Sumber Akidah, Ibadah, dan Muamalah

Dibawah ini adalah petikan dari buku Fatawa Masih Mauud as. terjemah bebas oleh Ataul Ghalib YH

Dari Hadhrat Masih Mau‘ud as : Untuk berdiri di atas petunjuk-petunjuk Islami, di tangan orang Islam ada tiga perkara, yakni : 1. Quran Syarif, yang merupakan Kitabullah. Di mana secara qath‟i  (pasti) dan secara yaqini (meyakinkan) di tangan kita tidak ada yang lebih baik dari nya. Ia adalah Kalam Tuhan. Ia suci dari kotoran keragu-raguan dan purbasangka. 2. Yang kedua adalah sunah, disini saya berbicara [mengenai sunah] setelah memisahkannya dari istilah para ahli hadits. Yakni saya tidak menetapkan hadits dan sunah sebagai suatu hal yang sama, sebagaimana cara yang biasa dilakukan oleh para muhaditsin. Melainkan, hadits adalah sesuatu yang lain, dan sunah adalah hal yang lain lagi. Sunah maksudnya adalah amalan praksis Rasulullah saw. yang secara terus-menerus ada di dalam diri beliau, dan sejak awal telah dzahir bersamaan dengan al-Quran serta akan senantiasa bersama-sama.

Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa Quran Syarif merupakan Firman Tuhan dan sunah adalah amal perbuatan Rasulullah saw.. Semenjak dahulu kala inilah sunatullah, yakni ketika para nabi alaihimus salam datang membawa firman Allah sebagai petunjuk bagi manusia, maka beliau-beliau menafsirkan firman itu dengan perbuatannya, yakni melalui amalan nyata, agar tidak ada lagi keragu-raguan dalam memahami firman itu, dan berdasarkan firman itulah beliau pun beramal, serta mengajarkan orang lain untuk beramal. 3. Sarana petunjuk yang ketiga adalah hadits. Hadits maksudnya adalah atsar-atsar [sunah nabi] yang dikumpulkan dalam bentuk kisah oleh para perawi yang berbeda-beda, kira-kira 100 – 150 tahun setelah Rasulullah saw.

Oleh karena itu, perbedaan antara sunah dan hadits adalah, sunah merupakan tata cara amalan praksis yang selalu ada bersama beliau. Rasulullah saw. terus melakukannya secara berkesinambungan dengan tangan beliau sendiri. Dan dalam tingkat kepastian berada di tingkat kedua setelah al-Quran.  Sebagaimana Rasulullah saw. merupakan seorang ma’mur (yang diutus) untuk menyebarkan al-Quran, demikian pula beliau pun merupakan ma’mur (yang diutus) untuk menegakkan sunah. Jadi, sebagaimana Quran Syarif merupakan “yaqini” (meyakinkan), demikian pula sunah kebiasaan yang berkesinambungan pun merupakan hal yang ―yaqini.

Kedua pekerjaan ini ditunaikan oleh Rasulullah saw. dengan tangan beliau sendiri. Dan beliau menganggap keduanya sebagai kewajiban beliau. Sebagai contoh : jika turun perintah untuk shalat, maka Hadhrat Shollalohu alaihi wa salam membukakan lalu memperlihatkan firman Tuhan itu dengan amalan beliau. Dan mendzahirkan dalam corak amal perbuatan bahwa inilah [jumlah] rakaat-rakaat shalat shubuh, ini rakaat shalat maghrib, dan inilah rakaat-rakaat shalat-shalat yang lainnya. Begitu juga beliau menunjukkan ibadah haji dengan melaksanakannya. Kemudian beliau mengharuskan  ribuan sahabat untuk mengikuti amalan ini dan dengan sangat keras beliau menegakkan rangkaian amal.

Jadi, contoh amali yang sampai saat ini disaksikan dan nampak di kalangan umat dalam bentuk pengamalan, inilah yang namanya sunah. Tetapi hadits, Hadhrat Rasulullah saw. tidak menyuruh [para sahabat] untuk menulis di hadapan beliau sendiri, dan tidak pula mengadakan pengaturan untuk penyusunannya. Hadhrat Abu Bakar ra. mengumpulkan beberapa hadits, namun kemudian beliau membakar semua hadits itu karena pertimbangan ketakwaan, ini bukanlah hal yang saya [Hadhrat Abu Bakar] dengar langsung tanpa perantara, wallohu a’lam apa hakikatnya.

Kemudian ketika masa khalifah radhiallohuanhu telah berlalu, Allah Ta‘ala memalingkan tabiat sebagian tabi tabiin ke arah ini, yakni hadits juga haruslah dikumpulkan, maka terhimpunlah hadits-hadits. Tidak bisa diragukkan lagi bahwa kebanyakan orang yang mengumpulkan hadits merupakan orang yang bertaqwa dan menjaga diri. Sejauh kemampuan mereka, mereka telah melakukan kritisi terhadap hadits-hadits, dan mereka berkeinginan untuk menghindari hadits-hadits yang menurut pendapat mereka termasuk ke dalam hadits-hadits maudhu. Mereka tidak mengambil hadits-hadits yang keadaan rawinya meragukan. Mereka telah bekerja begitu keras.

Namun, tetap saja, karena semua amal perbuatan itu terjadi pada masa yang lalu,  karena itu semuanya tetap berada dalam kedudukan dzan (praduga). Meskipun demikian, merupakan ketidakadilan mengatakan bahwa semua hadits itu sia-sia, tiada berguna dan tanpa faedah serta dusta. Melainkan, penulisan hadits itu dikerjakan dengan sedemikian rupa hati-hati dan sedemikian rupa telah dilakukan penyelidikan dan kritisi, yang tidak dijumpai bandingangnya dalam agama-agama lain.

Di kalangan umat Yahudi pun terdapat hadits-hadits dan di hadapan Al-Masihpun firqah Yahudi itulah yang dinamakan sebagai aamil bil hadits (yang mengamalkan hadits), tetapi tidaklah terbukti bahwa para muhaditsin Yahudi telah telah mengumpulkan hadits-hadits itu dengan penuh kehati-hatian seperti yang telah dilakukan oleh para muhaditsin Islam. Namun demikian, merupakan kesalahan pula jika berpikir bahwa selama hadits belum dikumpulkan, maka saat itu orang-orang tidak mengetahui rakaat-rakaat shalat.

Atau tidak mengenal tatacara pelaksanaan ibadah haji. Karena rangkaian amal yang telah terlahir di antara mereka melalui sunah telah mengajarkan kepada mereka semua batasan-batasan dan kewajiban-kewajiban dalam agama Islam. Oleh karena itu hal ini sangatlah benar, bahwa kalaupun keberadaan hadits-hadits yang dikumpulkan setelah masa yang jauh itu tidak ada di dunia, maka tidak ada kerugian terhadap ajaran Islam yang asli. Karena Quran dan rangkaian amal [sunah]telah memenuhi semua keperluan itu. Mekipun begitu, hadits telah menambah terang nur itu, seolah-olah Islam telah menjadi nuurun ‘ala an-nuur, dan hadits telah berdiri seperti saksi bagi Quran dan sunah. Banyak sekali firqoh Islam yang muncul kemudian hari, firqoh-firqoh yang benar di antara firqoh-firqoh itu banyak sekali faedah yang sampai kepada mereka dari hadits-hadits sahih.  Jadi, inilah agama Islam, yakni tidaklah seperti para ahlu hadits di zaman sekarang ini yang beritikad untuk mengutamakannya dari pada Quran, dan apabila kisah-kisahnya nyata-nyata bertentangan dengan penjelasan-penjelasan Quran Karim, maka janganlah berpikir untuk mengutamakan kisah-kisah dalam hadits dari pada Quran dan meninggalkan al-Quran. Melainkan hendaklah memandang al-Quran sebagai hakim bagi sunah dan hadits. Hadits yang tidak bertentangan dengan al-Quran dan sunah maka hendaklah ia diterima. Inilah shirothol mustaqim. Berberkatlah mereka yang mengikutinya. Betapa malang dan bodohlah[1] orang yang meskipun ada kaidah ini, ia mengingkari hadits. (Review Mubahitsah Cakralwi, Hal. 302)


[1] Malam ini diperlihatkan kepadaku di dalam rukya, bahwa ada sebuah pohon lebat dan dipenuhi dengan buahbuah yang sangat lezat dan cantik/menawan. Beberapa orang ingin menaikkan semak belukar yang tidak berakar ke atasnya dengan susah payah dan [kerja] keras. Semak belukar itu seperti [tumbuhan] parasit. Sejauh mana semak belukar itu naik merambati pohon tersebut, buah-buah di pohon itu menjadi rusak dan dalam kelezatan serta kecantikannya muncul ketidakindahan dan bentuk yang buruk. Buah-buahan yang diharapkan dari pohon itu, sangat dikhawatirkan akan menjadi sia-sia [rusak], bahkan sebagian telah menjadi sia-sia [rusak]. Setelah melihatnya, hatiku menjadi takut dan mencair. Aku bertanya kepada seseorang yang baik dan suci yang tengah berdiri, ―Pohon apakah gerangan ini? Dan semak belukar apakah yang telah mencengkram kelezatan dan kecantikannya kemudian ia mengatakan kepadaku, ―Pohon ini adalah Quran, Kalam Tuhan, dan belukar ini adalah hadits dan perkataan-perkataan lain yang bertentangan dengan Quran atau dianggap bertentangan. Banyaknya semak belukar ini telah mencengkram pohon itu dan merusaknya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *