Ahmadiyah dan Fundamentalisme Islam

نحمده ونصلي على رسوله الكريم
   بسم الله الرحمن الرحيم
وعلى عبده المسيح الموعود

Ahmadiyah dan Fundamentalisme Islam

Ḥaḍrat Mīrzā Masroor Aḥmadatba
Pendahuluan
Fundamentalisme. Ini merupakan sebuah kata yang sering menimbulkan misinterpretasi dalam dunia modern. Prakonsepsi yang terbentuk sebelum perenungan yang hakiki mengenainya dapat menciptakan suatu imaji yang membangkitkan bulu kuduk. Fundamentalisme digambarkan sebagai monster yang setiap saat siap menumpahkan darah manusia. Oleh karena itu, dengan jalan apa pun, termasuk dengan invasi militeristik yang pada dasarnya jauh lebih “fundamentalis”, ia harus dihentikan. “Supaya nyawa manusia yang tiada berdosa selamat,” ujar mereka yang menaruh paranoia terhadapnya.
Hal tersebut kian menjadi-jadi ketika kata fundamentalisme itu disandingkan dengan kata Islam. Jadilah ia suatu terminologi yang amat menakutkan dan bertentangan dengan humanisme universal. Analogi yang sering muncul dalam masalah ini adalah layaknya “kegelapan abad pertengahan versus cahaya era modern”. Kutipan dari Eugene Robinson dalam artikelnya di The Washington Post baru-baru ini cukuplah mewakili hal itu sebagaimana ia berucap, “There is much about fundamentalist Islam that is incompatible – even abhorrent – to the modern world.”[1]
Fakta-fakta demikian menimbulkan kesedihan bagi kita sekaligus keheranan ketika, di satu sisi, prakonsepsi yang buruk terhadap Islam telah membawa kita kepada suatu neorasisme di abad ke-21. Namun, di sisi lain kita menyaksikan bahwa orang-orang Barat yang mengaku sebagai pembawa obor kemanusiaan tidak mampu melihat ajaran-ajaran fundamental Islam yang sejatinya dilandaskan pada rasa kemanusiaan yang luhur. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk meninjau kembali definisi dan makna dari fundamentalisme agama, khususnya fundamentalisme Islam.
Definisi Fundamentalisme Agama
Sesuatu yang bersifat umum mengikat sesuatu yang bersifat khusus. Oleh karena itu, sebelum maju lebih jauh kepada fundamentalisme Islam secara khusus, kita harus terlebih dahulu meresapi makna fundamentalisme agama secara umum. Ini bersifat incumbent agar kita tidak terperangkap dalam penjara prakonsepsi. Dengan mengetahui fundamentalisme agama secara garis besar, fundamentalisme Islam yang adalah cabang darinya dapat dimengerti dengan baik dan benar. Jack David Eller memaknai fundamentalisme agama sebagai berikut:
“Religious fundamentalism derives its name (and much of its energy) from the notion of ‘fundamentals’, those things – beliefs, behaviours, organizational structures, and/or moral injunctions – that are felt by members to be most essential and central, the oldest, deepest, and truest aspects of it.”[2]
Berdasarkan pemaknaan ini, jelas bahwa apa yang disebut sebagai fundamentalisme agama adalah usaha untuk mengacu kepada ajaran agama yang paling fundamental atau yang paling dasar dan murni. Jadi, fundamentalisme agama sebenarnya bersinonim dengan reformasi agama karena kedua-duanya adalah upaya untuk merujuk kembali kepada hulu yang jernih dari suatu agama yang sudah dipenuhi fabrikasi-fabrikasi khayali para pemeluknya. Pertanyannya, apakah hulu yang jernih dari agama itu?
Menurut arat Mīrzā Basyīr-ud-Dīn Mamūd Amadra, agama bukanlah produk kreasi manusia Sebaliknya, ia dibawa oleh para nabi dari Tuhan semesta alam[3]. Taktala agama berasal dari Tuhan, mustahil ajaran-ajarannya mengandung kebencian yang berkontradiksi dengan kemanusiaan. Agama justru selalu mengajarkan kepada kita nilai-nilai kebajikan, agama senantiasa membimbing kita untuk memegang teguh prinsip-prinsip kebaikan. Inilah hulu yang jernih dari agama. Dengan demikian, fabrikasi-fabrikasi khayali yang ditimbulkan para penganutnya adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan hulu itu. Pada tahap selanjutnya, fundamentalisme agama hadir sebagai usaha dan upaya untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran agama yang fundamental atau dasar ini, yakni ajaran-ajaran yang sarat akan kebajikan dan kebaikan.
Atas dasar ini, prakonsepsi yang sering mengaitkan fundamentalisme agama dengan serangkaian tindakan barbar yang tidak berperikemanusiaan adalah sama sekali tak berdasar. Namun, tetap, sangat sulit menghapus preseden buruk terhadap fundamentalisme agama yang telah timbul sedemikian lama bersebab paranoia yang akut. Meskipun telah keluar dari belenggu prakonsepsi, kelompok paranoid itu tidak serta-merta berada pada kecemerlangan berpikir. Mereka, sesudah fase prakonsepsi, karena masih merasa alergi dengan fundamentalisme agama, baru memasuki fase kesesatan presumsi. Ada dua jenis kesesatan presumsi terhadap fundamentalisme agama yang kerap kali menyeruak dari pikiran mereka:
1. Argumentum ad populum
Ini terjadi ketika kelompok paranoid itu, walaupun sudah sadar dari prakonsepsi terhadap fundamentalisme agama, tidak benar-benar memahami realitas hal itu. Mereka lebih suka melihat apa yang terjadi di lapangan bahwa kebanyakan orang yang mengaku sebagai fundamentalis dan melakukan keonaran. Kemudian, mereka mengasosiasikan fundamentalisme agama dengan oknum-oknum itu sehingga jadilah konklusi, “Fundamentalisme agama itu keji, lihat saja para pelakunya!”
2. Argumentum ad antiquatatem
Seusai arif dari tindak-tanduk segelintir oknum, kesesatan presumsi berikutnya yang muncul adalah karena persoalan tradisi. Kelompok paranoid itu menampak bahwa sejarah dari orang-orang yang mengaku sebagai fundamentalis selalu kelam dan penuh dengan kebrutalan. Dalam pandangan mereka, sesuatu yang terus-menerus berulang atau diulangi membuktikan bahwa sesuatu itu benar. Dengan demikian, tindakan brutal dan jahat yang dikerjakan para fundamentalis itu membuktikan kebrutalan dan kejahatan fundamentalisme agama itu juga. Itulah pendapat mereka.
Obat bagi kesesatan presumsi ini adalah memfokuskan pikiran kepada hakikat fundamentalisme agama itu sendiri dan membuang jauh-jauh ulah beberapa orang yang berkebalikan dari hakikat itu. Ketika agama dalam bentuknya yang fundamental mengajarkan kebenaran dan kebaikan, para pelakunya yang sungguh-sungguh mengimplementasikan ajaran-ajaran itu pasti akan menjadi baik pula. Bila ada seseorang atau sekelompok yang mengaku sebagai fundamentalis agama tertentu tetapi berkelakuan bejat, niscaya ia bukanlah pengamal sejati ajaran-ajaran fundamental dari agama itu, melainkan hanya menjalankan hawa nafsunya atau melaksanakan hal-hal yang digambarkan hawa nafsu orang lain sebagai sebagai ajaran-ajaran fundamental dari agama itu. Dalam kata lain, seseorang yang mempunyai perikeadaan jelek seperti itu tidak dapat dikatakan beragama. Ia bukanlah pengabdi Tuhan yang menurunakan agama, melainkan pengabdi hawa nafsunya belaka.
Pasca keluar dari kesesatan presumsi, kelompok yang menaruh paranoia terhadap fundamentalisme agama ini masuk dalam fase presumsi atau asumsi. Fase ini terjadi sebab adanya impresi yang terbit dari pandangan pertama. Seperti sinar matahari yang masuk perlahan-lahan ke dalam kamar taktala seseorang menyingkapkan tirainya sedikit demi sedikit, kelompok paranoid itu pun mulai bisa membuka tabir paranoia mereka yang tadinya menyelimuti pikiran dan pandangannya terhadap fundamentalisme agama. Apabila mereka terus-menerus menelaah secara seksama dengan keterbukaan, akan terejawantahkan sebuah pepatah, “Witing tresna jalaran saka kulina.” Artinya, mereka telah maju setingkat lagi kepada fase broadmindness atau tercelikkannya pikiran dari paranoia yang membelenggunya. Fase terakhir dari kesemuanya adalah go beyond atau kecemerlangan berpikir, yaitu ketika mereka berhasil mengaplikasikan dan mengimplementasikan fundamentalisme agama dalam kehidupan mereka serta terilhami dengannya.
Fundamentalisme Islam
Sekarang, kita menuju kepada fundamentalisme Islam. Layaknya yang sudah diterangkan di atas, fundamentalisme agama adalah upaya untuk mengacu kembali kepada ajaran yang paling fundamental dari suatu agama, yakni yang paling dasar, yang paling murni, dan yang paling asli. Berarti, fundamentalisme Islam adalah ikhtiar untuk menyerap kembali dan menjelmakan ajaran-ajaran Islam yang paling murni pada kehidupan modern ini. Soal yang muncul adalah, “Apakah ajaran Islam yang murni itu?” Ajaran Islam yang murni itu sesungguhnya telah terdeskripsikan dari makna etimologis dari kata Islam itu sendiri. Kita membaca dalam al-Mibāḥ al-Munīr karya ‘Allāmah al-Fayyūmī:
أسلم: دخل في السلم.
“Menjadi pemeluk Islam: Masuk dalam kedamaian.”[4]
Ini sesuai dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا ادْخُلُوْا فِي السِّلْمِ كَافَّةً ﴿﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah dalam kedamaian secara utuh!”[5]
Dengan demikian, fundamentalisme Islam pada hakikatnya adalah usaha untuk menghidupkan dan merevitalisasi nilai-nilai kedamaian ini. Nilai-nilai kedamaian inilah yang amat dibutuhkan di tengah-tengah pergolakan dunia dewasa ini. Jika dunia tak mengindahkan nilai-nilai ini, jurang kehancuran telah bersiap-sedia dengan riang gembira menyambut kebinasaan umat manusia. Kita menyaksikan betapa banyak konflik telah, sedang, dan akan terjadi di dunia ini. Pastilah pada satu saat, taktala kesemuanya ini mencapai titik maksimum, jika tidak ada pencegahan dengan mengejewantahkan nilai-nilai kedamaian, umat manusia akan mengalami suatu kehancuran yang tak pernah dilihat dan dijumpai pada masa lampau.
Oleh karena itu, wajib bagi dunia ini untuk mengadopsi kedamaian dan perdamaian. Kedamaian dan perdamaian yang sejati adalah kedamaian dan perdamaian yang dibawa oleh Pendiri Islam, Nabi Muammad al-MuṣṭafāSAWyang merupakan rahmat bagi sekalian alam. Jalan satu-satunya untuk menggapai kedua hal itu adalah mengikuti jejak langkah beliau secara total dan sepenuh hati. Apakah jejak langkah beliau itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah menghambakan diri kepada Tuhan. Bila kita berlari kepada Tuhan, kedamaian dan perdamaian akan kita dapat. Sebab, dengan menyongsong wujud-Nya dan mengosongkan diri kita dari kehendak dan kemauan pribadi, Tuhan akan mengisi hati kita dengan kedamaian yang dengannya perdamaian dunia dapat terwujud. Perdamaian ini akan termanifestasikan dengan pengkhidmatan bagi sesama ummat manusia. Inilah hakikat fundamentalisme Islam. arat Mīrzā Ghulām Amadas bersabda:
“Ini memperlihatkan bahwa hakikat Islam adalah sesuatu yang adiluhung di mana tidak ada seorangpun yang benar-benar mampu mendapatkan lakab sebagai muslim hingga ia menyerahkan segenap dirinya kepada Tuhan beserta segala kemampuan, kehendak, dan keinginan dan sampai ia memulai menapaki jalan itu seraya menarik diri sepenuhnya dari ego dan segala sifat yang menyertainya. Seseorang akan dipanggil sebagai seorang muslim yang sejati hanya ketika kehidupannya yang tadinya tidak mempedulikan apapun mengalami suatu revolusi total dan kecenderungannya kepada dosa beserta segala kegemarannya terhapus sama sekali. Ia pun memperoleh suatu kehidupan baru yang dicirikan oleh tindakannya dalam melaksanakan segala kewajiban kepada Allah tanpa motif apapun, semata-mata karena kepatuhan kepada Sang Pencipta dan tenggang-rasa bagi makhluk-Nya.
Kepatuhan kepada Sang Pencipta bermakna bahwa, untuk memanifestasikan kehormatan-Nya, keagungan-Nya, dan keesaan-Nya, seseorang harus siap untuk memikul setiap perendahan dan penghinaan. I pun harus merasa asyik untuk menjalani ribuan kematian dalam menjunjung tinggi keesaan-Nya. Tangan yang satu harus siap untuk memotong tangan yang lain dengan kegembiraan dalam kepatuhan kepada-Nya dan cinta akan keagungan perintah-Nya. Dahaga untuk memohon keridaan-Nya harus menjadikan dosa sangat dibenci seolah-olah itu adalah api yang menghanguskan atau racun yang mematikan atau petir yang memusnahkan yang darinya seseorang harus melarikan diri dengan sekuat tenaga. Untuk memohon keridaan-Nya, seseorang harus menyerahkan segala kehendak egonya. Untuk menciptakan suatu perhubungan dengan-Nya, seseorang harus siap memikul segala jenis marabahaya. Untuk membuktikan hubungan yang seperti itu, seseorang wajib memutuskan semua perhubungan lainnya.
Pengkhidmatan bagi sesama makhluk memberikan makna perjuangan keras yang didasari semata-mata karena Tuhan untuk menghadirkan kemaslahatan bagi mereka dalam segala kebutuhan mereka dan dalam segala perhubungan interdependen – yang telah dibangun oleh Tuhan  dengan jujur dan tanpa pamrih. Semua yang membutuhkan pertolongan harus ditolong sesuai dengan kapasitas yang diberikan Tuhan dan seseorang mesti bekerja sebaik-baiknya demi keadaan mereka yang lebih baik di dunia dan di akhirat.”[6]
Betapa indahnya fundamentalisme Islam itu! Bila orang-orang yang menaruh paranoia terhadap fundamentalisme Islam itu benar-benar memahami hal ini, pastilah mereka tak akan melontarkan keberatan-keberatan yang tidak sepantasnya. Adalah keniscayaan bahwa dunia akan penuh dengan kedamaian, ketenangan, dan ketentraman jika Islam dalam bentuknya yang fundamental diterapkan di dunia ini.
Sejatinya, ada banyak sekali keistimewaan Islam yang dibawa oleh Nabi MuammadSAW ini. Keistimewaan-keistimewaan ini membuatnya unggul di atas agama-agama lain di dunia. arat Mīrzā Ṭāhir Amadrh menyebutkan, setidaknya ada 17 keistimewaan Islam yang membedakannya dari agama-agama lain. Di antara 17 keistimewaan itu adalah sebagai berikut:
1. Tidak Ada Monopoli Kebenaran
Ketika berbicara seputar beberapa keistimewaan Islam, corak yang paling menarik dan menawan adalah bahwa Islam menyangkal monopoli kebenaran dan ketidakadaan agama yang benar selainnya. Islam juga tidak memproklamasikan bahwa hanya bangsa Arab yang menjadi penerima kasih sayang Tuhan. Islam adalah satu-satunya agama yang secara total menolak gagasan bahwa kebenaran adalah monopoli suatu agama, ras, atau bangsa tertentu. Malahan, Islam mengakui bahwa petunjuk ilahi merupakan karunia umum yang telah menopang manusia sepanjang zaman. Alquran Suci mengabarkan kepada kita bahwa tidak ada satupun ras atau bangsa yang tidak diberkati dengan karunia petunjuk ilahi dan tidak ada satupun wilayah di atas muka bumi yang tidak beroleh kedatangan para nabi dan rasul.[7]
2. Islam adalah Agama Universal
Lembaran pertama dari Alquran Suci adalah puji-pujian bagi Tuhan yang merupakan penopang sekalian alam dan halaman terakhirnya menyuruh kita untuk berdoa kepada Tuhan manusia. Dengan demikian, kedua bagian itu, yaitu kata-kata yang pertama dan terakhir dari Alquran Suci, menghadirkan konsep Tuhan alam semesta, bukan satu wujud Tuhan bagi orang-orang Arab atau kaum muslimin semata. Sejatinya, tidak ada seorang pun sebelum Nabi MuammadSAW yang menyeru seluruh umat manusia dan tidak ada satu kitab pun sebelum Alquran Suci yang menyampaikan pesannya kepada seluruh dunia. Proklamasi semacam itu barulah dibuat dalam rangka mendukung Nabi Suci Islam, MuammadSAW, dalam ungkapan-ungkapan ini:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًا وَلٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ ﴿﴾
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau, kecuali kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa kabar suka dan pemberi kabar pertakut. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui.”[8]
Juga:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ إِلَيْكُمْ جَمِيْعًا ﴿﴾
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya Aku adalah rasul Allah kepada kalian semuanya.’”[9]
Kemudian, ketika Alquran Suci menyebut dirinya sendiri, “Sebuah pesan bagi sekalian alam,”[10] ia memperkalang dirinya sebagai petunjuk yang bertautan dengan perkembangan dan kemajuan umat manusia.[11]
3. Islam adalah Agama Yang Kekal
Corak keistimewaan Islam lainnya adalah bahwa ia tidak hanya memproklamasikan universalitas karakternya, tetapi juga mendeklarasikan diri sebagai agama yang kekal-abadi. Sebagai agama yang langgeng, ia sudah memenuhi prasyarat untuk menjadi demikian. Sebagai contoh, sebuah pesan bisa menjadi kekal-abadi hanya jika ia lengkap dan sempurna dalam setiap aspek dan mendapat jaminan sehubungan dengan keaslian isinya. Dalam kata lain, sebuah kitab yang diwahyukan harus ditunjang dengan jaminan ilahi dari ancaman revisi dan campur tangan manusia. Sepanjang yang berkaitan dengan ajaran-ajaran Alquran Suci, Allah Taala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِيْنًا ۚ ﴿﴾
“Pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagimu agamamu, Aku juga telah paripurnakan atasmu nikmat-Ku, dan Aku pun telah meridai Islam sebagai agamamu.”[12][13]
4. Islam adalah Agama Yang Lengkap
Bertalian dengan proklamasi Islam yang istimewa dan unik bahwa ajaran-ajaran Alquran Suci adalah lengkap dan sempurna serta sepenuhnya mampu memberikan petunjuk bagi manusia di sepanjang zaman, ia juga didukung oleh berbagai alasan. Ini adalah beberapa alasan mengapa Islam disebut sebagai agama yang lengkap:

  • Islam sepenuhnya memperhatikan evolusi manusia, baik secara  intelektual, sosial, maupun politis. Ajaran-ajarannya mengurusi segala situasi yang dimungkinkan. Ia tidak hanya insaf akan fakta bahwa perubahan yang bersifat kontinu dan perkembangan bangsa-bangsa terus-menerus terjadi, tetapi juga realitas bahwa tidak semua bangsa berada pada satu taraf yang sama dalam hal perkembangan pada satu waktu tertentu.
  • Islam adalah agama yang selaras dengan keadaan alami manusia dan memenuhi segala kebutuhan manusia. Perubahan dalam ajaran-ajarannya bukanlah merupakan satu keharusan.[14]
5. Islam Memberikan Bimbingan kepada Persoalan-Persoalan Pemerintahan
Berikut adalah ikhtisar dari peraturan-peraturan Alquran Suci yang membimbing berkaitan dengan persoalan-persoalan politik dan pemerintahan:

  • Pemerintah terikat dengan kewajiban untuk menjaga kehormatan, nyawa, dan properti para warganya.[15]
  • Seorang penguasa mesti senantiasa bertindak dengan keadilan antara individu dengan individu dan kelompok warga dengan kelompok warga.[16]
  • Persoalan-persoalan nasional harus diselesaikan dengan urung rembuk.[17]
  • Pemerintah harus mengatur untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia seperti memberikan mereka pangan, sandang, dan papan.[18]
  • Warga harus disajikan suatu lingkungan yang damai dan aman. Nyawa, properti, dan kehormatan mereka harus dilindungi.[19]
  • Sistem ekonomi harus adil dan juntrung.[20]
  • Pemeliharaan akan kesehatan harus diorganisasi.[21]
  • Harus ada kebebasan beragama yang total.[22]
  • Orang-orang taklukkan mesti diperlakukan dengan adil.[23]
  • Narapidana perang harus ditangani dengan belas kasih.[24]
  • Perjanjian dan persetujuan harus senantiasa dihormati.[25]
  • Persetujuan yang menyusahkan tidak boleh dipaksakan kepada orang-orang yang lemah.[26]
  • Orang-orang Islam diwajibkan untuk mematuhi pemerintah. Satu-satunya pengecualian dalam masalah ini adalah apabila pemerintah dengan menyolok mata menentang dan menghalangi untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.[27]
  • Perbedaan-perbedaan antarpemegang tampuk kekuasaan tidak boleh diselesaikan berdasarkan ego masing-masing.[28]
  • Warga diperintahkan untuk membantu pemegang tampuk kekuasaan dengan mendukung program-program yang bertujuan untuk mewujudkan keselamatan dan kesejahteraan.[29]
  • Sama seperti hal di atas, pemerintah diwajibkan untuk membantu dalam usaha-usaha yang bermanfaat, baik secara individual maupun kolektif, dan tidak menghambat kerja keras semacam itu.
  • Negara yang kuat dilarang untuk mengagresi negara yang lemah. Mempersenjatai diri diperbolehkan hanya jika dalam keadaan bertahan.[30][31]
6. Konsep Islam tentang Keadilan
Islam mengajarkan keadilan absolut. Keadilan harus ditegakkan sebenar-benarnya tanpa memandang siapapun dan apapun. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِيْنَ ۚ إِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ أَوْلٰى بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰى أَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَإِنْ تَلْوُوْا أَوْ تُعْرِضُوْا فَإِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا ﴿﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah para penegak keadilan yang teguh dan jadilah saksi semata-mata karena Allah walaupun bertentangan dengan dirimu sendiri atau kedua orangtuamu dan kaum kerabat! Apakah aia seorang yang kaya atau seorang yang miskin, Allah lebih utama dari mereka berdua. Oleh karena itu, janganlah menuruti hawa nafsu agar kamu dapat berlaku adil! Jika kamu menyembunyikan kebenaran atau mengelakkan diri, Allah dengan sesungguh-sungguhnya merupakan Wujud Yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan.”[32]
Ekspresi, “Jadilah saksi semata-matakarena Allah,” bermakna bahwa seseorang harus sungguh-sungguh bersaksi semata-mata karena Tuhan dan dalam keselarasan yang ketat dengan perintah-Nya. Kata عَلٰى أَنْفُسِكُمْ diterjemahkan sebagai, “Bertentangan dengan dirimu sendiri.” Akan tetapi, hal itu bisa juga diterjemahkan sebagai, “Bertentangan dengan masyarakatmu,” atau, “Bertentangan dengan karibmu dan familimu.” Ini menyignifikasikan bahwa seseorang harus memberikan keterangan dan kesaksian yang benar kendati bertentangan dengan anggota dari komunitasnya, relasi dekatnya, atau bahkan ketika kehormatannya dan propertinya berada dalam pertaruhan.
Kata, “Kedua orangtua atau kaum kerabat,” ditambahkan untuk meningkatkan kesangatan perintah, yakni kamu harus memberikan keterangan, tidak hanya jika bertentangan dengan komunitasmu sendiri, tetapi juga jika bertentangan dengan mereka yang memiliki pertalian darah denganmu, kedua orangtuamu, dan orang-orang selain mereka yang dekat dan terkasih. Ringkasnya, keadilan haruslah menjadi primadona yang harus dijunjung tinggi terlepas dari segala intervensi orang-orang yang mempunyai kedekatan denganmu.[33]
Ayat di atas jelas menerangkan keadilan absolut. Di bawah ini merupakan ayat-ayat yang juga mengadvokasi keadilan:

  • “Sesungguhnya, Allah memerintahkanmu untuk menyerahkan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya. Apabila kamu menghakimi di tengah-tengah manusia, kamu hendaknya menghakimi dengan adil. Sesungguhnya, Allah menasihatimu dengan sebaik-baiknya dengan cara itu. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”[34]
  • “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah para penegak keadilan yang teguh sebagai saksi semata-mata karena Allah! Janganlah kebencian sesuatu kaum mendorongmu bertindak tidak adil. Berlaku adillah! Hal itu lebih dekat kepada takwa. Dan, bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.”[35]
  • “Dan, jika mereka condong kepada perdamaian, condong pulalah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah! Sesungguhnya, Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”[36][37]
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, Islam, dalam ajaran-ajarannya yang paling fundamental, tidak pernah mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan kemanusiaan. Sebaliknya, Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya amat luhur dan benar-benar menjunjung-tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Lantas, bagaimana jika ada orang yang menanyakan tentang sejarah Islam yang penuh dengan peperangan? Bagaimana bisa Islam dikatakan sebagai agama yang menitikberatkan kelangsungan hidup ras manusia, sedangkan riwayatnya bermuatan konflik dan konfrontasi?
Hal pertama yang harus ditahirkan adalah bahwa Islam tidak pernah mengajarkan untuk menginvasi dan mengagresi bangsa lain. Peperangan yang dilakukan oleh Nabi Suci MuammadSAW semata-mata adalah untuk membela diri dari serangan orang-orang yang memusuhi beliau. Pada awalnya, beliau memilih bertahan dan bersabar selama 13 tahun di Mekkah hingga, ketika permusuhan sudah mencapai kemuncak, beliau terpaksa hijrah ke Madinah. Di Madinah pun, yaitu kota yang beliau niatkan menjadi tempat pembentukan masyarakat madani yang berlandaskan petunjuk dan bimbingan Alquran, beliau masih saja diusik. Mau tidak mau, dalam keadaan genting semacam itu, peperangan dalam rangka mempertahankan diri diizinkan. Allah Taala berfirman:
أُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوْا ۚ وَإِنَّ اللّٰهَ عَلٰى نَصْرِهِمْ لَقَدِيْرٌ ﴿﴾ الَّذِيْنَ أُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَّقُوْلُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُّدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللّٰهِ كَثِيْرًا ۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهُ ۗ إِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ ﴿﴾
“Telah diizinkan bagi orang-orang yang diperangi disebabkan mereka telah dianiaya. Sesunngguhnya, Allah Mahakuasa untuk menolong mereka. Yaitu, orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa hak hanya karena mereka berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah.’ Seandainya tidak ada tangkisan Allah terhadap sebagian orang oleh sebagian yang lain, akan hancurlah biara-biara serta gereja-gereja Nasrani, rumah-rumah ibadah Yahudi, dan masjid-masjid yang nama Allah banyak disebut di dalamnya. Allah pasti akan menolong siapa yang menolong-Nya. Sesungguhnya, Allah Mahakuasa lagi Mahaperkasa.”[38]
Namun, tetap, peperangan itu haruslah dilakukan dengan tidak melampaui batas. Alquran menyatakan:
وَقَاتِلُوْا فِي سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۚ إِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ ﴿﴾
“Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangimu, tetapi janganlah melampaui batas! Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”[39]
Apabila mereka cenderung pada perdamaian, perang mesti diakhiri dan perdamaian mesti ditegakkan. Alquran mengatakan:
وَإِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ ﴿﴾
“Dan, jika mereka condong kepada perdamaian, condong pulalah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”[40]
Inilah sebab-sebab dizinkannya peperangan dalam Islam. Adapun selain itu, yakni untuk merebut suatu wilayah tertentu, adalah sama sekali tidak diperbolehkan. Dalam Alquran Suci, Allah menerangkan dengan indah bahwa menyelamatkan satu nyawa sama dengan menyelamatkan semua nyawa di atas permukaan bumi. Sebaliknya, membunuh satu nyawa sama dengan membunuh semua nyawa di dunia ini.
Sebagai ikhtisar, patut ditekankan kembali di sini bahwa alih-alih menakutkan, fundamentalisme Islam, yaitu usaha untuk mengacu dan mengaplikasikan ajaran-ajaran Islam yang fundamental atau murni, justru merupakan obor penerang bagi humanisme universal. Ajaran-ajaran Islam begitu indah dan memikat sehingga seseorang yang benar-benar mempelajari, menelaah, dan memahaminya akan terkesima dan terpesona dengannya lalu tabir paranoia orang-orang yang berburuk-sangka kepadanya pun akan tersingkap. Fundamentalisme Islamlah satu-satunya hal yang mampu melepaskan dunia dari kejahatan dewasa ini.
Ahmadiyah sebagai Fundamentalisme Islam

Liwā-e-Aḥmadiyya atau ‘Bendera Ahmadiyah’
Pada zaman ini, ajaran-ajaran Islam dalam bentuknya yang hakiki dan fundamental telah ditinggalkan oleh para pemeluknya. Ruh yang tadi bersemayam di dalamnya kini keluar sehingga Islam tak ubahnya bagai seongguk tubuh yang tiada bernyawa. Melihat keadaan ini, Tuhan yang telah berjanji untuk selalu menghadirkan proteksi bagi agama-Nya yang paripurna mengutus seorang utusan yang adalah ghulām-e-ṣādiq dari Nabi Suci MuammadSAW untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran Islam yang sudah ditelantarkan. Ghulām-e-ṣādiq itu adalah arat Mīrzā Ghulām Amadas dari Qadian, India, Pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah. Berkenaan dengan misi beliau, beliau bersabda:
“Aku telah diutus agar Aku dapat membuktikan bahwa Islam saja yang merupakan agama yang hidup. Aku telah diberkati dengan kekuatan-kekuatan rohani yang mampu mengubah, baik mereka yang lemah dan tak berdaya dari agama-agama lain maupun mereka yang buta dalam kerohanian dari antara kita sendiri. Aku dapat mendemonstrasikan kepada setiap penentang bahwa Alquran Suci adalah sebuah mukjizat dalam ajaran-ajarannya, ilmu-ilmunya yang tercerahkan, wawasannya yang dalam dan halus, dan kefasihannya yang sempurna. Ia mengungguli mukjizat-mukjizat Mūsāas dan mukjizat-mukjizat ‘Īsāas ratusan kali.”[41]
Beliau bersabda lagi:
“Akulah cahaya bagi kegelapan zaman ini. Siapa yang mengikutiku, ia akan diselamatkan dari jurang dan lubang-lubang yang telah dipersiapkan oleh setan untuk orang-orang yang berjalan di dalam kegelapan. Aku telah diutus oleh-Nya agar Aku menuntun dunia ke arah Tuhan Hakiki dengan damai dan lemah lembut serta supaya Aku menegakkan kembali kondisi-kondisi akhlak di dalam Islam. Dia juga telah menganugerahkan kepadaku tanda-tanda samawi untuk memberikan ketentraman pada hati para pencari kebenaran. Dia telah memperlihatkan pekerjaan-pekerjaan-Nya yang menakjubkan untuk mendukungku. Perkara-perkara gaib dan rahasia-rahasia masa mendatang yang menurut kitab-kitab suci Allah adalah ukuran untuk mengenali seorang pendakwa yang benar telah dibukakan kepadaku. Dia pun telah mengaruniakan kepadaku makrifat-makifat dan ilmu-ilmu suci. Untuk itulah jiwa-jiwa itu memusuhiku, yakni mereka yang tidak menghendaki kebenaran, bahkan senang dengan kegelapan.”[42]
Jamaah Muslim Ahmadiyah adalah satu-satunya komunitas Islam yang memiliki institusi khilafah dengan seorang khalifah sebagai pemimpinnya. Saat ini, Jamaah Muslim Ahmadiyah berada pada kepemimpinan mubarak dari arat Mīrzā Masroor Amadatba sebagai Khalīfat-ul-Masīḥ V. Tujuan Khilafah Ahmadiyah tiada lain dan tiada bukan adalah menegakkan dan mempropagasikan keesaan Tuhan ke seluruh penjuru bumi secara damai sesuai dengan makna etimologis dari kata Islam itu sendiri. arat Mīrzā Masroor Amadatba:
“Taktala para pemimpin dunia mempunyai tujuan-tujuan sekuler, kasad dari Khilafah adalah untuk menarik perhatian semua manusia untuk saling memenuhi hak-hak sesamanya. Ia menanamkan suatu ruh di antara para Muslim Ahmadi untuk mengutamakan agama mereka di atas segala perkara duniawi dan Khilafah menciptakan setiap usaha untuk menegakkan keesaan Tuhan secara damai di dunia.”[43]
Inilah Ahmadiyah yang merupakan Islam fundamentalis atau Islam hakiki. Kelak akan tiba waktunya, sesuai nubuatan arat Masīḥ Mau‘ūdas, ketika orang-orang akan memanggil Ahmadiyah dengan Islam dan Islam dengan Ahmadiyah. Semoga kita menjadi orang-orang yang beruntung mendapatkan dan menjumpai masa itu. Āmīn!
[1] Robinson Eugene, “Our challenge with fundamentalist Islam”, The Washington Post, http://www.washingtonpost.com/opinions/eugene-robinson-our-challenge-with-fundamentalist-islam/2014/09/04/2ebfb504-3470-11e4-9e92-0899b306bbea_story.html#, diakses pada 8 September 2014.
[2] Jack David Eller, Introducing Anthropology of Religion: Culture to the Ultimate (New York: Routledge, 2007), hlm. 276.
[3] arat Mīrzā Basyīr-ud-Dīn Mamūd Amadra, Introduction to the Study of the Holy Qur’ān (Surrey: Islam International Publications Limited, 1996), hlm. 10.
[4] ‘Allāmah ‘Alī bin Muammad al-Fayyūmī al-Muqri’, al-Mibāḥ al-Munīr (Beirut: Maktabah Lubnān, 1987), hlm. 109.
[5] Qur’ān Sūrah (Q.S.) 2:209.
[6] arat Mīrzā Ghulām Amadas, Ā’ina-e-Kamālāt-e-Islām; dalam Rūḥānī Khazā’in, vol. 5 (Surrey: Islam International Publications Limited, 2009), hh. 59-62.
[7] arat Mīrzā Ṭāhir Amadrh, Some Distinctive Features of Islam (Surrey: Islam International Publications Limited, 2007), hlm. 4.
[8] Q.S. 34:29.
[9] Q.S. 7:159.
[10] Q.S. 81:28.
[11] arat Mīrzā Ṭāhir Amadrh, op.cit., hlm. 6.
[12] Q.S. 5:4
[13] arat Mīrzā Ṭāhir Amadrh, op.cit., hh. 9-10.
[14] Ibid, hlm. 12-13.
[15] Q.S. 4:59.
[16] Q.S. 4:59.
[17] Q.S. 42:39.
[18] Q.S. 20:119-120.
[19] Q.S. 2:206.
[20] Q.S. 16:91.
[21] Q.S. 6:143, 2:169, 16:91.
[22] Q.S. 2:257.
[23] Q.S. 5:9.
[24] Q.S. 8:68, 47:5.
[25] Q.S. 16:92.
[26] Q.S. 16:93.
[27] Q.S. 4:60.
[28] Q.S. 4:60.
[29] Q.S. 5:3
[30] Q.S. 20:132
[31] arat Mīrzā Ṭāhir Amadrh, op.cit., hh. 15-16.
[32] Q.S. 4:136.
[33] arat Mīrzā Basyīr-ud-Dīn Mamūd Amadra, The Holy Qur’ān with English Translation and Commentary, vol. 2 (Surrey: Islam International Publications Limited, 1988), hlm. 571.
[34] Q.S. 4:59.
[35] Q.S. 5:9.
[36] Q.S. 8:62.
[37] arat Mīrzā Ṭāhir Amadrh, op.cit., hlm. 18.
[38] Q.S. 22:40-41.
[39] Q.S. 2:191.
[40] Q.S. 8:62
[41] arat Mīrzā Ghulām Amadas, Anjām-i-Ātham; dalam Rūḥānī Khazā’in, vol. 11 (Surrey: Islam International Publications Limited, 2009), hh. 345-346.
[42] arat Mīrzā Ghulām Amadas, Masīḥ Hindustān Mein; dalam Rūḥānī Khazā’in, vol. 15 (Surrey: Islam International Publications Limited, 2009), hlm. 13.

[43] Khotbah Jumat arat Mīrzā Masroor Amadatba di Kalbach Sports and Recreation Centre, Frankfurt, Jerman, pada 6 Juni 2014.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *