Perhatian beliau terhadap tarbiyat tidak terbatas hanya kepada rumah tangga beliau sendiri. Beliau berkeinginan untuk melihat seluruh Jama’at berada pada jalan nilai-nilai Islami yang tinggi dan beramal berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Hal itu merupakan hasrat beliau yang tertinggi untuk melihat generasi mendatang dalam derajat yang tinggi dari contoh teladan Islam. Beliau telah mengungkapkan dambaan ini dalam salah satu dari syair-syair beliau yang masyhur dan saya telah pilih beberapa dari bait-baitnya dan mengutipnya di bawah ini:
Generasi muda dari Jama’atku, izinkan aku mengucapkan beberapa patah kata;
Keadaan ini bukan untuk membuang pesan ini.
Buanglah kemalasan kalian, jangan mencoba bersenang-senang dan bermalas-malasan;
Beban yang akan jatuh atas kalian ketika waktunya kami pergi.
Khidmat kepada agama merupakan satu berkat Ilahi;
Jangan mencari imbalan untuk khidmat yang kalian lakukan.
Mata kalian boleh hilang dan api dalam dada kalian;
Hakikat Islam harus kalian punya, tapi bukan dalam nama [belaka].
Jangan punya rasa besar kepala, dan pandangan kemarahan;
Jangan punya hati yang dengki dan jangan punya nama buruk di bibir.
Berpikirlah untuk kebaikan kalian selamanya dan semua orang sekeliling;
Jangan mencari-cari kesalahan, jangan jadi orang jahat, penggunjing.
Puasa dan shalat menjadi kebiasaan yang membahagiakan;
Jangan lupa perintah-perintah Tuhan, Tuhan kita.
Kayalah jika kalian ada, ingat orang miskin dalam sedekah;
Jangan ikuti kemewahan tapi pedulikan bagi yang memerlukan.
Jadikan kebiasaan untuk ingat Tuhan, itu sama sekali tidak mungkin;
Kalian mencintai orang terkasih dan tidak mengulangi sebutannya dengan hati gembira.
Senang atau susah, miskin atau kaya;
Bolehlah datang, jangan hentikan tabligh Islam.
Lalu apa! Jika kalian taklukkan dunia;
Taklukkan diri, nafsu dan sifat liar.
Jika kalian menapak jalan kebenaran dan hakikat;
Tak ada karang akan menghalangi jalan kalian.
Kita bekerja dengan sangat cepat;
Pada masa kalian, semoga Jama’at tidak mendapat malu.
Upaya-upaya dan pencapaian-pencapaian beliau dalam bidang ini tentu akan mendapat tempat dalam catatan riwayat hidup beliau yang sedang dihimpunkan dan para ahli sejarah, cendekiawan dan ahli filsafat di masa depan akan menulis berulang-ulang mengenai bahasan ini. Di sini saya kemukakan satu kejadian rumah tangga yang tepat terjadi di rumah kami.
Bapak saya telah pergi ke Dalhousie (sebuah bukit di luar kota) dengan beberapa anggota keluarga kami untuk melewatkan hari-hari musim panas. Selama hari-hari itu, seorang muballigh akan bertolak dalam perjalanannya ke Inggris. Dia datang ke Dalhousie untuk mohon pamit berangkat dan memohon perintah dan nasihat terakhir dari beliau. Ketika pertemuan selesai, bapak saya mengantarkannya sampai ke terminal bis untuk keberangkatan. Masih ada beberapa menit sebelum bis itu pergi dan saudara-saudara [Ahmadi] berkumpul di sekeliling beliau dan muballigh itu. Di antara mereka ada juga Nazir Ta’lim. Adik lelaki beliau (Nazir Ta’lim) juga menyertainya ke Dalhousie dan hadir di antara kerumunan orang-orang. Adik lelaki itu biasa mencukur jenggotnya. Bapak saya melihatnya dan berpaling ke arah Nazir Sahib [dan] bersabda, “Apakah tarbiyat hanya untuk orang-orang lain?” Hanya inilah kata-kata yang beliau sampaikan kepadanya dan kata-kata itu membawa banyak [makna].
Ini merupakan satu kenyataan bahwa tak ada pidato dan nasihat yang membawa hasil jika keluarganya sendiri diabaikan. Dalam ajaran-ajaran Islam, berbagai cara dan sarana telah diambil untuk menyampaikan pesan. Hanya amal yang diperlukan.
Di sini, saya ingin menyajikan satu kejadian yang juga berlangsung bersama saya. Saya baru berusia sembilan tahun. Suatu hari saya tidak bangun tepat waktu untuk shalat subuh. Tak ada orang lain yang gelisah untuk membangunkan saya. Ketika bapak saya pulang sesudah mengimami shalat, beliau melihat saya masih tidur. Beliau memegang saya, membangunkan saya dan menanyai saya mengapa saya tidak bangun untuk shalat. Saya dengan rasa bersalah mengatakan bahwa saya tidak dapat bangun. Beliau bersabda, jika engkau peduli, engkau pasti sudah bangun. Kemudian beliau beralih ke ibu saya, menyuruhnya untuk membungkus pakaian-pakaian saya dan mengirimkan saya ke asrama sekolah, sebab saya tidak bisa tinggal di rumah beliau. Tapi sesudah beberapa jam, beliau memaafkan saya dengan peringatan bahwa di masa mendatang, tak akan ada lagi kejadian-kejadian semacam ini.
Adalah amat penting bahwa seorang bapak menyadari akan kebiasaan-kebiasaan dari anak-anaknya. Anak-anak mempunyai pembawaan-pembawaan yang berbeda. Sebagaimana wajah, warna kulit, tinggi atau bentuk badan mereka berbeda satu sama lain, begitu pula pembawaan mereka. Oleh sebab itu, satu cara yang berbeda akan merupakan tarbiyat yang terbaik bagi masing-masing dari mereka. Sebagian anak adalah penurut dan akan taat tanpa keraguan. Tapi sebagian akan menanyakan alasannya mengapa mereka disuruh untuk melakukan satu tugas tertentu. Pembawaan saya adalah sesuatu yang semacam ini. Apapun yang saya anggap tidak benar, saya akan bicara. Ada salah satu dari kampung-kampung leluhur kami Nawan Pind di udik dari Qadian di mana bapak saya mempunyai sebidang lapangan tenis. Sesudah shalat ashar, kadang kala beliau akan pergi ke sana dengan berjalan kaki dan bermain hingga menjelang shalat maghrib. Hanya inilah olah raga beliau yang beliau lakukan dalam dua puluh empat jam. Maulana Abdurrahim Dard(r.a.), Maulana Abdul Mughni Khan(r.a.) dan Dr. Hasymatullah(r.a.) merupakan kawan-kawan bermain selama pertandingan ini. Dr. Hasymatullah biasanya merupakan pasangan main bapak saya serta Maulana Dard dan Maulana Mughni Khan berada di pihak lain. Ini terjadi selama tahun-tahun awal dari Khilafat beliau. Tapi kemudian beban tugas berat memaksa beliau meninggalkan olah raga ini.
Ketika saya telah cukup besar untuk memegang raket tenis, beliau juga akan membawa saya bersama beliau. Kadang-kadang abang saya, Mirza Nasir Ahmad(r.h.) juga biasa pergi bersama kami. Bapak saya bermain dengan raket buatan Inggris merek Dougherty. Sesudah beberapa tahun, beliau mengambilkan salah satu dari raket-raket ini untuk abang saya dari Lahore. Ketika saya mengetahui hal ini, saya mengirim surat kepada beliau melalui seorang pelayan, mengatakan bahwa ini bertentangan dengan ajaran Islam. Suatu kali seorang sahabat Rasulullah(s.a.w.) memberikan seorang budak kepada salah seorang dari putra-putranya tapi tidak [memberikan] kepada yang lain. Rasulullah(s.a.w.) menanyakan kepadanya jika dia telah memberikan budak kepada setiap orang anaknya. Ketika menerima jawaban yang bertentangan, beliau menasihatkan kepada sahabat itu untuk mengambil kembali budak itu dari anaknya. Sama halnya seorang sahabat lain, Hadhrat Nu’man bin Basyir(r.a.) meriwayatkan bahwa bapak beliau memberinya sebuah hadiah. Ketika Rasulullah(s.a.w.) mendengar hal itu, beliau bertanya jika sahabat itu telah memberikan yang sama kepada anak-anak lain juga. Jawabannya adalah tidak. Atas hal ini beliau bersabda kepadanya, “Takutlah kepada Allah dan berlaku adillah di antara anak-anak engkau.”
Keberanian saya dapat mengakibatkan suatu peringatan keras. Tapi itu tidak terjadi dan saya tak melihat tanggapan seperti itu. Ketika pelayan itu kembali, saya bertanya tentang jawabannya, dia mengatakan bahwa beliau menyimpan surat itu dan tidak berkata apa-apa. Sesudah dua hari, pada suatu pagi saya melihat bapak saya datang dengan raket Dougherty di tangan beliau. Memberikannya kepada saya beliau bersabda, “Inilah raket engkau yang aku telah pesan dari Lahore.”
Bapak saya tidak kikir serta tidak pula boros (berlebihan). (Beliau merupakan teladan dari ayat Al-Qur’an: Dan janganlah engkau menjadikan tangan engkau terbelenggu pada leher engkau karena kikir, dan janganlah engkau mengulurkannya terlampau jauh karena boros, agar jangan engkau nanti duduk tercela dan letih – QS 17:30).
Beliau biasa memenuhi segala keperluan – atau katakanlah keperluan-keperluan yang pokok – keperluan keluarga tapi tidak akan mengizinkan pemborosan. Jika beliau tak mempunyai uang, beliau akan menolak bahkan hingga jumlah yang terkecil. Di sini saya ingin menyebutkan satu kejadian yang terjadi dengan saya yang akan cukup untuk menjelaskan kepribadian beliau dalam segi ini.
Saya waktu itu adalah mahasiswa Jamiah Ahmadiyah dan menjadi kapten tim hoki Jamiah. Kami biasa pergi ke luar kota untuk bertanding dengan tim-tim lainnya. Suatu kali kami akan memainkan pertandingan dengan tim Khalsa College, Amritsar. Pembimbing kami menetapkan tiga rupee untuk biaya dan meminta para pemain untuk mengumpulkan uang kepadanya. Saya menulis kepada bapak saya memohon untuk memberikan uang sejumlah itu yang merupakan biaya perjalanan saya. Saya mendapatkan jawaban, bahwa beliau tak punya uang dan saya tidak usah pergi.
Saya membuat kesalahan dengan menulis surat lagi yang mengatakan bahwa itu adalah jumlah yang tak berarti dan mungkin untuk diberikan agar saya dapat terus ikut pertandingan. Jawaban tertulis yang saya terima bukanlah penolakan belaka dan apapun yang saya dapatkan, saya tidak lupakan hingga hari ini dan karena rasa malu dan kepedihan, saya tidak punya keberanian untuk menuliskannya.
Untuk tarbiyat mereka beliau memberikan perhatian sepenuhnya bahwa anak-anak beliau memenuhi janji-janji mereka. Beliau mengawasi hingga hal paling kecil. Ada sebuah kampung kecil, Phero Cheechi, berada di tepi sungai Bias tidak jauh dari Qadian. Sesudah Jalsah Salanah, beliau biasa pergi ke sana selama beberapa hari untuk istirahat, berburu dan menembak unggas air. Beliau juga biasa membawa saya berserta beliau. Untuk saya beliau telah membelikan sepucuk senapan laras dua caliber 16 yang adalah lebih ringan daripada senapan caliber 12. Suatu hari selama perjalanan itu, beliau merasa kurang sehat dan meminta Dr. Hasymatullah(r.a.) untuk pergi berburu dan membawa Mubarak bersertanya.
Kami baru saja duduk di perahu ketika kami melihat dua ekor itik (bebek) sedang terbang di udara menuju kami. Saya meminta Doctor Sahib, jika beliau dapat menembak kedua-duanya, saya akan memberi beliau satu rupee sebagai hadiah. Beliau menembak dan keduanya jatuh. Malamnya kami kembali ke kemah. Saya telah lupa dengan janji saya tapi Doctor Sahib mengingatkan hadiahnya. Sesudah dua hari, beliau mengatakan kepada bapak saya bahwa Mian tidak memenuhi janjinya. Ketika bapak saya datang, beliau menegur saya dan bersabda bahwa saya telah menjanjikan sesuatu kepada Doctor Sahib dan tidak memenuhinya. Itu bertentangan dengan ajaran Islam. Beliau juga menasihati saya agar jangan pernah melakukan hal itu lagi. Bila saja engkau berjanji, penuhilah itu. Menyatakan hal ini, beliau memberikan satu rupee kepada saya dan menyuruh saya pergi dan selanjutnya memberikan uang itu kepada Doctor Sahib.
Sumber: Ahmadiyya Gazette Canada, January 1994, hal. 23-25
Terjemah oleh : Muharim Awaludin
One thought on “Kenangan Emas Bersama Khalifah Ahmadiyah ke-II Bag. 3”