Hukuman Perbuatan Zina, Pemerkosaan, dan Tuduhan Palsu Bag. 2

Hukuman Perbuatan Zina, Pemerkosaan, dan Tuduhan Palsu Bag. 2

Oleh : Zaheer Ahmad Khan

Terjemah oleh : Said Ahmad

Hukuman Bagi Pemerkosaan

Sejauh menyangkut klaim seseorang telah diperkosa, kami menemukan petunjuk dari Al-Qur’an dan Hadits. Dalam Al-Qur’an, kita diberi petunjuk melalui peristiwa tentang seorang nabi yang dituduh melakukan kejahatan ini. Kejadian ini dirinci dari ayat 24-30 Surah Yusuf (Surah 12), di mana istri seorang bangsawan Mesir menutup semua pintu di rumah dan berusaha merayu Nabi Yusuf a.s. untuk melakukan tindakan tidak senonoh yang bertentangan dengan keinginannya. Namun, ketika dia tidak berhasil dalam rencana jahatnya dan Nabi Yusuf a.s. berlari menuju pintu untuk menyelamatkan dirinya sendiri, wanita itu secara paksa melawannya, menyebabkan bajunya robek dari belakang. Ketika dia sampai di pintu, dia menemukan suami wanita itu berdiri di dekatnya, di mana wanita itu membuat rencana dan menuduh Nabi Yusuf a.s. mencoba melakukan tindakan tidak senonoh dengannya. Nabi Yusuf a.s. membantah tuduhan wanita itu dan mengatakan bahwa wanita itu telah berusaha untuk memaksanya melawan keinginannya (keinginan Nabi Yusuf a.s. untuk tidak melakukan dosa, pent), tetapi dia (Nabi Yusuf a.s.) menolak untuk menurutinya.

Dalam kasus ini, nampak hanya ada pernyataan berlawanan dari kedua belah pihak dan tidak ada saksi mata dari kejadian itu, kecuali suami wanita itu, yang hanya melihat mereka berlari menuju pintu. Dalam hal ini, untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan, Al-Qur’an mengadopsi metode analisis bukti tidak langsung dari kasus tersebut. Dengan demikian, tercatat seorang anggota rumah tangga mengatakan bahwa pakaian wanita itu masih utuh dan pakaian pria itu baru saja robek; maka, jika baju laki-laki itu robek dari depan, maka perempuan itu mengatakan yang sebenarnya dan laki-laki itu bohong, karena ia merobeknya untuk melakukan perbuatan itu, atau perempuan itu merobeknya untuk menyelamatkan diri dan mendorong laki-laki pergi. Namun, jika baju itu robek dari belakang, maka dia mengatakan yang sebenarnya dan wanita itu berbohong, karena tidak ada yang akan merobek bajunya dari belakang untuk melakukan tindakan ini. Bahkan, orang seperti itu pasti akan mencoba melarikan diri dalam upaya menyelamatkan dirinya sendiri dan wanita itu mencoba menangkapnya dengan menarik bajunya dan merobeknya. Maka berdasarkan usul orang tersebut, saat baju Yusuf a.s. diperiksa ternyata bajunya robek dari belakang. Oleh karena itu, bangsawan Mesir itu memberikan keputusannya dan berkata kepada istrinya, ‘Ini benar-benar rencanamu. Wahai wanita, rencanamu memang hebat.’

Hal lain yang perlu diperhatikan dari kisah Al-Qur’an ini adalah bahwa untuk mencapai putusan dalam kasus seorang wanita yang mengklaim bahwa seorang pria memperkosanya, Allah SWT memanggil orang yang menyarankan untuk menganalisis bukti tidak langsung (yaitu baju robek) dengan frasa, شَھِدَ شَاھِدٌ (Shahida Shahidun) yang berarti, ‘saksi memberi kesaksian’, yakni menyamakan bukti tidak langsung dengan saksi.

Lebih jauh lagi, perintah Al-Qur’an ini juga menunjukkan bahwa tidak ada gunanya seseorang yang hanya menuduh orang lain karena tuduhan itu juga bisa salah. Oleh karena itu, sampai suatu tuduhan dibuktikan melalui saksi-saksi atau bukti-bukti tidak langsung, terdakwa tidak dapat dihukum dengan cara apapun.

Adapun contoh-contoh di mana tuduhan pemerkosaan dibuat, dua dari enam kitab hadits otentik, Sunan Abi Dawud dan Sunan Tirmidzi telah mencatat hadits di mana penyelidikan dilakukan dan hukuman dijatuhkan. Mereka menyebutkan bahwa pada masa Nabi s.a.w., seorang wanita meninggalkan rumahnya untuk shalat, ketika di tengah jalan, seseorang menangkapnya, memaksa dirinya dan melarikan diri setelah melakukan tindakan ini. Kemudian, orang lain lewat dan wanita tersebut memberi tahu orang-orang bahwa dialah yang memaksa dirinya. Oleh karena itu, sekelompok Muhajirin yang lewat menangkap orang yang menurut wanita itu telah menyerangnya. Ketika pria itu dibawa ke hadapan wanita itu, wanita itu berkata bahwa memang dialah yang telah memaksakan dirinya melakukan tindakan itu padanya. Orang-orang kemudian membawanya kepada Nabi s.a.w. dan dia memerintahkan dia untuk dirajam, pada saat itu pria lain berdiri, yang sebenarnya adalah orang yang telah memperkosa wanita itu, dan berkata, ‘Wahai Rasulullah s.a.w. Demi Allah, aku memperkosanya.” Nabi s.a.w. berkata kepada wanita itu, “Pergilah, Allah telah mengampunimu.” Dia kemudian berbicara dengan ramah kepada pria yang telah dibebaskan dan memerintahkan pemerkosa untuk dirajam. Nabi s.a.w. kemudian berkata tentang orang ini yang hukumannya telah ditetapkan bahwa dia telah bertobat sedemikian rupa sehingga jika semua penduduk Madinah bertobat dengan cara yang sama, mereka akan diampuni. [12]

Patut direnungkan kata-kata dari riwayat ini yang menyatakan bahwa berdasarkan tuduhan wanita itu, Nabi s.a.w. memerintahkan agar orang seperti itu dihukum, yakni yang tidak melakukan kejahatan. Rupanya, tampaknya – naudzubillahi min dzalik – sebelum mengonsultasikan dengan saksi dan bukti tidak langsung dan sebelum menganalisis peristiwa, Nabi s.a.w. membuat keputusan yang salah karena tergesa-gesa. Ini akan jauh dari ajaran Islam tentang keadilan, dan tidak mungkin untuk memahami hal seperti itu pada Nabi s.a.w. yang secara sempurna mewujudkan atribut kebijaksanaan, keadilan, dan merupakan personifikasi dari ayat:

وَمَا یَنۡطِقُ عَنِ الۡھَوٰی اِنۡ ھُوَ اِلَّا وَحۡیٌ یُّوۡحٰی

(‘Dan ia tidak berkata-kata menurut kehendak hawa-nafsunya. Itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan oleh Tuhan’)

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. – putra ruhani Nabi s.a.w. dan hamba sejatinya – yang adalah Hakim dan Juru Damai yang Adil di akhir zaman serta diutus untuk kebangkitan Islam, telah menguraikan 12 prinsip untuk membedakan validitas sebuah narasi. Salah satu prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

‘Sehubungan dengan Kitab (Al-Qur’an) dan Sunnah (praktik Nabi s.a.w.) dalam konteks menjatuhkan putusan dalam syariat Islam, menurut pandangan saya, Kitab Allah adalah yang terdepan dan diutamakan. Jika ada hal yang mana makna hadits Nabi saw tidak bertentangan dengan Kitab Allah, maka makna tersebut akan dianggap sebagai bagian dari syariat. Namun, kita tidak dapat menerima makna-makna yang bertentangan dengan ajaran yang jelas dari Al-Qur’an. Bahkan, sejauh mungkin, kami akan mencoba untuk mengambil makna dari hadits yang sesuai dengan pernyataan yang jelas yang ditemukan dalam Kitab Allah. Jika kita menemukan sebuah Hadits yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan kita tidak dapat menafsirkannya sesuai dengan itu, maka kita akan menganggapnya palsu karena Allah Ta’ala berfirman,

فَبِاَیِّ حَدِیۡثٍۭ بَعۡدَ اللّٰہِ وَاٰیٰتِہٖ یُؤۡمِنُوۡنَ

‘Maka kepada perkataan manakah setelah menolak firman Allah dan ayat-ayat-Nya, mereka akan beriman?’ [13]

Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa jika Al-Qur’an telah memberikan keputusan yang jelas dan tegas tentang suatu hal tanpa meninggalkan ruang keraguan serta makna yang diinginkan dibuat jelas, maka tidak wajib bagi seorang mukmin untuk menerima apa pun yang bertentangan dengan jelas terhadapnya. [14]

Jika kita mengkaji penjelasan hadits ini berdasarkan prinsip yang digariskan oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s., kita menemukan bahwa dalam Fathul Wadud, komentar Sunan Abi Dawud, ada penjelasan hadits ini yang sejalan dengan contoh yang ditetapkan oleh Rasulullah saw.

Yakni, tertulis dalam Fathul Wadud bahwa kata-kata dari hadits tersebut di atas, Nabi s.a.w. memerintahkan dia (yaitu orang pertama yang dituduh) untuk dihukum, menunjukkan bahwa bagaimana terjadinya peristiwa ini adalah pernyataan narator sendiri. Jika tidak, ketika orang tersebut dihadirkan di hadapan Nabi s.a.w., dia sedang melakukan penyelidikan tentang keadaan di sekitar insiden tersebut serta reputasi dan kondisi masa lalu terdakwa, di mana pelaku sebenarnya mengakui kesalahannya. [15]

Penjelasan ini tidak hanya memperkuat keaslian hadits ini, tetapi juga mengarah pada kesimpulan bahwa tidak boleh tergesa-gesa dalam memberikan hukuman. Selanjutnya, seseorang tidak boleh dianggap bersalah hanya berdasarkan tuduhan seseorang, terutama ketika mereka menyangkal tuduhan itu; karena kadang-kadang hal tersebut mungkin masih pada permukaan, rantai peristiwa tampaknya saling terkait sedemikian rupa sehingga seolah-olah tuduhan itu benar. Namun, ketika penyelidikan yang lebih mendalam terhadap keadaan dan peristiwa dilakukan dan semua bukti dan kesaksian tidak langsung berdasarkan penuduh dan kehidupan masa lalu serta reputasi terdakwa dianalisis, maka mungkin terdapat hasil yang sama sekali berbeda.

Sikap umum yang diambil oleh para ahli hukum sebelumnya sehubungan dengan pemerkosaan adalah bahwa hal tersebut termasuk dalam kategori perbuatan zina dan menurut syariat hal tersebut menuntut hukuman yang sama dengan perbuatan zina konsensual (di mana terjadi persetujuan kedua belah pihak, pent). Selanjutnya mereka mengatakan bahwa standar pembuktian yang dipersyaratkan untuk pemerkosaan adalah sama dengan yang dipersyaratkan untuk perbuatan zina konsensual, yaitu kesaksian empat orang laki-laki muslim sebagai saksi mata. Jika ada empat keterangan saksi mata, maka Had seratus cambukan atau rajam akan dikenakan dan jika syarat-syarat untuk menetapkan kejahatan itu tidak terpenuhi maka hukuman Had tidak akan berlaku. Ini adalah hukum-hukum syariat yang dibuktikan melalui Sunnah Nabi s.a.w..

Hal ini menunjukkan bahwa menurut sebagian ahli hukum, perkosaan dan perzinahan adalah sama dalam hal pembuktian yang disyaratkan dan pemberlakuan hukuman Had. Standar pembuktian dan hukuman Had yang digariskan oleh syariat untuk perbuatan zina konsensual juga berlaku dalam kasus pemerkosaan.

Menurut mereka, perbedaan antara kedua kejahatan itu adalah bahwa dalam kasus perbuatan zina konsensual, keduanya dapat dihukum, sedangkan dalam kasus pemerkosaan, hanya pelaku yang akan dihukum dan korban dibebaskan dari hukuman. Para ahli hukum telah mengutip ayat berikut untuk pengecualian ini:

وَمَنۡ یُّکۡرِھۡھُّنَّ فَاِنَّ اللّٰہَ مِنۡۢ بَعۡدِ اِکۡرَاھِھِنَّ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ

‘Dan barangsiapa memaksa mereka, maka setelah pemaksaan terhadap mereka itu sesungguhnya Allah, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap mereka’

Dengan kata lain, Allah tidak akan menghukum mereka. Selanjutnya, para ahli hukum ini juga telah membuat pernyataan Nabi s.a.w. berikut sebagai dasar pendirian mereka:

اِنَّ اللہَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِی الْخَطَأَ وَ النِّسْیَانَ وَ مَا اسْتُکْرِھُوا عَلَیْہِ

‘Allah Yang Mahakuasa telah mengampuni umatku dari azab yang mereka lakukan karena lupa atau terpaksa.’ [17]

Oleh karena itu, di banyak negara Muslim, bukti yang diperlukan untuk perbuatan zina dan pemerkosaan adalah kesaksian saksi mata dari empat pria Muslim; dan jika kejahatan terbukti, hukuman Had baik seratus cambuk atau rajam dijatuhkan.

Berbeda dengan pandangan ahli hukum masa lalu, beberapa ulama muslim kontemporer menganggap bahwa pemerkosaan terpisah dari perbuatan zina konsensual. Padahal, menurut mereka, pemerkosaan tidak termasuk dalam kategori hukuman Had dalam Islam; sebaliknya, itu termasuk dalam hukuman Takzir. Para ulama kontemporer ini telah menggarisbawahi bahwa pemerkosaan juga termasuk dalam lingkup ‘perang’ dan ‘kekacauan’ (merujuk pada ayat Al-Qur’an); oleh karena itu, daripada memerlukan empat saksi sebagai alat bukti, mereka menganggap kesaksian, kondisi, dan bukti tidak langsung sebagai bukti yang cukup. Dalam pandangan mereka, pelaku dapat diberikan hukuman mati untuk memberikan efek jera. Namun, para ulama kontemporer ini juga sepakat bahwa seseorang tidak dapat dihukum hanya berdasarkan tuduhan seseorang, melainkan kesaksian dan bukti-bukti yang tidak langsung harus dihadirkan untuk membuktikan tuduhan tersebut.

Ringkasnya, Islam tidak menjatuhkan hukuman dalam kasus pemerkosaan hanya berdasarkan tuduhan orang yang terkena; perlu ada saksi, atau kesaksian dan bukti tidak langsung. Karena bisa saja si penuduh salah; baik sengaja, seperti kasus Yusuf a.s., atau karena gagal mengidentifikasi pelaku dengan benar, seperti yang terjadi dalam riwayat Sunan Abi Dawud tersebut di atas.

Dalam kasus-kasus di mana tidak ada saksi, maka pengadaan bukti dan kesaksian tidak langsung menurut sarana yang tersedia pada saat itu sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, para ahli hukum telah menganggap bukti dan kesaksian tidak langsung yang diperoleh dari pemeriksaan medis dan teknologi modern dapat diterima untuk mencapai putusan dalam kasus-kasus seperti itu.

Hazrat Muslih Mau’ud r.a. telah menguraikan ajaran Islam tentang perbuatan zina dan hal-hal terkait lainnya dalam komentarnya yang luar biasa dari ayat 5 Surah An-Nur, ringkasannya adalah sebagai berikut:

1. Perbuatan zina dapat dibuktikan baik melalui keterangan empat orang saksi maupun melalui pengakuan yang bebas dari paksaan.

2. Istilah Muhsanat mengacu pada laki-laki dan perempuan, sebagaimana konjugasi laki-laki dari kata yang sama mengacu pada laki-laki dan perempuan.

3. Di zaman sekarang ini, hal ini harus ditegakkan karena orang-orang menuduh orang lain melakukan kejahatan semacam itu tanpa bukti, hanya untuk menciptakan masalah dan perselisihan.

4. Salah menuduh orang lain adalah dosa besar, dan hukuman bagi seseorang yang salah menuduh adalah 80 cambukan, yang hampir sama dengan hukuman 100 cambuk dalam kasus perbuatan zina (konsensual).

5. Istilah Muhsanat juga mengacu pada orang-orang yang dituduh tidak senonoh, yang tuduhannya tidak dapat dibuktikan melalui kesaksian. Dalam hal ini, orang yang dituduh seperti itu dianggap suci dan tidak memiliki cacat di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa, sedangkan yang menuduh dianggap sebagai pembohong dan pembuat-buat serta dapat dipidana karena menurut hukum, beban pembuktian ada pada penuduh.

6. Dalam hal seseorang mengaku melakukan zina dan menegaskan kembali pengakuannya sebanyak empat kali, maka berdasarkan syariat, hanya orang yang membuat pengakuan yang dianggap bersalah. Jika seorang pria mengaku berzina, wanita yang bersangkutan tidak akan dianggap bersalah. Jika laki-laki memberikan nama perempuan, maka perempuan hanya akan ditanya, tanpa dia bersumpah, apakah pengakuan laki-laki itu benar atau tidak. Jika dia mengklaim bahwa pengakuan itu salah, wanita itu akan bebas.

7. Secara terbuka mengklaim di depan umum bahwa seseorang telah menjadi sasaran kejahatan semacam itu tidak menunjukkan kebenaran dan kesalehan seseorang, melainkan merupakan tanda kelancangan dan tidak tahu malu. Zulaikhah menuduh Yusuf a.s. tidak senonoh terhadap dirinya. Apakah tuduhan seperti itu membuktikan kebenarannya, atau justru taktik licik dan tipu dayanya?

8. Nabi s.a.w. juga tidak senang pada seseorang yang mengatakan bahwa dia telah melakukan perbuatan zina (konsensual), dan dia berpaling darinya dengan marah dan menganggap pengakuannya sebagai tindakan yang bodoh.

9. Dalam sebuah hadits tercatat bahwa seorang laki-laki pernah menyatakan bahwa anak si fulan itu sebenarnya adalah anak dari saudaranya, karena saudara laki-lakinya telah mengklaim bahwa anak itu adalah miliknya. Setelah mendengar ini, Nabi s.a.w. tidak memuji individu itu, juga tidak meminta pernyataan dari individu lain untuk mengesahkan klaim ini. Sebaliknya, dia menyatakan, ‘anak laki-laki itu milik siapa pun istri yang dinikahi dan orang yang melakukan perbuatan zina akan dirajam.’

10. Daripada mengaku sendiri, jika menuduh orang lain, orang yang dituduh tidak akan dimintai keterangan, juga tidak diwajibkan untuk bersumpah atau berduel doa. Untuk menetapkan hukuman Had melalui pengambilan sumpah akan sama dengan tidak menghormati syariat dan ini juga merupakan keyakinan para ahli hukum masa lalu.

11. Dalam hal di mana hukuman Had ditentukan, sumpah tidak dapat menjadi dasar pelaksanaan Had itu. Dalam kasus seperti itu, keputusan akan suatu masalah ada pada kesaksian para saksi. Selama masa Hazrat Umar r.a., ketika gubernur Basra, Hazrat Mughirah bin Shu’bah r.a. dituduh tidak senonoh, ada tiga saksi yang memberikan kesaksian terhadap hal tersebut. Saksi keempat sedikit berbeda karena dia mengatakan bahwa dia tidak menyaksikan perbuatan zina tersebut dengan cara yang disyaratkan untuk bersaksi terhadapnya. Akibatnya, Hazrat Umar r.a. menghukum tiga saksi dengan hukuman Qadhfi (tuduhan palsu). Ada yang berpendapat bahwa karena ada tiga keterangan yang sah dan keterangan yang keempat mengandung unsur keraguan, maka dari itu harus diambil sumpah dari terdakwa untuk membuktikan atau memalsukan tuduhan itu. Namun tidak ada sumpah yang diambil dari orang itu, melainkan, dengan hukuman cambuk (untuk tuduhan palsu), para saksi dicabut haknya untuk memberikan kesaksian. Hazrat Umar r.a. secara terbuka mengumumkan bahwa kesaksian orang-orang itu tidak akan diterima di masa depan. [18]

Sementara itu, tentang hal tersebut (mengambil sumpah), penting untuk menyentuh poin penting berikut. Dalam Surah An-Nur, Allah SWT telah menetapkan tata cara Li’an bagi suami atau istri yang menuduh pasangannya berzina, tetapi tidak memiliki saksi untuk membuktikan klaimnya. Sebagian orang berpendapat bahwa metode Li’an dapat diterapkan untuk hal-hal selain suami dan istri, yaitu antara mereka yang dituduh zina yang tidak menikah. Asumsi ini tidak benar. Faktanya, Hazrat Mushlih Mau’ud r.a. dengan jelas menolak pandangan ini. Selain penjelasan di atas yang diambil dari Tafsir-e-Kabir, Hazrat Mushlih Mau’ud r.a. telah menjelaskan hal ini dalam banyak tulisan dan pidatonya yang lain.

Mengenai hal ini, Hazrat Mushlih Mau’ud r.a. menulis tanggapan atas surat yang diterimanya;

‘Karena ini adalah masalah yang membuat banyak orang goyah, saya ingin menulis tanggapan atas surat ini dengan tangan saya sendiri. Berdasarkan Al-Qur’an, penggugat zina ada dua macam: 1. Suami atau istri, 2. Pria atau wanita yang belum menikah. Dalam hal suami atau istri saling menuduh dan tidak ada saksi, maka suami menggunakan cara Mula’anah. Dengan kata lain, mereka akan bersumpah atas nama Tuhan terhadap pasangan mereka. (Suami disebutkan dengan tegas dalam Al-Qur’an, sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan istri dapat disimpulkan dari hal ini karena selain dari hal-hal yang sangat spesifik, Al-Qur’an memberikan perintah kepada kedua belah pihak walaupun hanya membahas salah satu). Mengambil satu sumpah akan setara dengan kesaksian satu saksi, dan yang kelima kalinya dia akan memanggil kutukan Tuhan untuk menimpa kepada pembohong. Jika tuduhan itu diajukan antara seorang pria dan wanita yang belum menikah, maka hanya diperlukan empat saksi. Mereka tidak dapat meminta penyelesaian masalah mereka dengan mengambil sumpah atas nama Tuhan, demikian pula sumpah yang diambil oleh seorang penuduh tidak berlaku sama sekali. Penggugat tanpa saksi akan dianggap pembohong, dalam hal ini tergugat tidak akan dianggap bersalah, meskipun mereka tidak bersumpah atas nama Tuhan.

Ketika Nabi s.a.w. menanyakan tentang tuduhan yang dibuat terhadap Hazrat Aisyah r.a., dia menolak untuk memberikan jawaban apapun. Dia berkata, ‘Jika saya menerima tuduhan ini, maka itu bohong, dan jika saya menolaknya, maka orang tidak akan menerima saya sebagai orang yang jujur. Jadi, saya tidak akan menjawab apa pun. Tuhan adalah saksiku.’ Dan dengan demikian Tuhan mendukungnya dalam masalah ini dan membebaskannya dari semua tuduhan. Oleh karena itu, bersumpah di depan umum dalam hal ini tidak dapat diterima di pengadilan dan juga tidak memiliki nilai sebagai alat bukti. Menurut syariat, penggugat akan dianggap pembohong kecuali mereka menghadirkan empat saksi. Jika hukuman ini dijatuhkan sesuai dengan syariat Islam, maka penggugat akan dikenakan cambukan. Bahkan jika mereka telah, pada kenyataannya, menyaksikan sesuatu, adalah kewajiban mereka untuk tetap diam dan tidak mengungkapkan apa yang telah Allah sembunyikan.’ [19]

Menurut ajaran Islam, dalam kasus di mana kekerasan telah digunakan (pemerkosaan, kekerasan seksual), pihak yang terkena dampak wajib untuk segera memberi tahu pihak berwenang. Jika, karena keadaan yang meringankan, pihak yang terkena dampak tidak dapat melakukannya, maka mereka juga harus memberikan bukti alasan mengapa mereka menunda melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwenang. Sehubungan dengan seorang wanita yang membuat tuduhan pemerkosaan, Hadhrat Khalifatul Masih IV r.h. menyatakan,

“Menurut pendapat saya, ini adalah masalah yang termasuk dalam kategori Takzir, dan penyelidikan seputar tuduhan itu harus dilakukan sesuai dengan kategori itu. Setelah mengkonfirmasi tuduhan, kasus tersebut harus diselesaikan melalui Takzir.’ [20]

Berkenaan dengan tuduhan pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang wanita, Hadhrat Khalifatul Masih IV r.h. menyetujui saran dari Majlis Ifta’ (Majelis Peradilan):

1. Seorang perempuan yang menjadi korban pemerkosaan dapat membawa kasusnya ke pihak yang berwenang, dan dia tidak diharuskan untuk memberikan empat saksi. Bahkan, seperti kejahatan lainnya, bukti tidak langsung akan diperhitungkan untuk masalah ini juga. Ketika memutuskan putusan berdasarkan bukti tidak langsung untuk kasus-kasus seperti itu, ayat 27 hingga 29 dari Surah Yusuf akan diambil sebagai prinsip panduan.

2. Jika wanita tersebut tidak dapat memberikan bukti untuk mendukung klaimnya, dia tidak akan menghadapi hukuman Qadhfi (tuduhan palsu). Kecuali dalam kasus di mana terbukti bahwa penggugat wanita telah membuat tuduhan ini dengan niat buruk dan telah merencanakan tuduhan semacam itu semata-mata untuk mempermalukan dan mencemarkan nama baik terdakwa dan dengan demikian melibatkan dirinya sendiri. Dalam situasi seperti itu, jika terdakwa mengajukan tuntutan (terhadap wanita itu), maka pengadilan dapat mengajukan hukuman yang sesuai untuk wanita yang telah melontarkan tuduhan tersebut.

3. Korban pemerkosaan harus memberi tahu pihak berwenang terkait kejahatan tersebut sesegera mungkin. Namun, jika korban menundanya karena keadaan tertentu atau takut akan aib, dalam hal demikian gugatan penggugat tidak dapat ditolak seluruhnya. Namun, selama penundaan ini, jika beberapa bukti hilang, maka penggugat bertanggung jawab untuk itu. Meskipun demikian, merupakan tanggung jawab pengadilan hukum untuk memperhatikan alasan-alasan penundaan itu ketika mengambil keputusan. [21]

Berkenaan dengan poin yang digarisbawahi dalam klausa ketiga di atas, Hadhrat Khalifatul Masih IV r.h. memberikan petunjuk berikut, yang dicatat oleh Sekretaris Pribadinya dan dimasukkan ke dalam laporan yang sama:

“Semua rekomendasi dapat diterima, tetapi mengapa gugatan penggugat tidak dapat ditolak karena keterlambatan pelaporan kejadian? Dalam hal seperti itu, Nabi s.a.w. mengambil tindakan segera. Selama penundaan, seseorang mungkin juga telah mencari taubat (taubah) dari Tuhan. Ketika seorang wanita mengambil keputusan untuk melaporkan kejadian setelah penundaan, maka dia tidak boleh diberi hak untuk mengutip apa pun dari masa lalu. Jika setelah memperingatkan pelaku, ia melanjutkan pelecehannya, maka penggugat hanya melaporkan kejadian terbaru, dan dengan demikian akan dianggap sebagai pelaporan langsung atas kejadian tersebut. Jika tidak, tidak  diketahui apa yang telah dilakukan dua individu tersebut (secara konsensual) di masa lalu.’ [22]

Dari Al-Qur’an Suci, sabda Nabi s.a.w. dan bimbingan yang disebutkan di atas (Hazrat Masih Mau’ud a.s. dan khalifahnya), menjadi jelas bahwa dalam ajaran Islam, segala bentuk penyalahgunaan membutuhkan pihak yang terkena dampak untuk segera melaporkan kejadian tersebut dan mencari keadilan dari pihak yang berwenang. Jika, karena keadaan tertentu, pihak yang terkena dampak tidak dapat melakukannya dan melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwenang di lain waktu, maka sebelum memulai penyelidikan mereka atas masalah tersebut, pihak berwenang berhak untuk membahas penyebab keterlambatan untuk memastikan apakah situasi tersebut memang menghalangi penggugat untuk melaporkan kejadian tersebut secara tepat waktu atau tidak.

Sumber : https://www.reviewofreligions.org/38868/the-punishment-for-fornication-rape-and-false-allegations-in-light-of-islamic-hadd-and-tazir/

Terkait :

Hukuman Islam Untuk Zina, Pemerkosaan dan Tuduhan Palsu Bag. 1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *