Siapa pun yang telah memilih jalan kebenaran atau kejujuran tidak boleh berhenti di tengah jalan, betapa terjal, panjang, berkeloknya jalan itu
Jumat 22 Mei 2022 adalah hari yang memiliki 2 romantika yang berbeda, di satu sisi sebagai muslim ahmadiyah ini adalah hari yang berbahagia, karena pada tanggal ini diperingati telah berdirinya sistem Khilafat dalam Ahmadiyah memasuki tahun ke-114. Tentunya yang sudah dipahami bersama bahwa Khilafah Ahmadiyah adalah khilafat spiritual cinta damai, antitesa dari khilafat politik yang sering digaungkan oleh kelompok Islam fundamentalis. Sistem Khilafat yang mengokohkan pondasi bangsa bukan malah mengerogotinya. Maka hari khilafat selalu menjadi momen untuk merefleksikan rasa syukur atas karunia rohani yang telah kami dapatkan. Karena lewat sistem ini, kami memiliki spirit besar untuk mengkhidmati bangsa dan agama. Namun dalam suasana kebahagian itu, kami juga dikejutkan dengan kabar wafatnya seorang guru bangsa yaitu Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif. Masih terlintas kuat bagaimana senyuman Buya Syafii Maarif yang selalu memiliki aura perdamaian. Beliau selalu menjadi mata air sejuk dalam berbagai peliknya permasalahan bangsa. إِنَّا لِلَّٰهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Bangsa ini sebenarnya belum siap kehilangan Buya Syafii, tapi Sang Pemilik Sejati telah memanggilnya. Tentu kami hanya bisa panjatkan doa terbaik bagi beliau agar mendapatkan kedudukan terbaik di sisi Allah swt. Wahai Buya, pemikiran dan perjuangan perdamaian anda untuk bangsa ini adalah warisan yang sangat bernilai. Teringat dengan pepatah bahasa arab Al ilmu bilaa ‘amalin kasyajari bila tsamarin Ilmu tanpa amal atau praktek seperti pohon yang tidak berbuah. Betapa negeri ini tidak kekurangan akan orang-orang berilmu, tetapi bangsa ini kekurangan akan orang-orang berilmu yang betul-betul mengamalkan ilmunya dengan tulus untuk kebaikan bangsa. Ibarat pohon, beliau adalah pohon besar yang rindang dengan buah yang lebat, segar dan berkhasiat. Ketulusan dan kelurusan beliau menjadi peneduh bagi lalu lalang permasalahan bangsa. Komitmen beliau terhadap toleransi dan kebinekaan menjadi buah segar yang bisa dinikmati berbagai kalangan. Keberanian beliau menyuarakan kebenaran walau kadang terasa mengusik bagi kalangan tertentu adalah buah yang berkhasiat bagi pemecahan masalah.
Namun layaknya pohon yang besar pun harus siap menghadapi angin besar juga. Keberanian beliau menyuarakan kebenaran dan toleransi juga harus menghadapi tantangan besar juga. Pendapat beliau terhadap kasus persekusi Islam Ahmadiyah di Lombok dan Syiah di Sampang, menjadi contoh bagaimana komitmen beliau terhadap HAM. Beginilah beliau berpendapat
“Saya rasa tidak boleh dibiarkan begitu. Mereka kan juga warga negara kita. Andaikata bukan warga negara kita pun, sebagai sesama manusia tidak boleh dibiarkan begitu. Negara harus turun tangan betul ini… Kadang-kadang Pemerintah Daerah membiarkan semacam itu. Itu tidak benar. Mereka kan manusia. Kalau pun kita tidak setuju dengan teori mereka, tapi dia berhak hidup di sini. Mengapa harus seperti itu? Jangan dengar omongan orang yang antipluralisme…Itu perbuatan yang antikemanusiaan, Memang kadang-kadang di Sampang ada masalah, faktor keluarga juga. Tapi apapun alasannya orang tidak boleh teraniaya seperti itu… Negara tidak boleh membiarkan seperti ini. Negara ini tugas sedikit lah.. Pemerintah Daerah kurang berdaya, atau sengaja tidak berdaya. Pemerintah Pusat harus memanggil dan menegur. Itu harus diselesaikan. Masa sudah bertahun-tahun kejadian semacam ini. Ini tragedi kemanusiaan tidak baik. Sila kedua Pancasila kan ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’. Kalau kita melihat ini berarti mengkhianati sila kedua itu”[1].
Pandangan beliau tersebut juga mendapat penentangan kuat juga, terutama dari kelompok intoleran. Sengaja kami mencantumkan kutipan beliau agak panjang, karena dari kutipan tersebut kita bisa belajar bagaimana nilai-nilai Buya Syafii yang harus terus dilanjutkan. Karena cara terbaik untuk menghormati sosok mulia adalah dengan cara meneruskan nilai-nilai dan perjuangan kebaikannya. Tanpa hal itu, maka tulisan kenangan hanya akan menjadi kata-kata formalitas saja. Seperti yang telah difirmankan oleh Al-Qur’anul Karim :
ٱلَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ ٱلْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal (QS. Az-Zumar [39] : 19)
Maka cara kami mengenang Buya Syafii adalah dengan merefleksikan nilai-nilai beliau. Dari tanggapan beliau terhadap kasus persekusi Ahmadiyah di Lombok dan Syiah di Sampang kita bisa belajar beberapa nilai yang beliau genggam :
- Negara harus memastikan bahwa hak berkeyakinan dan beribadah yang dilindungi oleh UUD benar-benar terwujud.
- Ketika terjadi kasus persekusi terhadap satu kelompok keyakinan, terlebih sudah menyebabkan dampak besar seperti korban jiwa atau pengusiran semena-mena. Negara wajib turun tangan untuk mengembalikan hak korban yang telah direnggut.
- Orang beragama atau berbangsa harus menjunjung nilai kemanusiaan, terlebih nilai tersebut telah diabadikan dalam sila kedua kita. Tindakan persekusi adalah tindakan yang mengkhianati pancasila.
Refleksi nilai itu bukan sekedar karena in memoriam ini ditulis oleh muslim ahmadiyah karena berhubungan dengan kasus Islam Ahmadiyah. Bukan kawan, bukan sesempit itu. Refleksi ini tentang nilai yang universal bukan sekedar karena ikatan ideologis kelompok. Lihatlah kami sandingkan nama Ahmadiyah dan Syiah dalam latar pendapat diatas, padahal Ahmadiyah dan Syiah memiliki beberapa pandangan fundamental yang berbeda. Tetapi itu tidak menjadi masalah sama sekali ketika berbicara mengenai perlindungan berkeyakinan dan beribadah di negeri ini. Dalam hak berkeyakinan dan beribadah tidak ada Ahmadiyah, tidak ada Syiah, tidak ada Muhamadiyah, begitu juga tidak ada Kristen, Hindu, kelompok kepercayaan dst. Yang ada adalah komitmen bersama bahwa kebebasan berkeyakinan dan beribadah adalah hak setiap warga di negeri ini dan diabadikan oleh UUD 45.
Nilau universal Buya Syafii ini sejalan betul dengan pandangan Khalifah Ahmadiyah yang disampaikan pada Simposium Perdamaian di Calgary – Kanada pada tahun 2016 :
“Oleh karena itu, Al-Quran tidak hanya menyeru umat Islam untuk berbuat baik dan adil, melainkan juga telah menetapkan standar yang jauh lebih tinggi dalam hal memperlakukan orang lain. Manakala Allah Ta’ala berfirman, ‘memberi layaknya seperti kerabat’, Dia menginginkan orang beriman untuk berbuat baik kepada orang lain dan selalu menginginkan yang terbaik untuk mereka. Dia mengharuskan umat Islam untuk memperlakukan orang lain layaknya anggota keluarga dekat mereka. Dia mengharuskan mereka untuk berusaha mencintai orang lain, tanpa ada keinginan meraih imbalan, layaknya seorang ibu yang tanpa pamrih mencintai anaknya. Selanjutnya Al-Quran tidak mengatakan bahwa seorang Muslim hanya memperhatikan sesama Muslim saja dengan cara ini, melainkan dikatakan bahwa mereka harus mencintai ‘orang lain’, dan ini mencakup Muslim dan non-Muslim[2]”
Sebagai seorang muslim Muhamdiyah tulen, kami tentu meyakini bahwa Buya Syafii memiliki beberapa pandangan fundamental yang bersebrangan dengan Ahmadiyah. Tapi bagaimana beliau bisa membedakan ranah keyakinan dan ranah kebangsaan. Sesuatu yang mungkin mudah disampaikan, tetapi seringkali sulit untuk diwujudkan. Bagi kami Buya Syafii telah begitu fasih mengintegrasikan agama, kemanusia dan kebangsaan.
Dari sisi pemikiran Islam, Sang Buya memang seorang sosok intelektual Islam yang sesungguhnya, beliau betul-betul berusaha memahami dengan dalam peta memikiran berbagai kelompok Islam di Indonesia. Ini tergambar dari magnum opus beliau berupa disertasi di Universitas Chicago, Amerika Serikat yang berjudul ‘Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia’ (1982). Dalam disertasi itu Buya Syafii dengan lincah menggambarkan pertarungan politik di konstituante pascapemilihan 1955 terkait masalah Islam dan kenegaraan. Termasuk didalamnya bagaimana faksi faksi di dalam partai Islam terbesar saat itu, Masyumi yang justru saling sikut sendiri. Buya Syafii juga dengan bahasanya yang khas namun tetap sederhana, bisa menjelaskan persoalan politik umat Islam modern yakni Islam Cita-Cita dan Islam Sejarah dan berbagai persoalannya untuk memasukkan dua hal ini ke dalam sistem tata negara modern.
Masih begitu banyak yang bisa dipelajari dari Buya Syafii, sesuai panggilan akrab beliau yaitu Buya (diserap dari bahasa Arab Abun dan ya yang artinya bapakku). Beliau adalah bapak bangsa yang sesungguhnya. Beliau memang layak dipanggil Buya, bukan sekedar karena seorang alim dari ranah minang, tapi karena mutiara pemikiran dan perjuangan kebenarannya. Hidup dalam pusaran pemikiran bangsa maka kehidupan beliau selalu bersentuhan dengan para elit bangsa, namun gaya hidup beliau jauh dari kata elit pada umumnya yang dipahami. Kesederhaaan menjadi nilai lebih Buya Syafii, sudah banyak tulisan yang mengisahkan bagaimana walau pemikiran dan perjuangan beliau begitu elit, tapi gaya hidup beliau begitu sederhana. Tidak heran jika kita akan mendapati beliau sedang bepergian dengan angkutan umum berdesakan dengan rakyat biasa atau sedang bersepeda ontel kesana kemari.
Dahulu kita kehilangan Gusdur, kini kita kehilangan Buya Syafii Maarif. Namun biarlah raga beliau-beliau pergi, tapi biarkan mutiara pemikirannya tetap abadi, sesuai yang disampaikan oleh Buya Syafii yang terkenal itu :
Siapa pun yang telah memilih jalan kebenaran atau kejujuran tidak boleh berhenti di tengah jalan, betapa terjal, panjang, berkeloknya jalan itu
Selamat Jalan Buya Syafii, Sang Penjaga Pondasi Bangsa
[1] Wawancara Buya Syafii Maarif dengan jurnalis KBR, tercantum pada https://kbr.id/nasional/06 2019/buya_syafii__diskriminasi_terhadap_jemaah_syiah___ahmadiyah_harus_dihentikan/99570.html
[2] https://ahmadiyah.id/cara-mewujudkan-perdamaian-dunia.html