Oleh : Sir Muhammad Zafrullah Khan
“Laqad kaana lakum fii rasuuli-l-laahi uswatun hasanah”. Artinya, “Pada diri Rasulullah (Muhammad) sesungguhnya ada pola utama bagimu” (33:22).
Dasar dari semua hak asasi manusia
Dewasa ini kita sering dan banyak membicarakan hak-hak asasi manusia. Hak asasi manusia yang paling penting, yang tanpa itu semua hak lainnya tiada artinya, ialah kemerdekaan kepercayaan dan hati sanubari. Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh Al-Qur’an Suci dan dua tiga contoh yang diperlihatkan oleh Rasulullah saw.
Al-Qur’an Suci menerangkan: “La ikraaha fi-d-din, qad tabayana-r-rusydu mina-l-ghayyi”.
Artinya, Tiada paksaan dalam agama; sesungguhnya jalan yang lurus telah dibedakan dari kesesatan” (2:257).
Maksudnya, telah dinyatakan, bahwa manusia dengan mempergunakan akal anugerah Tuhan mampu memperbedakan kesesatan dari petunjuk; maka oleh karena itu sama sekali tidak perlu untuk mengadakan paksaan dalam urusan agama. Jadi segala macam paksaan dalam urusan agama itu sia-sia, sebab tiada suatu kekerasan pun yang dapat memaksa seseorang untuk beriman. Mungkin dalam keadaan tertentu ada orang yang dapat dipaksa untuk mengatakan, bahwa ia percaya, padahal dalam hatinya ia tidak percaya, tetapi tiada seorang pun yang dapat dipaksa untuk beriman. Hati sanubari itu tidak dapat dipaksa.
Paksaan tidak dapat dipakai
“Wa lau syaa rabbuka laamana man fi-l-ardhi kulluhum jami’a; afaanta tukrihu-n-naasa hatta yakunu mu’minin”. Artinya : “Dan bila Tuhanmu menghendaki, manusia di bumi semuanya tentu akan beriman. Apakah kini engkau akan memberati dirimu sehingga mereka menjadi orang-orang yang beriman”? (10:100).
Hal itu menetapkan suatu pokok penting, bahwa jika Tuhan, Yang berkuasa atas hati dan alam pikiran manusia, tidak memaksakan kehendak-Nya agar manusia beriman, tetapi telah membiarkannya bebas dalam memilih, maka apakah engkau ya Rasulullah, atau orang lain mempunyai prakasa sendiri untuk memaksa orang untuk beriman? Hal ini berarti, bahwa paksaan itu adalah usaha yang sia-sia belaka.
“Wa quli-l-haqqu min rabbikum; faman syaa fal-yu’min, wa man syaa fa-l-yakfur”. Artinya :
“Dan katakanlah : Ini kebenaran dari Tuhanmu; maka siapa mau beriman, berimanlah, dan siapa mau, kafirlah. (18: 30).
Semua muslim harus bertabligh
Amanat harus disampaikan, sebab tabligh itu kewajiban Rasulullah saw. dan oleh karena itu adalah kewajiban kaum Muslimin juga untuk menyampaikan “amanat suci” itu seluas-luasnya. Untuk itu pun kita ditunjuki: “Ud’u ila sabiili rabbika bi-l-hikmati wal mau’izati-l-hasanati wa jadilhum billati hiya ahsan; inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wa huwa a’lamu bi-l-muhtadin”. Artinya “Panggilah kepada jalan Tuhanmu dengan kebijkasanaan dan anjuran yang baik dan bermujadalahlah dengan mereka secara baik. Sesungguhnya Tuhanmu tahu benar siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia mengetahui mereka yang memperoleh petunjuk” (16:126).
Seperti telah saya katakan tadi, peperangan dipaksakan kepada Rasulullah saw. dalam beberapa tahun dari masa kenabian beliau sesudah beliau berhijrah ke Medinah. Masa itu penuh dengan gerakan-gerakan permusuhan dan pertempuran serta segala macam perlampauan batas dan pelanggaran dari pihak lawan. Dan pada kejadian-kejadian itu mungkin ada orang dari pihak lawan, yang mencahari perlindungan pada Rasulullah saw. Kepada beliau dikatakan : “Wa in ahadun minal musyrikiinastajaaraka, faajirhu hatta yasma’a kalaama-l-laahi; tsumma ablighhu ma’manahu dzalaalika biannahum qaumun la ya’lamun” : Artinya “Dan bila ada orang dari kaum musyrik mencahari perlindungan pada kamu, lindungilah dia sehingga ia dapat mendengar kalamullah; kemudian antarkanlah dia ketempat yang aman baginya; hal itu disebabkan mereka itu orang-orang yang tidak berpengetahuan” (9:6).
Dalam keadaan demikian ada kesempatan untuk usaha memaksa si pelarian itu untuk beriman atau mengadakan tekanan atasnya. tetapi petunjuk yang diberikan adalah : “Jika salah seorang musyrik mencahari perlindungan padamu, lindungilah dia sehingga ia dapat mendengar Kalamullah” dan perhatikan kelanjutannya, “Kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya, sebab mereka itu orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan”. Yang diizinkan paling jauh ialah “menyampaikan kalamullah kepadanya”. Kewajiban sesudah itu ialah mengantarkannya ketempat yang aman baginya!
Sekarang, seperti yang saya janjikan, akan saya sampaikan dua tiga contoh tentang pelaksanaan petunjuk itu.
Agama adalah soal hati nurani
Abu Jahal adalah musuh Rasulullah saw. yang paling gigih di Mekkah dan ia telah berbuat aniaya terhadap beliau dengan berbagai cara. (Pada pertempuran pertama di Badar ia gugur). Anaknya — Ikramah — yang telah dibesarkan dalam suasana permusuhan demikian, adalah prajurit ulung dan kemudian menjadi panglima yang termasyhur. Atas usahanya, kemenangan dapat diraih dan direbut dari tangan angkatan bersenjata Muslim pada Pertempuran Uhud yang terkenal itu, sehingga keadaan berubah dan hampir-hampir menjadi kekalahan mutlak bagi pasukan-pasukan Muslim. Pada waktu kemudian, ketika Mekkah terpaksa membuka pintu-pintu gerbangnya untuk menerima Rasulullah saw. maka pada saat itu Ikramah yang didorong oleh rasa cemas dan putus-asa, bahwa baginya di Mekkah sudah tiada hari depan yang memberi harapan lagi, telah berangkat meninggalkan kota yang sangat dicintainya itu dan menuju ke pantai laut dengan niat meninggalkan Mekkah dan naik perahu menuju luar negeri, mungkin ke Abyssinia.
Istrinya menghadap Rasulullah saw. dan menerangkan niat suaminya itu dan menanyakan, apakah Ikramah, yang sangat mencintai mekkah, dapat memperoleh jaminan keselamatan baginya, jika ia kembali dan diizinkan menetap dengan aman damai sebagai warga-kota yang tetap berpegang kepada kepercayaan agama nenek-moyangnya. Rasulullah saw. bersabda, “Memang demikian, di daerah yang ada dalam kekuasaanku ada keamanan dan perlindungan bagi setiap orang yang menjadi penghuninya”. “Tetapi ia sangat keras kepala, ya Rasulullah, dan tidak mau melepaskan kepercayaanya yang lama”. Rasulullah saw. bersabda, “Agama adalah urusan hati sanubari dan aku tidak diizinkan melakukan paksaan untuk memasukkan siapapun ke dalam agama Islam. Ia bebas tinggal di Mekkah dan beribadah menurut kepercayaannya”. Wanita itu minta diri dan pergi ke pantai untuk menyusul suaminya dan menyampaikan pernyataan tegas tiada paksaan dalam Islam, yang diberikan Rasulullah saw. sendiri. Ikramah menjawab, “Aku tidak percaya”. Istrinya berkata lagi, “Engkau dapat menghadap Rasulullah dan menanyakan sendiri tentang kebenaran berita yang kubawa”. Maka Ikramah datang menghadap dan bertanya kepada Rasulullah saw., “Apakah benar berita yang disampaikan kepadaku, bahwa aku dapat hidup dengan aman tentram di Mekkah dan tetap berpegang kepada kepercayaan dan agamaku sendiri?” Rasulullah saw. menjawab, bahwa berita itu memang benar. Atas jawaban itu iman masuk ke dalam hati Ikramah dan dengan sepenuh hati dinyatakannya: “Asyhadu alla ilaaha illa-l-lah waasyhadu anna muhammada-r-rasulullah”.
Islam tidak disiarkan dengan pedang
Peristiwa kedua terjadi di luar Medinah. Rasulullah saw. beserta para sahabat ada dalam perjalanan pulang dari suatu perjalanan jauh dan dalam terik matahari lepas tengah hari. Seluruh rombongan mengambil istirahat dalam keteduhan pepohonan. Rasulullah saw. menggantungkan pedang beliau pada dahan pohon dan berbaring di bawah pohon itu.
Ketika beliau sudah tidur, ada orang yang diam-diam mengikuti rombongan itu datang mengendap-endap mendekati beliau. Pedang beliau diambilnya dan dengan tiba-tiba datang menyergap sambil memegang pedang terhunus itu. Rasulullah saw. tersentak bangun dan segera mengetahui, bahwa beliau ada dalam keadaan yang sangat berbahaya. Orang itu berkata, “Siapa sekarang yang dapat menyelamatkanmu?” Dengan tenang Rasulullah saw. menjawab, “ALLAH”. Sungguh-sungguh keteguhan keimanan kepada Tuhan yang tiada taranya. Ketika beliau mengatakan “Allah” orang itu terkesiap dan pedang pun jatuh dari tangannya. Rasulullah saw. bangkit, meraih pedang beliau dan bersabda, “Siapa sekarang yang dapat menolong?” Dengan gemetar orang itu menjawab, “Tiada seorangpun”.
Sementara itu orang-orang di sekitar itu telah berkumpul. Rasulullah saw. menceriterakan apa yang telah terjadi. Beliau kemudian bertanya, apakah orang ini mau membaca “kalimah syahadat”, yang dijawab orang itu dengan, “Tidak, tetapi aku berjanji tidak akan mengangkat senjata lagi terhadap tuan”. Rasulullah saw. membebaskan orang itu. Padahal itu adalah kesempatan baik, orang itu atas perbuatannya layak dihukum mati. Ia dapat memperlakukan dengan segala macam paksaan. Ia diberi kesempatan untuk masuk Islam dan menyelamatkan diri, tetapi ia telah menolaknya. Meskipun demikian Rasulullah saw. memberikan ampun dan ia pulang kembali kepada kaumnya dengan tidak kurang sesuatu apa pun, tanpa gangguan, bebas dan merdeka.
(Terjemahan Sukri Barmawi)
Dimuat pada Majalah Sinar Islam bulan Ikha 1355 HS/ Oktober tahun 1976 No.23 – Th. IV, hal.8-12