نحمده ونصلي على رسوله الكريم
|
بسم الله الرحمن الرحيم
|
وعلى عبده المسيح الموعود
Kerasnya Persaingan Dunia dan Kerenggangan Hubungan Antarmanusia
حدثنا هارون بن معروف؛ قال: حدثنا مخلد بن يزيد؛ عن بشير، عن سيار أبي الحكم، عن طارق بن شهاب، عن عبد اللّٰه بن مسعود، قال: قال رسول اللّٰه صلى اللّٰه عليه وسلم: اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ، وَلَا يَزْدَادُ النَّاسُ عَلَى الدُّنْيَا إِلَّا حِرْصًا، وَلَا تَزْدَادُ مِنْهُمْ إِلَّا بُعْدًا.
“Hārūn bin Ma‘rūf menceritakan kepada Kami; dia berkata: Makhlad bin Yazīd menceritakan kepada Kami; dari Basyīr, dari Sayyār Abī al-Ḥakam, dari Ṭāriq bin Syihāb, dari Ḥaḍrat ‘Abdullāh bin Mas‘ūdra, beliau berkata: Ḥaḍrat RasūlullāhSAW bersabda: As-Sā‘ah semakin dekat. Manusia tidaklah bertambah terhadap dunia, kecuali kekerasan dan tidaklah bertambah dari antara mereka, kecuali kejauhan.”
[Al-‘Uqūbāt Li Ibni Abī ad-Dunyā, ‘Uqūbātun Fī Ākhir az-Zamān, no. 286]
Ini adalah nubuatan agung dari Nabi SuciSAW tentang keadaan-keadaan yang akan terjadi pada masa mendatang. Kita pada dewasa ini telah dan sedang menyaksikan kegagahan penggenapan nubuatan ini.
Nubuatan ini terbagi menjadi tiga bagian dengan bagian pertama sebagai yang paling utama, sedangkan yang kedua dan ketiga adalah penjelas bagi yang pertama. Secara spesifik, bagian ketiga adalah natijah dari bagian kedua.
Bagian pertama adalah kalimat, “As-Sā‘ah semakin dekat.” Verba اقترب memiliki arti yang dekat dengan bentuk aslinya قرب, yakni ‘dekat’. Bedanya, verba اقترب menunjukkan ada sebuah proses yang tengah bergerak hingga sampai pada tujuan akhirnya. Dalam konteks ini, tujuan akhir itu adalah الساعة. Kata الساعة berasal dari verba سعى, yakni ‘usaha yang menimbulkan kesakitan dan penderitaan’. Kata الساعة juga berarti ‘waktu’. Dalam Alquran, kata الساعة dimaknai sebagai sebuah kehancuran dahsyat dan juga hari kiamat. Namun, dalam konteks ini, agaknya makna kata الساعة yang tepat adalah gabungan dari yang pertama dan ketiga. Jadi, kata الساعة di sini bermakna sebagai sebuah kedahsyatan dan kehancuran besar yang mengandung kenelangsaan, kesakitan, dan penderitaan bagi manusia.
Selanjutnya, bagian kedua dari nubuatan berbunyi وَلَا يَزْدَادُ النَّاسُ عَلَى الدُّنْيَا إِلَّا حِرْصًا. Merupakan satu hal yang menarik bahwa pada bagian pertama, Ḥaḍrat RasūlullāhSAW menggunakan fi‘l māḍī, yakni untuk menekankan dan menegaskan kepastian datangnya bencana besar itu. Adapun bagian kedua dan ketiga, beliau menggunakan fi‘l muḍāri‘ yang berfaedah menunjukkan istimrāriyyat atau kontinuitas dari peristiwa yang dimaksud. Artinya, peristiwa-peristiwa ini akan terus-menerus berlangsung hingga kehancuran dan kedahsyatan itu terejawantahkan.
Kata يزداد berasal dari kata زاد, yakni ‘bertambah’ atau ‘meningkat’. Berdasarkan keterangan ini, hubungan manusia dengan dunia akan meningkat intensitasnya dan bertambah keras dan kasar. Ini merujuk kepada persaingan global yang kini tengah Kita saksikan.
Pada zaman Nabi SuciSAW, umat manusia masih dalam keadaan yang tercerai-berai dan interkoneksi antarbangsa belum termanifestasikan. Setelah kewafatan beliau, para Sahabatramenaklukan negeri-negeri sepanjang Mesir hingga Iraq atau, sebagaimana dikisahkan sebagian sejarawan, hingga perbatasan Afghanistan. Ekspansi-ekspansi yang dilakukan oleh kaum muslimin terus menjalar hingga pada puncaknya merebut tanah Spanyol di belahan barat dan beberapa kepulauan Nusantara dalam skala minor dua abad setelahnya. Pada saat itu, kira-kira sepertiga dunia telah terhubung dalam satu kesatuan di bawah naungan Islam, terlepas dari perselisihan yang terjadi antarkerajaan.
Sejatinya, sejak zaman kuno pun, bangsa-bangsa yang berada di bawah payung Islam sudah mengadakan hubungan bilateral dan regional dengan bangsa-bangsa lain di sekitar mereka. Namun, dengan berbagungnya mereka ke dalam Islam, mereka sudah meleburkan diri dalam satu entitas, entitas keislaman. Sebagai satu entitas, mereka dipersatukan oleh ikatakan keagamaan: Alqurann, sunah, dan hadis. Ikatan inilah yang mendasari hubungan dan interaksi mereka dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Seiring dengan berjalannya waktu, interaksi dengan bangsa-bangsa di dunia semakin meluas. Pada abad ke-11, dunia Islam sebagai satu entitas mulai bersinggungan secara langsung dengan bangsa-bangsa Eropa yang juga bangkit menjadi satu entitas bersebab perasaan keagamaan. Hasil dari Perang Salib cukup signifikan bagi kekuatan Islam. Di satu sisi, kebersatuan menjadi senjata ampuh untuk melawan kekuatan-kekuatan asing. Namun, di sisi lain, kerugian yang mereka derita tidaklah sedikit. Malahan, Perang Salib Pertama merupakan hantaman keras ke jantung Islam. Meski Tanah Suci Palestina berhasil direbut pada akhirnya, impresi yang dihasilkan dari rentetan perang ini sangat besar: terbukanya dan tereksposnya kelemahan kaum muslimin. Tidak berselang lama setelah Perang Salib Terakhir berakhir, pasukan berkuda Hulagu Khan dari tanah Mongol mendobrak-dobrak pintu Baghdad hingga menumpahkan darah para penduduknya yang menurut beberapa penutur melebihi angka dua juta orang. Pusat-pusat peradaban dihancurkan, perpustakaan-perpustakaan yang teramat berharga dibakar dan dihanyutkan ke sungai, bahkan darah-darah yang tertumpah merupakan suatu sungai tersendiri. Dunia Islam telah mengalami luka yang parah hanya dari interaksi dengan dua bangsa tadi: Eropa dan Mongol.
Beruntung, di belahan bumi lain, Turki masih dapat merepresentasikan kedigdayaan Islam dengan kebangkikat kekuatan Ottoman. Dengan dikuasainya Konstantinopel pada 1453, Ottoman mengukuhkan supremasinya atas Eropa, sekali lagi, sebagai pengingat akan terusirnya mereka dari Yerusalem pada episode terakhir Perang Salib. Namun, di balik itu semua, mereka tidak menyadari bahwa peristiwa inilah awal dari keadaan nelangsa yang dialami kaum muslimin pada dewasa ini. Karena bea cukai yang tinggi, bangsa-bangsa Eropa berinisiatif mencari sendiri sumber dari bahan makanan yang baik. Dimulai dari Bartholomeus Diaz, Portugis melebarkan layarnya seraya membawa kayu-kayu salib yang mereka anggap sebagai penerang bagi dunia. Kegagalan Ottoman menguasai Siprus adalah titik balik. Sejak saat itu, Eropa mendapat semacam kegairahan baru untuk tidak hanya memukul mundur keturunan Sulaiman Agung dari tanah-tanah Eropa yang mereka okupasi. Lebih jauh lagi, mereka berniat untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan Muslim. Pada 1622, Inggris menancapkan benderanya di bumi Mughal, sedangkan Portugis telah mengambil-alih perdagangan Malaka 11 tahun sebelumnya. Puncak dari semua ini datang pada abad 19.
Seabad sebelumnya, pada abad 18, orang-orang Inggris yang berada di Turki menuturkan bahwa orang-orang Ottoman yang tadinya merupakan para jawara lautan kini tidak mengetahui lagi cara mempergunakan alat navigasi. Kejumudan dan fatalitas telah merebak di kalangan kaum muslimin. Kedua hal ini adalah kunci kegagalan mereka menghadapi persaingan global ketika interkoneksi antarbangsa di dunia terwujud pada abad 20 dan semakin nyata pada awal milenium ketiga ini.
Alih-alih berhasil keluar sebagai pemenang, mereka justru terseret dalam arus kemodernan. Kehidupan individualis yang diperkenalkan bangsa-bangsa Barat, Eropa dan Amerika, sedemikian rupa menembus relung-relung hati mereka. Rasa persaudaraan sebagai satu entitas, entitas keislaman, hilang dan lenyap. Bahkan, yang ada hanyalah nafsu keserakahan untuk mengalahkan yang lain dalam hal-hal duniawi seolah-olah hanya itulah merupakan standar bagi kesuksesan. Inilah yang diisyaratkan dalam kalimat وَلَا تَزْدَادُ مِنْهُمْ إِلَّا بُعْدًا.
Dalam kalimat itu, fi‘l muḍāri‘ yang digunakan adalah dalam bentuk mu’annats yang mengarah kepada suatu kekhususan. Kekhususan ini adalah putusnya kerekatan persaudaraan antara sesama muslim bersebab individualisme dan hedonisme yang dihasilkan dari kerasnya persaingan global. Saling sikut-menyikut kini telah lazim menjadi santapan mata. Demikianlah nubuatan ini menjadi sempurna.
Kata بعد juga dapat bermakna ‘binasa’. Ini menunjukkan bahwa hilangnya rasa persaudaraan dan kebersatuan dalam tubuh Islam akan mengantarkan para pemeluknya ke dalam kebinasaan. Ini juga yang diisyaratkan oleh kalimat اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ. Jika arus ini tidak dihentikan, dapat dipastikan bahwa kehancuran yang membawa kesakitan itu tidak lama lagi.
Wujud Tuhan Yang Maha Pemurah tidak pernah dapat membiarkan kedurjanaan merajalela di muka bumi. Ketika Dia menyaksikan retaknya hubungan persaudaraan di tengah-tengah muslimin, Dia mengutus utusan-Nya untuk merekatkan dan menyatukan kembali mereka sebagai satu entitas, entitas keislaman, yakni entitas yang akan menjadi pemenang di dunia. Utusan itu adalah Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah, Ḥaḍrat Mīrzā Ghulām Aḥmadas. Beliau adalah Imām Mahdī dan Masīḥ Mau‘ūd yang kedatangannya telah dijanjikan oleh Nabi MuḥammadSAW. Beliau bersabda:
فَعِنْدَ هٰذِهِ اللَّيْلَةِ اللَّيْلَاءِ، وَظُلُمَاتِ الْهَوْجَاِء، اِقْتَضٰى رَحْمُ اللّٰهِ نُوْرَ السَّمَاءِ، فَأَنَا ذٰلِكَ النُّوْرُ، وَالْمُجَدِّدُ الْمَأْمُوْرُ، وَالْعَبْدُ الْمَنْصُوْرُ، وَالْمَهْدِيُّ الْمَعْهُوْدُ، وَالْمَسِيْحُ الْمَوْعُوْدُ.
“Oleh karena itu, pada malam yang gulita dan kegelapan yang penuh topan badai ini, rahmat Allah menghendaki hadirnya Cahaya Langit. Sesungguhnya, Akulah Cahaya, mujadid yang diperintahkan, hamba yang ditolong, Mahdī Ma‘hūd, dan Masīḥ Mau‘ūd itu.”
[Ḥaḍrat Mīrzā Ghulām Aḥmadas, Al-Khuṭbah Al-Ilhāmiyyah (Surrey: Ash-Shirkatul Islamiyyah, 2009), hh. 19-20]
Beliau mendirikan Jemaat Musim Ahmadiyah pada 23 Maret 1889/20 Rajab 1306 H. Setelah kewafatan beliau pada 26 Mei 1908/24 Rābi‘ ats-Tsānī 1326 H, silsilah kepemimpinan dalam Jemaat Muslim Ahmadiyah diteruskan dengan sistem Khilāfat. Pada hari ini, Jemaat Muslim Ahmadiyah berada di bawah kepemimpinan Khalifah Yang Kelima, Ḥaḍrat Mīrzā Masroor Aḥmadatba. Selama masa kepemimpinan beliau, Jemaat Muslim Ahmadiyah telah menyebar ke 206 negara di seluruh dunia dengan lebih dari 200.000.000 pengikut. Dalam setiap Khotbah Jumat yang disiarkan secara langsung dari London, Inggris, melalui Muslim Television Ahmadiyya, beliau senantiasa menekankan persatuan kaum muslimin dan berdoa agar mereka dipersatukan kembali di bawah panji Aḥmadas sehingga kejayaan Islam yang dahulu pernah diraih oleh para Sahabatra kini dapat dihadirkan kembali. Semoga doa beliau yang penuh berkat itu berbuah dengan segera. Āmīn!