Oleh : Ataul A’la Agus Mulyana
Sejarah Dibalik Fatwa Tidak Makmum Dibelakang Non Ahmadi
Sebenarnya jika mempelajari sejarah dengan seksama, yang awalnya terajadi bukannya muslim Ahmadi tidak makmum dibelakang imam non Ahmadi.Tetapi para ulama-ulama non ahmadi mengusir para ahamdi dari masjid-masjid mereka, melarang para ahmadi untuk bermakmum dengan jamaah Islam pada umumnya. Saat itu keluar berbagai fatwa-fatwa dari para ulama terhadap Pendiri Jama’ah Islam Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani dan para pengikut beliau. Adapun fatwa-fatwa tersebut antara lain. :
Bukan hanya dilarang mengimamami orang ahmadi, ulama-ulama yang tidak senang dengan pendiri Jama’ah Islam Ahmadiyah mereka membuat berbagai fatwa untuk memutus silaturahmi.Seperti larangan mengucapkan salam, larangan mengudang dalam jamuan, bahkan disampaikan bahwa haram untuk menjadi imam atau makmum ahmadi. Jadi fatwa agar para ahmadi tidak makmum dibelakang non Ahmadi adalah suatu fatwa yang sangat logis dan harusnya tidak menjadi keberatatan jika kita bisa melihat salah satu faktor utama dibalik hal tersebut.
Fatwa-fatwa yang kelaur dari para Maulwi saat itu cukup mengerikan, nampak bahwa persaudaraan dan kecintaan telah hilang di hati mereka berganti dengan kebencian yang berlebihan. Sehingga keluar fatwa-fatwa yang begitu menyerang Jama’ah Islam Ahmadiyah yang seluruh pergerakannya adalah murni karenca kecintaan kepada Islam dan Rasululalh saw.
Maulwi Nadzir Husain Dehlawi
“Kita jangan mengucapkan salam terlebih dulu kepadanya, jangan memanggilnya dalam undangan yang disunnahkan, jangan menerima undangannya, dan jangan bermakmum di belakangnya.” (Fatwa cetakan 1892; Dikutip dari Isya’atus Sunnah, jilid 13, nomor 6, halaman 185)
Maulwi Muhammad Husain Batalwi memberikan fatwa:
“Menjadi murid Qadiani dan menjadi imam orang-orang Islam kedua-duanya saling berlawanan. Ini tidak dapat bersatu.” (Syar’i Faishlah, halaman 31)
Maulwi Rasheed Ahmad Gangohi memberikan fatwa:
“Orang yang berakidah ini, menjadikan dia dan para pengikutnya sebagai imam adalah haram.” (Syar’i Faishlah, halaman 31)
Maulwi Tsanaullah Amritsari memberikan fatwa:
“Apa yang dilakukan oleh Mirza Qadiani, semuanya dilakukan untuk urusan dunia. Oleh karena itu, tidak jaiz shalat di belakangnya.” (Fatwa Syari’at Gharra, halaman 9)
Mufti Muhammad Abdullah Tonki Lahore memberikan fatwa:
“Bermakmum di belakang dia dan murid-muridnya sama sekali tidak benar.” (Syar’i Faishlah, halaman 25)
Maulwi Abdul Rahman Bahari memberikan fatwa:
“Mirza Qadiani kafir; murtad. Shalat di belakang dia dan para pengikutnya sungguh batil dan mardud… keimaman mereka layaknya keimaman Yahudi.” (Fatwa Syari’at Gharra, halaman 2)
Khalil Ahmad Saharanpuri memberikan fatwa:
“Dia mendustai Kitabullah dan berada di luar koridor Islam. Keimaman, baiat dan kecintaan dia dan para pengikutnya tidak jaiz dan haram.” (Fatwa Syari’at Gharra, halaman 5)
Muhammad Kifayatullah Shahjahanpuri memberikan fatwa:
“Tidak ada keraguan dalam kekafirannya. Baiat kepadanya haram. Keimamannya sama sekali tidak jaiz.” (Fatwa Syari’at Gharra, halaman 4-5)
Muhammad Hafizhullah Sahib (Guru Madrasah Darul ‘Ulum Lucknow) memberikan fatwa:
“Baiat dan keimaman orang seperti ini tidak benar.” (Syar’i Faishlah, halaman 22)
Muhammad Amanatullah Aligarhi Sahib memberikan fatwa:
“Kita jangan mengerjakan shalat di belakang orang seperti ini.” (Syari’at Gharra, halaman 3)
Abdul Jabbar Umarpuri memberikan fatwa:
“Mirza Qadiani keluar dari Islam dan orang yang mengikutinya juga keluar dari Islam. Keimamannya sama sekali tidak layak.” (Syar’i Faishlah, halaman 20)
“Bermakmum di belakang orang seperti ini tidak benar.” (Syar’i Faishlah, halaman 24)
Maulwi Ahmad Ridha Khan Brelvi :
“Hukum mengerjakan shalat di belakangnya, shalat Jenazahnya, menikah dengannya, makan daging sembelihan tangannya, duduk di sampingnya, bercakap-cakap dengannya dan dalam semua urusan, ini adalah hukum orang-orang murtad.” (Hisamul Haramain, halaman 95)
Fatwa-Fatwa Yang Dikuasai Oleh Hawa Nafsu
Maka lihatlah dengan seksama, apakah fatwa-fatwa itu dilandasi kecintaan murni kepada Islam atau karena dikuasi oleh hawa nafsu ?. Layakkah fatwa diberikan kepada kelompok dalam Islam yang berpedoman dengan kuat kepada Rukun Iman dan Rukun Islam yang merupakan dasar pondasi keimanan setiap Umat Islam. Layakkah fatwa itu disampaikan kepada Pendiri Jama’ah Ahmadiyah, yang sedari muda hingga akhir hayatnya seluruh jiwa raganya diabdikan untuk kemulian nama Rasululalh saw. dan Al-Qur’anul Karim.
Tidak disangsikan lagi bahwa di dalam Islam memang ada 2 jenis ulama, satu ulama mukhlis yang menjaga hati dan perkataannya dan yang kedua adalah ulama buruk yang mereka karena kebencian terhadap sesuatu melupakan penjagaan diri terhadap lisan dan perkataannya.
Tidak Makmum Dibelakang Ahmadi adalah Petunjuk dari Allah swt.
Setelah keluarnya fatwa-fatwa tersebut, Pendiri Jama’ah Islam Ahmadiyah dan para pengikut beliau sempat bertahan sampai beberapa tahun dan memohon kepada para ulama saat itu untuk mencabut fatwa yang dikeluarkan oleh mereka. Akan tetapi, permohonan beliau tidak dikabulkan. Oleh sebab itu, solusi pertama terhadap fatwa-fatwa tersebut adalah firman Allah Ta’ala:
اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطَانُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ اْلعَدَاوَةَ وَ اْلبَغْضَآءَ فِى اْلخَمْرِ وَ اْلميْسِرِ وَ يَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَ عَنِ الصَّلَوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ
Artinya, “Sesungguhnya setan itu ingin menciptakan diantara kalian permusuhan dan kebencian akibat minuman keras dan judi, dan ingin menghalangi kalian dari mengingat Allah dan dari mendirikan shalat. Lantaskah kalian akan berhenti?” (Al-Maidah [5]: 92)
Solusi kedua adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كَيْفَ اَنْتُمْ اِذَا نَزَلَ ابْنُ مَرْيَمَ فِيْكُمْ وَ اِمَامُكُمْ مِنْكُمْ
Artinya, “Bagaimana keadaan kalian apabila Ibnu Maryam turun diantara kalian dan menjadi imam diantara kalian.” (Shahih Al-Bukhari, jilid 2, bab Nuzul Isa ibni Maryam, halaman 1073)
Solusi ketiga pada tahun 1900 masehi, 11 turun setelah berdirinya jamaah Islam Ahmadiyah orang-orang Ahmadi diperintahkan agar tidak sholat makmum di belakang orang-orang non-Ahmadi, karena selama itu para ulama non-ahmadi terus-menerus memfatwakan bahwa orang Ahmadiyah itu bukan Islam dan keluar dari Islam. Karena itu hendaknya diketahui bahwa orang-orang Islam bukan Ahmadiyah lah yang mula-mula melarang orang Ahmadiyah masuk ke dalam masjid-masjid mereka, lalu menuduh orang Ahmadiyah yang tidak mau bermakmum dengan mereka.
Cobalah bandingkan, kaum muslimin yang berbeda mazhab saja tidak mau bermakmum di belakang imam yang bukan dari mazhabnya, meskipun mereka tidak dimurtadkan dan tidak dikafirkan oleh sebagian orang dari mazhab lainnya. Bukankah lebih dari cukup kesabaran orang-orang Islam Ahmadiyah menerima caci-makian, hujatan, pemurtadan dan pengafiran dari ulama non Ahmadiyah sampai 11 tahun lamanya untuk mengambil sikap dengan melaksanakan shalat berjamaah yang diimami oleh sesama muslim Ahmadiyah, agar dapat melaksanakannya dengan khusyuk sehingga Allah berkenan menerima dan meridhoinya?