tidak, inilah masalahnya. Bagaimanapun juga terdapat para ekstrimis di mana-mana dan khususnya mereka yang menginginkan Syari’at untuk dijalankan.

Anda akan temukan banyak ekstrimis yang sangat tidak toleran terhadap pendapat dari pihak lain. Sebagai akibatnya, wilayah abu-abu itu juga akan dibuat sebagai wilayah “Yang Tidak Diragukan lagi” bagi para ekstrimis. Mereka akan mengatakan, “Ya, kami tahu; ini adalah pendapat kami. Pendapat yang didukung oleh seorang ulama abad pertengahan atau pemikiran kami, dan hal itu adalah hukum.”

KESULITAN-KESULITAN YANG DIHADAPI OLEH PEMERINTAH PAKISTAN DALAM PENGUNDANGAN HUKUM SYARI’AT

Sekarang perbedaan ini menghasilkan sebuah perdebatan di Pakistan baru-baru ini dan Perdana Menteri Nawaz Sharif telah memutuskan bahwa tidak ada Syari’at dari sekte apa pun yang akan diadopsi.

Hukum yang disahkan di Pakistan adalah bahwa mereka akan menerima supremasi Al-Qur’an dan akan menyetujui bahwa tidak akan ada perundangan yang dibuat bertentangan dengan ajaran pokok Al-Qur’an. Namun di luar itu mereka tidak akan mengadopsi peraturan-peraturan yang bersumber dari undang-undang, seolah-olah mereka mendapat mandat dari Tuhan.

Jadi, biarkanlah hal itu, yang masih ada pada Syari’at adalah prinsip umum sebagaimana dengan sangat jelas ditemukan dalam Al-Qur’an, mengenai adanya sebuah usaha yang dibuat untuk mengislamisasi undang-undang negara.

Sejauh ini cukup baik. Saya pikir Perdana Menteri telah dapat melepaskan dirinya dari situasi yang sangat sulit, namun tidaklah lama. Para ulama telah berada di kerongkongannya. Mereka juga menuntut agar Pengadilan Syari’at tidak hanya untuk diteruskan, di sana sudah ada Pengadilan Syari’at yang harus bekerja, namun kekuasaannya harus ditingkatkan. Kekuasaan akhir untuk memutuskan mengenai apakah undang-undang sesuai dengan Islam atau tidak ada pada Mahkamah Agung Syari’at.

Sebagaimana hal itu, keseimbangan kekuasaan akan bergeser dari anggota-anggota masyarakat yang dipilih ke Mullah-Mullah yang ekstrimis. Jadi, sekali Anda menerima sesuatu yang dalam prakteknya tidak untuk dijalankan, maka akan selalu bermunculan berbagai persoalan dan tidak mungkin bagi Anda untuk menjalankan tanpa adanya komplikasi.

GAYA HIDUP MUSLIM MASA KINI TIDAKLAH BENAR-BENAR ISLAMI

Ini adalah wilayah yang banyak terdapat kesulitan. Namun masih ada wilayah kesulitan penting lainnya: Yaitu gaya hidup kaum Muslim di kebanyakan negara tidaklah benar-benar Islami.

Anda lihat, bahwa Anda tidak memerlukan sebuah hukum Syari’at untuk mengucapkan sembahyang lima waktu Anda. Anda tidak memerlukan hukum Syari’at untuk membuat Anda berperilaku jujur. Anda tidak memerlukan hukum Syari’at untuk dijalankan agar membuat Anda bicara kebenaran dengan jujur dan menjadikan Anda sebagai saksi dalam pengadilan atau kapan pun Anda hadir menjadi saksi. Dalam sebuah masyarakat di mana perampokan menjadi hal yang biasa, di mana terdapat ketidak-aturan, kekacauan, perebutan kekuasaan atas hak- hak orang lain, di mana pengadilan jarang menghadirkan seorang saksi yang jujur, di mana ucapan-ucapan kotor menjadi kebiasaan dalam berekspresi, di mana tidak lagi tersisa kesopanan dalam perilaku manusia, apa yang Anda harapkan, apa yang Syari’at dapat lakukan di sana? Bagaimana hukum Syari’at dapat secara murni diterapkan di suatu negara seperti itu? Inilah pertanyaannya.

PENERAPAN HUKUM SYARI’AT MENSYARATKAN KEADAAN YANG TEPAT

Saya telah memberikan sebuah bentuk yang berbeda kepada pertanyaan itu dan hal ini tentu saja telah dikemukakan, dan sejauh ini saya belum pernah mendengar jawaban yang benar-benar dapat menyelesaikan masalah tersebut.

Pertanyaannya adalah, bahwa setiap negara memiliki sebuah iklim dan tidak semua tumbuhan dapat tumbuh dengan subur. Kurma tumbuh subur di padang pasir, namun tidak tumbuh di sebelah Utara yang dingin. Sama halnya dengan buah ceri tidak dapat ditaburi di padang pasir; karena mereka membutuhkan iklim tertentu. Syari’at juga membutuhkan sebuah iklim tertentu. Jika Anda tidak dapat membuat iklimnya, maka Syariat tidak dapat dijalankan.

Setiap nabi – tidak hanya Nabi Muhammad s.a.w. saja – pada awalnya membuat iklim yang sehat bagi hukum Tuhan untuk dijalankan dengan kerelaan, bukan dengan paksaan. Dan ketika masyarakat sudah siap, maka aturan-aturan mulai diperkenalkan dan lebih lanjut semakin menguat sampai semua aturan diwahyukan. Masyarakat yang seperti itu mampu untuk menjalankan hukum agama, apakah Anda menyebutnya sebagai hukum Syari’at atau hukum lainnya.

Di dalam sebuah masyarakat, sebagai contoh, di mana pencurian adalah hal yang lumrah, di mana mengatakan kebohongan merupakan kegiatan sehari-hari, jika Anda menjalankan hukum Syari’at dan kemudian memotong tangan para pencuri, apa yang akan terjadi? Apakah itu merupakan tujuan dari Syari’ah? Hal itu bukan hanya sebuah pertanyaan sentimentil mengenai agama. Kehendak Tuhan akan

dilakukan tanpa keraguan, namun hal itu akan dilakukan sebagaimana Tuhan menginginkan kita untuk melakukannya.

HUKUM SYARI’AT DIGUNAKAN SEBAGAI ALASAN UNTUK MERAIH KEKUASAAN

Saya telah sampaikan saran kepada para pemimpin politik tertentu agar mereka sebaiknya mengundang semua cendekiawan Muslim untuk terlebih dahulu membentuk sebuah kota kecil di Pakistan, dan kemudian Syar’iat dijalankan di sana. Sebagai contoh, Faisalabad adalah sebuah kota kecil – atau sebuah kota besar – dari para pengusaha besar, terkenal untuk praktek-praktek korupsinya.

Saya usulkan agar para Ulama dari seluruh Pakistan seyogyanya diundang untuk terlebih dulu memperbaharui masyarakat di kota itu. Ketika masyarakat di kota itu telah mampu untuk menanggung Syari’at, maka Pemerintah sebaiknya diundang untuk datang dan mengambil alih administrasi hukum Syari’at. Namun hal itu tidak akan terjadi. Mereka tidak perduli. Mereka tidak berkepentingan. Ini bukanlah kecintaan kepada Islam yang mendorong mereka untuk meminta hukum Syari’at. Ini hanyalah sebuah alat untuk meraih dan mendapatkan kekuasaan, serta untuk mengatur masyarakat dengan mengatasnamakan Tuhan. Masyarakat telah dijalankan oleh orang-orang yang korupsi, oleh orang-orang yang kejam namun hal itu dilakukan dengan mengatasnamakan manusia; [dan] hal itu sampai suatu taraf yang dapat diterima. Akan tetapi ketika kekejian-kekejian dilakukan atas nama Tuhan, itu merupakan kemungkinan yang terburuk, suatu hal yang amat tidak pantas yang dapat terjadi pada manusia.

Jadi, atas hal yang seperti itulah kita harus berpikir berulang kali sebelum kita dapat memulai mempertimbangkan pertanyaan, apakah di dunia ini, di mana pun berada hukum agama dapat digunakan seperti alat pembayaran yang sah. Secara pribadi, saya meragukan hal ini.

Itulah di mana sekarang akan saya tinggalkan kasusnya untuk sementara. Jika Anda pikir masih ada waktu untuk beralih ke pertanyaan kedua, maka saya akan lakukan itu. Kalau tidak, kita akan duduk dan berdiskusi mengenai hal yang telah saya katakan sebelumnya.

Catatan : Setelah pidato beliau ada sesi tanya jawab, yang akan kami cantumkan dalam artikel bagian kedua.

Diterbitkan oleh: Islam International Publications Ltd. Islamabad, Sheephatch Lane, Tilford, Surrey GU10 2AQ, U.K.

Penerjemah: M. A. Suryawan

Sumber terjemahan: http://www.alislam.org/books/shariah/index.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *