Oleh : Saifullah Mubarak Ahmad
Dalam kaidah ilmu Tafsir dikenal kaidah Al-Islamu shalihun li kulli zaman wa al-makan, yang maksudnya Islam harus relevan untuk setiap zaman dan setiap tempat. Dengan kaidah ini ini kita memahami bahwa Islam telah dipersiapkan untuk bisa menjadi solusi bagi setiap kondisi yang ada dengan cara terus melakukan konstektualitas penafsiran. Dalam hal ini termasuk dalam tatacara pelaksanaan ibadah. Di satu sisi Allah swt. telah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk melaksanakan ibadah-ibadah sebagai sarana pendekatan diri kita kepada Allah swt. Tetapi di sisi lain manusia akan terus dihadapkan dengan tantangan kondisi-kondisi yang tidak ideal sesuai konteks ruang dan waktu dalam melaksanakan ibadah. Oleh karenanyalah irisan antara dua sisi itu, Islam menyediakan solusi-solusi dalam tata cara pelaksanaan ibadah yang tidak memberatkan disesuaikan dengan kondisi yang ada. Ini sesuai dengan Firman Allah swt. dalam Q.S. Al-Baqarah : 186[1]:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah swt. menghendaki kemudahan bagimu, dan Ia tidak menghendaki kesulitan bagimu
Salah satu tantangan ulama Fiqih saat ini adalah bagaimana adaptasi pelaksanaan ibadah di tengah pandemi Covid-19 yang menyerang dunia. Dimana dengan bahaya kematian yang mengincar umat manusia, tentunya Islam harus bisa menawarkan tata cara ibadah yang lebih aman disesuaikan dengan kondisi saat ini. Salah satunya adalah untuk pemerintah yang sudah mulai memberi kelonggaran untuk shalat berjaamah di masjid, bagaimanakah barisan saf shalat berjamaah di tengah pandemi ini. Karena kita mengalami dilema dalam hal ini, di satu sisi saf shalat diperintahkan untuk dirapatkan, di sisi lain perapatan saf shalat berjamaah dalam kondisi seperti ini memiliki resiko kesehatan. Sehingga dalam tulisan ini saya akan sampaikan pendapat Mln. Zahir Khan[2]atas petunjuk Hz. Mirza Masror Ahmad Aba[3]. dalam menjawab bagaimanakah kerapatan saf shalat dalam kondisi saat ini :
“Saat ini disebabkan Pandemi Covid–19 ini seluruh dunia terdampak sehingga menciptakan keadaan sedemikian rupa, hampir seluruh dunia terdampak wabah ini. Namun dalam keadaan seperti inipun Alhamdulillah merupakan ihsan Allah Taala kepada kita karena Dia menganugrahkan kita seorang imam. Dalam segala hal baik ruhani maupun duniawi kita mendapatkan bimbingan beliau dan kita yakin beliau mendapatkan bimbingan dari nur Ilahi sehingga di dalam petunjuk-petunjuk beliau terdapat keberkatan.
Berkaitan dengan pertanyaan ini pun datang pertanyaan-pertanyaan dari berbagai belahan dunia kepada Hazrat Khalifatul Masih, sebagian negara ada yang masih dan sudah mengizinkan shalat di masjid dengan syarat-syarat seperti ada jarak dalam saf dan sebagainya. Jawaban yang huzur berikan berkaitan dengan masalah ini begitu penuh ma’rifat dan luar biasa. Yang secara ringkas dapat disampaikan bahwa:
Huzur bersabda bahwa, ” Dengan karunia Allah Taala, Islam dalam setiap pekerjaan dan amalan mendasarkan pada niat. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
Sebagaimana yang kita tahu bahwa sangat ditekankan dalam hadits-hadits untuk merapatkan saf shalat dengan mempertemukan pundak, lutut bahkan tumit. Dan di dalam hadits rasulullah saw bersabda bahwa jangan biarkan ada jarak atau ruang kosong dalam shalat berjamaah, karena disitu setan akan masuk dan menciptakan perpecahan diantara kalian. Rasulullah saw memanjatkan doa ampunan untuk orang-orang yang merapatkan safnya dan mengisi kerenggangan dalam saf shalat.
Khalifah Islam, Hazrat Khalifatul Masih Al Khamis Aba. bersabda bahwa hikmah yang terkandung di balik semua hukum ini adalah, supaya diantara kita tidak terjadi ikhtilaf atau perpecahan. Namun sekarang kita sedang dihadapkan dengan keadaan darurat atau keterpaksaan. Dalam keterpaksaan dan keadaan darurat berkaitan dengan masalah ini kita juga mendapatkan solusi dari sunnah Rasulullah saw.
Sebagaimana di dalam hadits yang terdapat di Sunan Tirmizi dan Daarul Qutni, Hz Amar bin Utsman bin Ya’la ra. meriwayatkan:
“Suatu kali di dalam safar kami melewati sebuah gang sempit, saat itu hujan turun sangat deras dan waktu shalatpun tiba. Maka tanahpun menjadi sangat becek berlumpur sehingga tidak memungkinkan untuk shalat di atas tanah. Maka pada kesempatan itu Rasulullah saw. maju kedepan dengan tunggangannya dan memerintahkan untuk iqamat. Rasulullah saw. mengimami shalat di atas tunggangannya. Dan kami pun sebagai makmum shalat di atas tunggangan kami. Dikarenakan diatas tunggangan masing-masing maka kami tidak bisa merapatkan saf dengan mempertemukan pundak, lutut dan tumit kami.” (Sunan Daarul Qutni Kitaabus Shalah)[5]
Kemudian Khalifah Islam, Hadhrat Khalifatul Masih Al Khamis aba.menyampaikan bahwa:
Pada zaman sekarang inipun ketika kita harus shalat diatas kendaraan. Kendaraan pun berbagai macam jenisnya, (bisa jadi mobil, bus, kereta api, pesawat dll). Maka dalam keadaan itupun kita tidak bisa merapatkan saf dengan mempertemukan lutut, pundak dan tumit. Ada yang duduk di bangku depan, ada yang di belakang dan ada yang di samping. Sehingga terciptalah jarak atau kekosongan dalam saf.”
Maka dari itu berdasarkan hadits ini beliau menyampaikan bahwa pada dasarnya dalam keadaan darurat atau terpaksa, dalam Islam terdapat kemudahan-kemudahan. Makanya Huzur Aba.menyampaikan dalam keadaan sekarang ini pun kita tidak berniat menciptakan perpecahan dengan adanya jarak dalam saf shalat. Melainkan kita melakukan ini yakni menciptakan jarak dalam shalat berjamaah dengan niat menghambat penyebaran wabah ini. Dan pemerintah di seluruh negara pun sedang menerapkan social distancing, sehingga adalah kewajiban kita juga untuk menaati himbauan pemerintah ini. Karena kita melakukan ini dengan niat baik bukan untuk menciptakan perpecahan maka shalat berjamaah bisa dilakukan dengan saf yang berjarak”.
Tetapi pelaksanan shalat berjamaah dengan saf yang direnggangkan juga harus melihat protokol dari pemerintah setempat. Cara ini dilakukan ketika pemerintah sudah mulai mengizinkan untuk melaksanakan shalat berjamaah. Karena dalam hal ini kita menggunakan kaidah Al-Qur’an, Q.S An-Nisa : 60
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Taatlah pada Allah swt, taatlah pada Rasul dan taatlah pada pemerintah yang menjabat diantara kalian
Dari ayat ini kita melihat bahwa ketaatan kepada peraturan pemerintah yang tidak bertentangan dengan syariat juga adalah bentuk ketaatan kita kepada Allah swt. Sehingga apabila pemerintah belum mengizinkan shalat berjamaah di Masjid yang tentunya dengan alasan kemasalahatan banyak orang, maka solusi ibadah terbaik adalah tetap melaksanakan shalat berjaamah di rumah kita masing-masing. Cara seperti itu pun memberi hikmah tersendiri yaitu bahwa kita memilki quality time dengan keluarga kita, apalagi quality time tersebut dilaksanakan dalam bentuk ibadah, maka begitu indahnya hal tersebut.
[1] Metode penulisan ayat Al-Quran dalam situs ini seluruhnya menggunakan metode basmallah di awal surat dihitung sebagai ayat pertama. Sehingga akan ada perbedaan satu nominal ayat dengan metode perhitungan basmallah di awal surat yang tidak dihitung sebagai ayat pertama
[2] Disampaikan dalam acara Fiqih-o-Matsail yang ditayangkan oleh MTA (Muslim Television Ahmadiyya) pada tanggal 6 Mei 2020
[3] Ayyadalahu ta’ala binasiril aziz (Semogga tangan Allah swt. selalu menyertai beliau dengan pertolongan yang perkasa)
Telah menceritakan kepada kami Suraij bin Nu’man Telah menceritakan kepada kami Umar bin Maimun bin Rammah dari Abu Sahl Katsir bin Ziyad Al Bashri dari Amru bin Utsman bin Ya’la bin Murrah dari Bapaknya dari Kakeknya, bahwa Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya sampai pada daerah yang agak sempit sedangkan beliau masih berada di atas kendaraannya, sementar langit menurunkan hujan dan tanah yang ada di bawah mereka basah (berlumpur). Lalu datanglah waktu shalat, beliau kemudian memerintahkan seorang muadzdzin untuk mengumandang adzan, lalu muadzdzin tersebut adzan dan iqamah. Rasulullah s.a.w. kemudian maju ke depan dengan tetap berada di atas kendaraannya, lalu beliau shalat bersama mereka. Beliau shalat dengan berisyarat, menjadikan sujud lebih rendah daripada rukuk. Atau beliau menjadikan sujudnya lebih rendah daripada ruku’nya