Minhajut Thalibin adalah karya tulis dari Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra), Khalifatul Masih ke-II yang merupakan teks pidato beliau pada tanggal 27 dan 28 Desember 1925 pada Jalsah Salanah (Pertemuan Tahunan) di Qadian India. Lalu diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Way of Seekers hasi terjemahan Qazi Muhammad Aslam M.A. dan Chaudhary Muhammad Ali M.A. Tulisan ini berisi urain yang sangat menarik tentang akhlak dan jalan pencarian menuju Allahswt . Insya Allah situs ahmaditalk secara berkala akan menampilkan tulisan ini yang sudah diterjemahkan oleh : SM. Muharim Awaludin
Penceramah Yang Mulia membuka dengan:
Saya bersaksi bahwa tak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Saya berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
Beliau kemudian membaca:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam. Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Penguasa hari pembalasan. Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan. Bimbinglah kami pada jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat. (1:1-7)
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal; yakni mereka yang mengingat Allah ketika berdiri, duduk dan berbaring pada pinggang mereka, dan merenungkan penciptaan langit dan bumi: ‘Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka selamatkanlah dari api neraka.’
Wahai Tuhan kami, barang siapa yang Engkau masukkan dalam neraka, maka sungguh Engkau telah hinakan dia; dan tak ada penolong bagi orang-orang yang zalim. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendengar seorang Penyeru yang memanggil kami kepada iman: “Berimanlah kepada Tuhan kalian.” Dan kami telah beriman. Oleh sebab itu, wahai Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan singkirkanlah dari kami keburukan-keburukan kami, dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang baik.
Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami apa yang Engkau telah janjikan kepada rasul-rasul Engkau; dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari kebangkitan. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.
Tuhan mereka akan menjawab do’a mereka: Aku tidak akan menyia-nyiakan amal dari orang-orang yang beramal di antara kalian, apakah laki-laki atau perempuan. Kalian secara ruhani adalah sejajar satu sama lain. Oleh sebab itu, barang siapa yang berhijrah, dan telah diusir dari rumah-rumah mereka, dan telah dianiaya di jalan-Ku, dan telah berjuang dan dibunuh. Aku pasti akan menyingkirkan dari mereka keburukan-keburukan mereka dan akan memasukkan dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai – sebuah ganjaran dari Allah, dan Allah adalah sebaik-baik pemberi ganjaran. (3:191-196)
Kemudian beliau melanjutkan:
Saya bersyukur kepada Allah Ta’ala atas karunia dan rahmat-Nya yang mengizinkan kita untuk sekali lagi menggenapi tanda yang Dia berikan untuk kebenaran utusan-Nya, wakil-Nya, pada zaman kita. Kita bersyukur kepada Tuhan atas karunia dan rahmat-Nya yang telah mengizinkan kita berhimpun sekali lagi, bukan untuk suatu kehormatan atau tujuan duniawi, tapi demi Dia, demi nama-Nya, mengingat Dia dan untuk memperkuat iman pada Wujud-Nya. Saya juga berdo’a kepada Tuhan agar Dia menyucikan niat-niat kita dan amal-amal kita yang soleh dan benar.
Nama ‘Minhajut Thalibin’
Saya kini beralih pada pokok bahasan ceramah ini yang telah saya pikirkan selama beberapa waktu. Masalah ini adalah demikian penting secara universal sehingga setiap orang berusaha mencari keterangan mengenainya. Banyak pertanyaan yang diajukan kepada saya, lebih banyak dari pada yang dapat saya hitung. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka inginkan jawabannya untuk memperoleh jawaban-jawaban yang tepat. Maka hal itu merupakan penjelasan-penjelasan yang mereka berharap untuk memperolehnya. Pertanyaan itu yang setiap orang inginkan jawabannya adalah: “Apa pedoman, amalan, cara yang dapat kita adopsi (terapkan) yang dapat membebaskan kita dari dosa dan segera membawa kita hanya pada kebaikan?” Jawaban yang paling singkat adalah: Terapkan semua jalan kebaikan, tinggalkan semua perbuatan dosa. Tapi sebagaimana semua orang tahu bahwa itu tidak cukup. Mereka berkata: Kami sudah membaca Al-Qur’an, kami sudah membaca Hadits sebaik-baiknya yang dapat dilakukan, dan kami sudah membaca buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud(A.S.), dan melakukan usaha-usaha yang perlu untuk membersihkan kehidupan yang penuh dosa, tapi kami tidak berhasil. Kini, sesudah melakukan semua itu, apa lagi yang dapat kami lakukan?
Pertanyaan ini sungguh benar. Bagaimana mengatasi kelemahan-kelemahan manusiawi ini – yang walaupun pengetahuan, walaupun upaya dan keinginan [itu ada], dia tidak selalu berhasil dalam memilih dan menempuh jalan kebenaran itu. Ketika saya duduk untuk mencatat beberapa segi yang penting, saya segera menyadari bahwa beberapa perkara yang terkumpul dalam bahasan ini terluput [dalam] bahasan-bahasan ceramah-ceramah yang saya sampaikan terdahulu pada suatu konperensi, yang diterbitkan dalam judul, Irfan Ilahi (Pengetahuan yang mendalam tentang Tuhan). Maka saya mulai membaca kembali ceramah itu. Saya menjumpai bahwa pada kesempatan itu saya telah berjanji bahwa saya akan membahas tema ini di masa mendatang. Ceramah-ceramah ini, oleh sebab itu, secara dekat berhubungan dengan ceramah terdahulu. Hanya dengan karunia Tuhan, maka saya teringat dengan janji saya dan saya terus memenuhinya.
Ketika saya mulai saya belum teringat pada sesuatu yang lain. Itu merupakan kasyaf yang lama terlupakan yang saya lihat segera setelah wafatnya Hadhrat Masih Mau’ud(A.S.). Pada masa itu saya tidak menyadari maknanya. Dalam kasyaf, saya menjumpai diri saya sedang duduk di sajadah sesudah shalat. Saya sedang memegang di tangan saya sebuah buku yang mengenainya saya diberi tahukan [bahwa buku itu] adalah [ditulis] oleh Hadhrat Syaikh Abdul Qadir Jailani. Nama buku itu adalah Minhajut Thalibin (Jalan Para Pencari). Saya membaca buku itu dan meletakkannya. Saya kemudian teringat bahwa buku itu dikembalikan kepada Hadhrat Khalifatul Masih I(R.A.), dan saya mulai mencarinya. Selama pencarian itu saya menjumpai satu buku lain. Secara bersamaan saya mendapati diri saya mengulangi kata-kata:
Tak seorang pun mengetahui mengenai jamaah Tuhan Engkau, selain Dia Sendiri.
Saya pikir ada sebuah buku dengan judul itu [yang ditulis] oleh Hadhrat Syaikh Abdul Qadir Jailani, dan saya akan mencarinya. Maka saya memintanya dari Hadhrat Khalifatul Masih I(R.A.), yang memberi tahukan saya bahwa tak ada buku dengan judul itu tapi ada satu buku lain dengan judul serupa, yakni Ghaniyyatut Thalibin. Saya meneruskan pencarian saya dan menjumpai bahwa tak ada buku seperti itu [yang ditulis] oleh Hadhrat Syaikh Abdul Qadir Jailani ataupun orang lain. Hal itu kemudian menyadarkan saya bahwa mungkin sayalah yang telah beruntung menulis sebuah buku dengan judul itu. Nama Abdul Qadir menandakan bahwa buku itu bukan merupakan hasil pemikiran saya sendiri bahkan merupakan hasil dari pemahaman khusus yang dianugrahkan Tuhan kepada saya. Sebab itu, saya putuskan untuk menyebut ceramah ini Minhajut Thalibin.
Saya telah menyebutkan dua ceramah saya sebelumnya, Irfan Ilahi dan Najat (lazim diterjemahkan dengan keselamatan tapi makna Islami yang paling tepat adalah penyempurnaan). Tiga pokok bahasan berhubungan satu sama lain. Saya tidak akan membahas hubungannya secara rinci, tapi akan menyinggung secara sekilas pada beberapa segi yang akan membantu dalam memahami pokok bahasan utama. Sebenarnya adalah bahwa manakala pada ceramah-ceramah terdahulu mengandung kerangka kerja teoritis mengenai seluruh pokok bahasan, pada ceramah sekarang ini akan menetapkan penerapan praktis dari bagian teorinya.
Pertanyaan pertama yang timbul ketika kita mulai meneliti pokok bahasan ini secara teratur adalah: Apakah tujuan, akhir dari penciptaan manusia? Pertanyaan ini – yang memang layak – telah diajukan oleh Tuhan Sendiri:
Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (51:57)
Manusia wajib menjadi gambaran (cerminan) Tuhan, jika dia ingin mencapai tujuan penciptaannya. Dalam Bahasa Arab Abd berarti budak (hamba sahaya). Ubudiyat secara harfiah berarti penghambaan atau perendahan diri kepada Wujud yang paling tinggi. Derajat merendahkan diri ini mengacu pada kesiapan yang sempurna untuk menerima pengaruh (kesan) dari yang lain. Menjadi Abd adalah menerima dan mengambil pengaruh dari yang lain secara keseluruhan. Menerima yang lain sebagai raja dan model. Kini tandai (ingat) kata-kata ini:
Manusia tidak diciptakan melainkan untuk satu tujuan menjadi seorang peniru, cerminan Tuhan.
Untuk menggenapi tujuan ini manusia perlu menyerap sifat-sifat Tuhan.
Para guru ruhani agung, nabi-nabi, rasul-rasul diutus dengan tujuan akhir ini. Kita baca:
Wahai Tuhan kami, bangkitkanlah di kalangan mereka seorang rasul dari antara mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda Engkau dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah dan menyucikan mereka, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa Maha Bijkasana. (2:130)
Ini adalah do’a Nabi Ibrahim(A.S.) pada waktu perbaikan Ka’bah. Nabi Ibrahim(A.S) memohon kepada Tuhan untuk mengutus seorang rasul yang akan menunjukkan Tanda-tanda Tuhan kepada mereka, mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, juga menyucikan mereka dan membebaskan mereka dari dosa-dosa. Dia sesungguhnya adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Bijaksana.
Seorang guru ruhani (sebagaimana kita pelajari dari kitab-kitab suci dan dari sejarah) meningkatkan kekuatan iman dengan Tanda-tanda, mengajar manusia apa yang benar dan apa yang salah, memberikan hukum kepada mereka dan menunjukkan hikmah-hikmah di balik hukum, dan mendidik mereka untuk hidup sesuai dengan hukum syariat dan ilmu yang bersangkutan. Manusia hendaknya memperoleh keimanan, yakin, pengetahuan tentang yang benar dan salah serta – ini adalah penting – menyucikan dirinya, sebagai bayangan berharga dari Tuhan, sehingga menjamin untuk duduk dalam persahabatan yang suci dengan Tuhan.
Untuk Jama’at kita ini bukanlah persoalan biasa saja. Ini sungguh-sungguh merupakan persoalan hidup dan mati bagi kita. Di antara kita telah datang seorang nabi, seorang guru yang diutus Tuhan. Kita menerima beliau. Untuk meningkatkan keimanan kita beliau telah membacakan kepada kita Tanda-tanda Tuhan. Sesudah memperoleh karunia berupa ilmu, pengakuan, penerimaan kepada pribadi seperti itu, akankah kita tetap kotor (tak bersih) seperti sebelumnya? Apa yang telah kita dapatkan dengan mengimani beliau? Suatu kali terjadi Hadhrat Masih Mau’ud(A.S.) menguraikan tentang derajat-derajat ruhani yang hendaknya seorang mukmin berhasil melampauinya satu demi satu. Hadhrat Maulwi Burhanuddin(R.A.) dari Jhelam, salah seorang sahabat Hadhrat Masih Mau’ud(A.S.) yang mukhlis, juga hadir di sana. Apa yang Hadhrat Masih Mau’ud(A.S.) sabdakan itu langsung masuk ke hati beliau. Ketika Hadhrat Masih Mau’ud(A.S.) berbicara, beliau menyimak, dalam keadaan mawas diri yang dalam. Segera sesudah Hadhrat Masih Mau’ud(A.S.) selesai, Hadhrat Maulwi Sahib(R.A.) kehilangan kendali diri dan tak sadar diri sepenuhnya. Uraian-uraian beliau mengguncangkannya. Ditujukan kepada Hadhrat Masih Mau’ud(A.S.) beliau mengatakan: Pada mulanya saya mengikuti Wahabi dan berusaha untuk menyebarkan sabda-sabda Nabi Suci(S.A.W.). Disebabkan hal ini saya menderita dan mendapatkan perlakuan aniaya. Kemudian Tuhan mengutus Tuan dan Tuan saya terima. Ini menimbulkan gelombang kemarahan lain terhadap saya. Sekali lagi saya dipukuli, dilempari batu dan jadi sasaran kezaliman. Sesudah berupaya dan menderita begitu banyak, saya masih jahil (mengabaikan) keadaan saya.
Maka apa yang kita peroleh dengan mengimani seorang Nabi jika kita tetap sama [dalam] kecerobohan-kecerobohan yang lama? Kita adalah satu Jama’at yang telah melihat seorang Nabi dan telah hidup bersama beliau. Kita hendaklah berubah dan berubah hingga satu derajat tertentu. Kita hendaknya merasa kita telah sungguh-sungguh menyerahkan dengan tangan sendiri janji (bai’at) kepada seorang model ruhani yang hidup; bahkan, kepada Tuhan Sendiri. Jika para Ahmadi tidak memperoleh mutu keruhanian ini, maka apa yang telah mereka peroleh? Hadhrat Masih Mau’ud(A.S.) telah memperingatkan kita; beliau telah memberi tahukan kita apa yang beliau harapkan dari kita. Renungkan bagaimana kesungguhannya dan kepentingannya adalah tujuan yang ditetapkan bagi kita. Atas perlunya penyucian diri kita, Hadhrat Masih Mau’ud(A.S.) diriwayatkan telah bersabda dalam kata-kata yang sejelas mungkin (saya kutip dari surat kabar Badr yang terkemuka pada masa itu):
Hanya dia yang telah menyucikan dirinya, yang telah menetapkan dengan benar hubungannya dengan Tuhan dan manusia kedua-duanya, Penciptanya dan sesama makhluk. Kita wajib melaksanakan kewajiban-kewajiban kita pada kedua belah pihak. Tuhan menuntut bahwa kita harus hidup dalam perbuatan sesuai dengan setiap kata yang kita ucapkan dalam pengakuan Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa, tiada sekutu. Apa yang kita tetapkan dalam ucapan-ucapan kita harus kita wujudkan dalam amal-amal kita, jangan pernah mengurangi (merendahkan) Tuhan pada kedudukan manusia. Kita berkewajiban terhadap sesama makhluk bahwa kita tak berniat jahat, benci, tidak adil, menyakiti, mencederai, ataupun menyakiti mereka. Bukan hal yang mudah untuk meraih kesucian-kesucian ini. Kalian masih sangat jauh dari kedudukan ruhani ini. Sudahkah kalian dengan benar menetapkan hubungan dengan saudara-saudara kalian? Saya kuatir. Kalian belum meninggalkan ejekan dan balas mencaci ataupun pergunjingan. Kalian melanggar hak-hal orang lain. Tuhan menginginkan kalian untuk hidup seperti bersaudara dan berperan sebagai bagian dari satu anggota tubuh yang utuh. Maka hanya [dengan] itu kalian dapat memperoleh berkat-berkat ruhani. Jika manusia tidak dapat mengamalkan kejujuran dengan saudara-saudara mereka sendiri, bagaimana mereka dapat [berbuat] kepada Tuhan? Benar, pernyataan Tuhan atas ketaatan kita adalah sangat agung. Tapi bagaimana ukuran kesucian hati kalian dengan Tuhan adalah bagaimana kesuciannya dengan makhluk-makhluk-Nya. Orang yang tidak lurus dan tulus dengan manusia tidak dapat lurus dan tulus dengan Tuhan. Menjadi lurus dan tulus bukan merupakan perkara kecil. Itu merupakan suatu hal yang besar dan sulit. Cinta yang tulus adalah satu hal, cinta yang tak tulus dan munafik, benar-benar lain. Ketika seorang mukmin jatuh sakit, seorang mukmin lainnya pergi dan mengunjunginya untuk mengungkapkan kepeduliannya. Jika seorang mukmin meninggal, sesama orang-orang mukmin berkumpul pada pemakamannya. Tak ada persoalan akan timbul terhadap perkara-perkara kecil. Merupakan hal yang paling baik jika hal-hal seperti itu diabaikan. Tuhan tidak menyetujui kehidupan kalian yang berjauhan satu sama lain. Tanpa cinta kasih sejati, tak ada Jama’at – itu adalah akhir Jama’at. (Badr-1908).
Saya memohon ampun kepada Allah, Tuhanku, dari segala dosa dan saya kembali kepada-Nya.
Inilah mutu Taqwa (takut kepada Tuhan) yang Hadhrat Masih Mau’ud(A.S.) sering mengulang-ulang dalam nasihat beliau untuk Jama’at. Maka hal itu mendorong kita untuk menanamkan Taqwa (takut pada Tuhan dalam makna hakiki). Hanya dengan itu maka kita akan dapat memenuhi tujuan hidup kita, tujuan yang digariskan dengan kedatangan Nabi Suci(S.A.W.), kedatangan Masih Mau’ud(A.S.).
Insan Kamil (Manusia Sempurna)
Kini saya akan beralih pada pertanyaan, apa yang dimaksud dengan manusia sempurna? Setiap bidang kajian mempunyai tujuan pokoknya. Dalam pengobatan kita mencari sebuah gambaran dan definisi dari yang normal secara jasmani, orang yang sehat. Dalam bidang keruhanian kita mencari sebuah gambaran dan definisi dari manusia yang sempurna secara ruhani.
Seperti yang baru saja saya katakan, pertama mutu keruhanian dari manusia yang sempurna adalah bahwa hubungannya haruslah benar dan betul dengan Tuhan Pencipta-Nya, serta manusia, sesama makhluk. Kedua hubungan itu hendaklah benar dan betul. Inilah definisi manusia sempurna yang ditetapkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud(A.S.). Hubungan dengan sesama ini terbagi dua: (1) hubungan dengan diri sendiri. Sebagaimana Rasulullah(S.A.W.) dengan jelas bersabda: Dirimu mempunyai hak atasmu. (2) Hubungan dengan sesama makhluk.
Hubungan dengan diri sendiri selanjutnya terbagi dalam dua segi: (a) negatif: menjaga diri sendiri terhadap tindakan-tindakan jahat dan pengaruh-pengaruh jahat; dan (b) positif: mengamalkan kebaikan-kebaikan dan mencari pengaruh-pengaruh baik.
Hubungan dengan sesama – positif dan negatif kedua-duanya – ada dua jenis: (a) Dengan individu-individu lain; (b) Dengan kelompok-kelompok individu, golongan, bangsa. Kemudian ada juga hubungan dengan makhluk-makhluk selain manusia. Semua ini mempunyai segi-segi positif dan negatif.
Hubungan dengan Tuhan juga mempunyai dua sisi, positif dan negatif. Negatif bermakna menjaga diri sendiri terhadap tindakan-tindakan yang mungkin dapat merusak hubungan ini; dan positif bermakna menggalakkan amal-amal yang boleh membantu meningkatkan hubungan ini.
Kini saya akan memasuki persoalan penting: Apakah keyakinan beragama itu atau apa kehidupan beragama itu? Ini merupakan persoalan yang banyak disalah pahami. Bagian dari ‘akhlak (moral)’ dapat juga dijumpai dalam keyakinan beragama dan dalam kehidupan beragama. Hal itu penting, oleh sebab itu, untuk memperjelas mengenai keyakinan beragama dan kehidupan beragama. Ada orang-orang yang menyirami kehidupan beragamanya dengan kehidupan moral (akhlak) dan berpikir bahwa mereka adalah sama. Bagi mereka agama adalah akhlak dan akhlak adalah agama. Ini membingungkan dan tak benar.
Kehidupan beragama menurut saya mempunyai dua bagian: (i) Secara akhlak (moral); (ii) Secara ruhani. Seseorang yang berakhlak baik mungkin hanya baik akhlaknya dan tidak perlu agama. Dia boleh jadi merupakan orang baik tapi bukan manusia sempurna. Bagian akhlaknya adalah baik, tapi bukan bagian ruhaninya.
Definisi Akhlak (Moral)
Dari amal-amal manusia, ada yang berhubungan dengan manusia dan antar-manusia dalam sifat-sifat yang disebut akhlak (moral). Amal-amal yang sama, ketika mereka berhubungan dengan Tuhan, merupakan keruhanian dan merupakan bentuk bagian kehidupan ruhani manusia. Seseorang yang berdusta kepada manusia adalah seorang pendusta; dia berbuat dusta yang tak berakhlak. Jika dia berdusta terhadap Tuhan, itu berarti dia mati secara ruhani. Untuk menjadi saleh dan beragama, seseorang harus benar dalam kedua ukuran itu. Tindakan-tindakan akhlak yang taat pada Hukum Syariat menjadi amal-amal keruhanian dan sebagian dari keyakinan dan kehidupan beragama. Perbuatan-perbuatan yang sama tanpa rujukan dari bagian keruhanian, ketika diperbuat sebagai bagian dari kebiasaan masyarakat atau budaya disebut moral. Seseorang yang peduli pada amal-amal seperti itu disebut seorang manusia yang bermoral.
Maka keadaan akhlak dan ruhani berhubungan amat dekat. Satu-satunya perbedaan antara keduanya adalah bahawa ketika kegiatan-kegiatan kita ditujukan kepada manusia, mereka disebut kegiatan-kegiatan moral; ketika ditujukan kepada Tuhan, mereka menjadi [bernilai] ruhani. Maka ketika saya berbicara mengenai akhlak, saya juga harus dipahami sedang berbicara mengenai segi keruhanian manusia. Perbedaannya jelas. Satu segi berhubungan dengan manusia, yang lain dengan Tuhan. Saya akan menjelaskan perbedaan ini bilamana perlu.