Diskusi seputar mahluk jinn dalam Islam kebanyakan berkutat kepada mahluk gaib. Sehingga menjadi sulit untuk mengambil manfaat dari konsep jin dalam tataran praktis sehari-hari. Tetapi Islam Ahmadiyah dengan cemerlang telah membuka tafsir tentang mahluk jin yang sangat ilmiah, sehingga dengan memahaminya kita bisa mengambil manfaat dari konsep jin dalam tataran praktis peradaban. Ini adalah petikan tulisan dari Hadhrat Mirza Tahir Ahmad rh. (Khalifah Ahmadiyah ke-IV) dalam buku beliau Wahyu, Rasionalitas, Pengetahuan dan Kebenaran
Persiapkan diri anda sekarang untuk suatu perjalanan jauh ke masa lalu di atas sayap visi ilmiah untuk meneliti fitrat dan identitas dari wujud yang disebut sebagai jinn. Konsep Al-Quran mengenai jinn sudah dibahas secara singkat dalam bab Kehidupan Menurut Perspektif Wahyu Al-Quran.
Leksikon bahasa Arab memberikan beberapa makna pada kata jin. Secara harfiah kata jin berarti segala sesuatu yang bertalian dengan segala hal yang tersembunyi, tidak kasat mata, menyendiri dan jauh. Kata itu juga berkonotasi rona yang gelap dan bayangan yang kelam. Karena itulah kata ‘jannah’ (dari akar kata yang sama) digunakan Al-Quran untuk menggambarkan surga yang penuh dengan kebun-kebun yang rimbun. Kata jinn juga bisa digunakan kepada ular yang biasanya hidup tersembunyi di celah-celah batu dan liang di tanah serta terpisah dari hewan-hewan lain. Kata tersebut juga dapat dikenakan pada wanita yang selalu memisahkan diri serta kepada para penghulu yang menjaga jarak dengan rakyat awam. Penduduk dari gunung-gunung yang jauh dan tidak bisa dijangkau juga disebut sebagai jin. Karena itu segala hal yang berada di luar jangkauan penglihatan atau tidak kasat mata termasuk dalam makna kata tersebut.
Kesimpulan ini sepenuhnya didukung oleh sunah Hazrat Rasulullah s.a.w. dimana beliau melarang keras umatnya untuk menggunakan kotoran ternak yang kering atau belulang dari hewan mati untuk membersihkan diri setelah buang air besar atau kecil, dengan pertimbangan bahwa benda-benda itu merupakan makanan jin. Kalau sekarang ini kita menggunakan kertas toilet, pada masa itu manusia menggunakan gumpalan tanah, batu atau benda kering lainnya untuk membersihkan dirinya. Karena itu kita bisa menyimpulkan bahwa apa yang beliau maksudkan sebagai jinn tersebut tidak lain adalah organisme yang tidak kelihatan dengan mata yang memakan tulang atau kotoran yang mengering dan lain-lain. Patut diingat bahwa konsep tentang bakteria dan virus pada masa itu sama sekali tidak dikenal. Tidak ada manusia yang mempunyai bayangan sekelumit pun tentang adanya mahluk-mahluk yang tidak kasat mata tersebut. Ajaibnya justru mahluk-mahluk inilah yang dimaksud oleh Hazrat Rasulullah s.a.w. Tidak ada yang lebih baik atau lebih tepat untuk mengekspresikan hal tersebut bagi beliau selain kata jin dalam bahasa Arab.
Hal penting lainnya yang dikemukakan Al-Quran adalah tentang penciptaan jin. Mereka dikatakan terbuat dari semburan api (dari kosmos):
وَٱلْجَآنَّ خَلَقْنَٰهُ مِن قَبْلُ مِن نَّارِ ٱلسَّمُومِ
‘Dan sebelumnya (penciptaan manusia) telah Kami jadikan jinn dari api angin panas (naris samuum). (QS. Al-Hijr [15] : 28)1
Disini digunakan kata sifat untuk menggambarkan fitrat api dari mana jin diciptakan yaitu Samuum yang berarti api yang marak atau semburan api tanpa asap 2. Di tempat lain dalam Al-Quran dinyatakan:
وَخَلَقَ ٱلْجَآنَّ مِن مَّارِجٍ مِّن نَّارٍ
‘Dia menjadikan jinn dari nyala api.’ (QS. Ar-Rahman [55] : 16) 3
Setelah menjelaskan bahwa kata jin juga bisa digunakan kepada bentuk organisme bakteria, sekarang mari kita perhatikan ayat-ayat di atas yang menyatakan jin dicipta dari api. Yang paling tepat dikenakan makna dari ayat-ayat tersebut adalah organisme kecil yang memperoleh enerji untuk eksistensi mereka langsung dari semburan api petir yang panas (Samuum) dan radiasi kosmik.
Pandangan Dickerson ternyata sejalan dengan pendapat Al-Quran ketika ia menyatakan bahwa organisme yang paling purba:
‘. . . bisa hidup karena enerji dari petir dan radiasi ultra-violet. . .’ 4
Skenario tentang radiasi kosmik tidak secara khusus disebutkan oleh ilmuwan-ilmuwan dalam pencarian mereka akan organisme pra-biotika. Namun mereka mendukung ide yang menyatakan bahwa apa pun organisme yang ada sebelum evolusi biotika, pasti memperoleh enerjinya langsung dari panas. Oleh generasi ilmuwan sebelumnya, dari semua kategori bakteria yang diklasifikasikan sebagai yang paling purba hanyalah ‘prokaryote’ dan ‘eukaryote.’ Hanya saja konklusi tersebut menurut Karl R. Woese dan koleganya dianggap terlalu tergesa-gesa. Mereka menyatakan:
‘Hanya karena terdapat dua tipe sel di tingkat mikroskopis, tidak berarti pada tingkat molekul juga hanya terdapat dua tipe saja.’ 5
Agar memudahkan bagi pembaca, perbedaan di antara kedua bentuk bakteria yang disebut prokaryote dan eukaryote akan dijelaskan secara sesederhana mungkin. Yang dimaksud adalah keadaan atau ketiadaan suatu nucleus di dalam organisme tersebut. Bakteria tipe prokaryote meski memiliki membran sel tetapi tidak mempunyai nucleus yang jelas. Sebaliknya dengan tipe eukaryote yang memiliki nucleus yang jelas dan berkembang baik di pusat setiap sel.
Diperkirakan para ilmuwan bahwa hanya ada dua tipe bakteria purba ini yang telah melahirkan yang lainnya atau berevolusi menjadi organisme yang bisa dianggap sebagai cikal bakal kehidupan. Woese mempublikasikan temuannya dalam majalah Scientific American pada Juni 1981 dan menyatakan bahwa archaebacteria (bakteria purba) bisa dianggap sebagai bentuk awal dari organisme kehidupan. Ia dan koleganya memberitahukan komunitas ilmiah bahwa bakteria tersebut merupakan turunan ketiga yang mendahului segala-galanya. Karena itu jenis bakteria ini bisa dianggap sebagai cikal bakal kehidupan yang paling purba. Woese dan para koleganya terus saja memberikan bukti-bukti yang kuat pada temuan tersebut dan ketika kebekuan dunia ilmiah mulai mencair, Woese mengatakan:
‘Meski beberapa ahli biologi masih mempermasalahkan penafsiran kami, ide bahwa archaebacteria merupakan pengelompokan terpisah di tingkat yang tertinggi sekarang ini sudah mulai banyak diterima umum.’ 6
Di tempat lain ia menulis:
‘Hal ini merupakan implikasi bahwa methanogen3 adalah sama tuanya atau mungkin lebih tua dari kelompok bakteria lainnya.’ 6
Menurut kamus The Hutchinson Dictionary of Science:
‘. . . archaebacteria termasuk bentuk kehidupan paling awal yang muncul sekitar 4 milyar tahun yang lalu, ketika masih sangat sedikit sekali oksigen terdapat di atmosfir.’ 7
Namun pengarang dari Genetics: a Molecular Approach menyatakan:
‘Sejak tahun 1977 bertambah banyak perbedaan ditemukan di antara archaebacteria dan prokaryote lainnya, sedemikian rupa sehingga para ahli mikrobiologi sekarang lebih suka menggunakan istilah archaea untuk membedakannya dari bakteria.’ 8
Organisme yang disebut sebagai jin dalam Al-Quran ternyata sesuai dengan deskripsi di atas. Hanya saja walaupun para ilmuwan sepakat menyatakan jenis bakteria ini sebagai memiliki potensi untuk memperoleh enerji dari panas, tidak ada dari mereka menyebutkannya sebagai produk dari sinar kosmik dan sambaran petir kecuali hanya Dickerson sendiri. Tetapi ilmuwan yang lain masih terus saja menemukan lebih banyak pengungkapan misteri dalam riset mereka:
‘. . . dalam liang-liang di bawah laut, sumber mata air panas, di Laut Mati dan danau garam. . .’ 9
Mengenai masalah kepurbaan, walau Woese dan para koleganya tidak meragukan kalau archaebacteria adalah yang paling tua, menurut beberapa ilmuwan kemungkinan bakteria tersebut telah berevolusi secara simultan dari bentuk sebelumnya yang belum diketahui.
Namun semua itu merupakan permasalahan yang berada di luar ruang lingkup bahasan ini. Apakah ada jenis bakteria lain yang berevolusi daripadanya atau tidak, tidak relevan dengan bahasan ini. Hal yang relevan ialah bahwa segala bentuk bakteria yang paling purba memperoleh enerjinya secara langsung dari panas. Jadinya ini merupakan pengakuan terhadap pernyataan Al-Quran yang dikemukakan empatbelas abad yang silam:
وَٱلْجَآنَّ خَلَقْنَٰهُ مِن قَبْلُ مِن نَّارِ ٱلسَّمُومِ
‘Dan sebelumnya telah Kami jadikan jinn dari api angin panas (naris samuum). (Q.S Al-Hijr [15] : 28) 10
Sejalan dengan hasil penelitian ilmiah yang sudah diakui, panas langsung dari api mempunyai peran vital dalam penciptaan dan pemeliharaan organisme pra-biotika. Nyatanya hanya inilah cara transfer enerji untuk konsumsi bentuk organisme guna eksis di masa itu. Saat mereka berkembang biak tanpa batas selama milyaran tahun, organisme yang mati tentunya telah mencemari lautan dimana pelapukan dan fermentasi jasadnya telah menjadikan lautan menjadi sup primordial. Hal ini akan kita bahas dalam bab berikut.
Sumber : Tahir Ahmad, Mirza, Wahyu, Rasionalitas, Pengetahuan & Kebenaran (Bogor : 2014) hal. 389-394
Referensi
1. Terjemah 15:29 oleh pengarang.
2. Lane, E. W. (1984) Arabic-English Lexicon, Islamic Text Society, William & Norgate, Cambridge
3. Al-Quran dengan terjemahan dan tafsir singkat (1987), Jemaat Ahmadiyah Indonesia, ed. 2.
4. Dickerson, R. E. (September 1978) Chemical Evolution and the Origin of Life, Scientific American, h.80
5. Woese, C. R. (June 1981) Archaebacteria, Scientific American, h.104
6. Woese, C. R. (June 1981) Archaebacteria, Scientific American, h.114
7. The Hutchinson Dictionary of Science (1993) Helicon Publishing Ltd., London, h.37
8. Brown, T. A. (1992) Genetics: a Molecular Approach, Chapman & Hall, London, h.245
9. The Hutchinson Dictionary of Science (1993) Helicon Publishing Ltd., London, h.37
10. Al-Quran dengan terjemahan dan tafsir singkat (1987), Jemaat Ahmadiyah Indonesia, ed. 2.
3Bakteria methanogen termasuk jenis bakteria anaerob yang memanfaatkan karbon diaksodia untuk kelangsungan hidupnya. Semua archaebacteria termasuk kelompok ini. Sejumlah 80% gas methane di bumi dihasilkan oleh bakteria ini dan sisanya dari tambang gas alam. (Penterjemah)