Disusun oleh Sajid Mahmood Buter
فَقَدْ لَبِثْتُ فِيكُمْ عُمُرًا مِنْ قَبْلِهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (يونس 17)
Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu dalam masa yang panjang sebelum ini, tidakkah kamu menggunakan akal ?
Di dalam ayat ini, perhatian Rasulullahsaw. diarahkan kepada kehidupan suci beliau, bahwa beliau hendaknya menampilkan kehidupan suci sebelum masa pendakwaan kenabian tersebut di hadapan para penentang beliau sebagai bukti dan dalil dari kebenaran beliau sebagai seorang nabi, bahwa orang yang selama ini telah tinggal bersama kalian (kaum Kuffar Mekkah) selama kurang lebih 40 tahun lamanya, sampai pada hari ini pun kalian tidak pernah mendengar suatu dusta dan kebohongan keluar dari mulutnya. Saat ini kalian telah mengingkarinya padahal kalian tidak pernah melihat ada dusta, tipu daya dan kebohongan di dalam wujudnya.
Lalu bagaimana mungkin orang yang pada malam hari kemarin adalah orang yang paling benar, kemudian pada pagi harinya tiba-tiba menjadi orang yang paling berdusta di dunia ini? Tidak ada pendusta yang lebih besar daripada orang yang berdusta kepada wujud Allah Ta’ala. Jadi orang yang sampai hari kemarin tidak pernah berdusta dan berbohong kepada makhluk-Nya, maka bagaimana mungkin pada hari ini ia berdusta kepada Allah Ta’ala.
Kaum Kuffar Mekkah sebelum masa pendakwaan kenabian Rasulullahsaw. selalu memanggil beliau dengan julukan “Shaadiq” dan “Amiin”. Bahkan ketika beliau naik ke atas gunung dan mengumpulkan suku-suku Arab lalu bersabda, “Jika aku mengatakan kepada kalian bahwa di bawah gunung ini ada suatu lasykar yang siap untuk menyerang kalian semua, apakah kalian akan percaya?”, maka mereka semua dengan suara setuju mengatakan, “Tentu saja kami akan mempercayai apa yang anda katakan (bahkan meskipun itu adalah hal yang tidak mungkin), karena kami selalu mendengar hal yang jujur dan benar dari anda. Namun, orang-orang yang telah mengatakan bahwa mereka tidak mampu membayangkan dusta terhadap beliau ini, mayoritas dari mereka jugalah yang mulai memanggil Rasulullahsaw. dengan sebutan ‘saahir’ dan ‘kadzdzaab’ setelah beliau menyatakan dakwa kenabian. Di dalam Alquran, Allah berfirman:
وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ (ص 5)
Yaitu, dan berkata orang-orang kafir, “Ini seorang sihir dan seorang pendusta besar”.
Jadi, dari hal ini jelaslah bahwa kehidupan seorang nabi sebelum masa pendakwaan kenabian adalah suci adanya, baik dari pandangan kawan maupun lawan. Tentu saja kehidupan setelah pendakwaan kenabian pun adalah suci. Akan tetapi karena setelah masa pendakwaan kenabian, para penentang melihat kepada nabi tersebut dengan pandangan yang berdasarkan pada buruk sangka, maka mereka terus melemparkan berbagai macam keberatan terhadapnya.
Karena itulah Allah Ta’ala menetapkan kehidupan sebelum pendakwaan kenabian sebagai standar dari kebenaran seorang nabi. Dari segi standar tersebut, kehidupan pendiri Jemaat Ahmadiyah – Hadhrat Mirza Ghulam Ahmadas – sebelum masa pendakwaan beliau adalah bersih dan suci daripada segala macam aib. Kawan maupun lawan telah memberikan pujian perihal peran dan akhlak beliau yang sangat tinggi dan mereka tidak sama sekali menghubungkan beliau dengan segala macam aib, dusta, kebohongan, penipuan dan keburukan lainnya. Berkenaan dengan ini, Hadhrat Masih Mau’udas bersabda:
“Sekarang lihatlah bahwa Allah Ta’ala telah menyempurnakan hujjahnya kepada kalian. Dia telah memberikan ribuan dalil dan bukti untuk menguatkan pendakwaanku ini, sehingga kalian memiliki kesempatan untuk benar-benar memperhatikan bahwa ada di tingkat makrifat manakah orang yang kalian seru pada perkara ini dan berapa banyak dalil-dalil yang ia persembahkan. Kalian tidak akan mampu menunjukkan suatu aib, dusta, kebohongan dan tipu daya pada kehidupanku yang sebelumnya, sehingga kalian bisa membayangkan bahwa orang yang sejak awal terbiasa berkata bohong dan dusta, maka mungkin ia juga telah berdusta tentang hal ini. Siapakah di antara kalian yang mampu menunjukkan suatu keburukan dari riwayat kehidupanku? Jadi, ini adalah karunia Allah Ta’ala bahwa sejak awal Dia telah meneguhkanku di atas ketakwaan dan hal ini adalah sebuah dalil (kebenaran) bagi orang yang berpikir.” (Ruhani Khazain jilid 20, hal. 64 – Tadzkiratusy-Syahadatain, hal. 64)
Kemudian di tempat yang lain beliau bersabda:
“Di dalam buku Baraahiin Ahmadiyyah hal. 512, ada sebuah ilham tentang kehidupanku yang pengumumannya telah berlalu sekitar 20 tahun yang silam. Ilham tersebut adalah:
فَقَدْ لَبِثْتُ فِيكُمْ عُمُرًا مِنْ قَبْلِهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Yaitu, katakanlah kepada para penentang itu bahwa aku telah tinggal di antara kalian selama kurang lebih 40 tahun lamanya, dan sampai masa waktu yang panjang itu kalian terus menyaksikanku bahwa perbuatanku bukanlah dusta dan tipu daya, Allah Ta’ala telah melindungi diriku dari kehidupan yang kotor. Lalu, orang yang selalu terlindung dari setiap dusta, keburukan-keburukan, makar dan kekotoran-kekotoran sampai waktu yang demikian lama yaitu 40 tahun dan tidak pernah sekalipun ia berbohong kepada seorang makhluk pun, bagaimana mungkin sekarang ia bertentangan dengan adat kebiasaannya yang terdahulu bisa berdusta kepada Allah Ta’ala.”
(Tiryaaqul-Quluub, hal. 155 – Ruhani Khazain jilid 15, hal. 283)
Beliau juga bersabda:
“Satu (bagian) umurku telah berlalu, namun siapa yang bisa membuktikan bahwa aku pernah mengeluarkan kata dusta dari mulutku. Ketika aku telah meninggalkan dusta terhadap manusia hanya demi Allah Ta’ala dan telah berulang kali mengorbankan jiwa dan hartaku demi kebenaran, lalu mengapa aku berdusta kepada Allah Ta’ala?” (Hayaat e Ahmad, jilid 1, hal. 118)
Orang-orang yang mengetahui Hadhrat Mirza Ghulam Ahmadas, pendiri Jemaat Ahmadiyah, telah memberikan pujian dengan ungkapan yang sangat jelas tentang kesucian, ketakwaan dan kebenaran dari kehidupan beliau sebelum masa pendakwaan beliau. Sesuai dengan ini, tuan Maulvi Muhammad Husain Batalvi – yang merupakan seorang ulama besar dari sekte Ahli Hadits dan setelah pendakwaan malah menjadi musuh besar Hadhrat Masih Mau’udas – telah mempublikasikan sebuah ulasan yang detail tentang buku Baraahiin Ahmadiyyah karya Hadhrat Masih Mau’udas di dalam surat kabar milikinya, yaitu ‘Isyaa’atush-shunnah’. Di dalamnya ia pun memberikan pendapatnya tentang pribadi Hadhrat Masih Mau’udas. Ia menulis:
- “Sejauh mana yang saya ketahui dari keadaan-keadaan dan pemikiran-pemikiran sang penulis buku Baraahiin Ahmadiyyah, hanya sedikit saja yang tahu dari rekan-rekan semasa kami. Penulis adalah rekan satu negara dengan saya. Bahkan pada masa-masa permulaan (ketika kami belajar Qutbi dan Syarh-nya dulu), beliau adalah teman satu meja saya.” (Isyaa’atush-shunnah, jilid 7, hal. 6)
- “Menurut pandangan dan pengalaman baik lawan maupun kawan, penulis buku Baraahiin Ahmadiyyah adalah sosok yang teguh pada syariat Muhammadiyyah, suci dan teguh pada kebenaran.” (Isyaa’atush-shunnah, jilid 7, hal. 9)
- “Sekarang saya akan menyampaikan pandangan saya tentang buku Baraahiin Ahmadiyyah dengan sangat ringkas dan tanpa dilebih-lebihkan. Menurut pandangan saya, buku ini dengan memperhatikan keadaan sekarang ini adalah sebuah buku yang bandingannya tidak pernah ditulis sampai saat ini di dalam agama Islam……. dan penulisnya (Hadhrat Masih Mau’udas-penerbit) telah muncul dengan langkah yang demikian teguh dalam menolong agama Islam baik melalui harta, jiwa, pena, lidah dan ucapan-ucapan, yang sangat sedikit dijumpai pada umat Islam sebelumnya.” (Isyaa’atush-shunnah, jilid 6, hal. 6)
Demikian juga tuan Maulvi Siraajuddin, ayah dari tuan Maulvi Muzhaffar Ali (editor majalah ‘zamiindaar’ – yang merupakan penentang jemaat yang masyhur dan terkenal) telah menulis tentang Hadhrat Masih Mau’udas:
“Tuan Mirza Ghulam Ahmad (as) sekitar tahun 1861 dan 1862 adalah seorang juru tulis (di sebuah kantor) di distrik Sialkot. Pada saat itu, umur beliau mungkin sekitar 22 atau 23. Saya mengatakan melalui kesaksian dengan mata kepala saya sendiri bahwa pada masa muda beliau adalah orang suci yang salih dan bertakwa.” (Zamiindaar, 8 Juni 1908)
Kemudian Abul-kalaam Aazaad – seorang ulama terkenal, ahli tafsir Alquran dan jurnalis di Hindustan – menulis:
“Dari segi karakter, tidak terlihat noda aib yang bahkan sekecil-kecilnya di dalam diri tuan Mirza (Ghulam Ahmadas). Beliau hidup dengan sebuah kehiduan yang suci dan beliau telah mengarungi sebuah kehidupan seorang muttaqi. Pendek kata, 50 tahun kehidupan pada masa permulaan beliau ini telah menghantarkan beliau pada kedudukan seorang suci yang mulia dan kedudukan yang patut dicemburui, baik dari sisi akhlak dan adat kebiasaan maupun dari segi pengkhidmatan dan perlindungan agama umat Muslim di Hindustan.” (Akhbar wakiil Amritsar, 30 Mei 1908)
Jadi, ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ulama tersebut – bahwa kehidupan beliau sebelum pendakwaan sebagai kehidupan yang suci dari aib dan pandangan bahwa beliau adalah orang yang sangat saleh, mutaki dan orang yang suci – membuktikan bahwa beliau telah memenuhi standar tersebut sebagaimana para nabi yang lainnya juga.
Diterjemahkan bebas oleh Chalid Mahmud Ahmad