نحمده ونصلي على رسوله الكريم
|
بسم الله الرحمن الرحيم
|
وعلى عبده المسيح الموعود
Nabi ‘Īsāas Nuzūl (Turun) atau Rujū‘ (Kembali)?
Sebagian penentang Jemaat Muslim Ahmadiyah sering mengungkapkan bahwa Nabi ‘Īsāas akan nuzūl (turun) dan turunnya beliau itu sekaligus merupakan kedatangan beliau kembali atau rujū‘ untuk yang kedua kali. Mereka berdalil dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abī Ḥātim Ar-Rāzī dalam At-Tafsīr-nya:
حدثنا أبي؛ ثنا أحمد بن عبد الرحمن الدشتكي؛ ثنا عبد اللّٰه بن أبي جعفر؛ عن أبيه، عن الربيع بن أنس، عن الحسن، قال: قال رسول اللّٰه صلى اللّٰه عليه وسلم لليهود: إِنَّ عِيْسٰى لَمْ يَمُتْ وَإِنَّهُ رَاجِعٌ إِلَيْكُمْ قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
“Ayahku menceritakan kepada Kami; Aḥmad bin ‘Abd-ir-Raḥmān menceritakan kepada Kami; ‘Abdullāh bin Abī Ja‘far menceritakan kepadaku; dari ayahnya, Ar-Rabī‘ bin Anas menceritakan menceritakan kepada Kami; dari Al-Ḥasan, dia berkata: Ḥaḍrat RasūlullāhSAW bersabda kepada orang-orang Yahudi: Sesungguhnya, ‘Īsāas belum wafat dan beliau kelak akan kembali kepada Kalian sebelum hari kiamat.”[1]
Agar lebih jelas, Saya akan sebutkan profil (tarjamah) dari para perawi satu persatu:
Abū Ḥātim Ar-Rāzī
Nama aslinya adalah Muḥammad bin Idrīs bin Al-Mundzir bin Dāwūd bin Mihrān Al-Ḥanẓalī. Dia merupakan salah seorang imam dan hafiz besar dalam ilmu hadis. Berikut ini beberapa komentar dan pujian ulama kepadanya[2]:
Ulama
|
Komentar
|
Terjemahan
|
Abū Bakr Al-Khallāl
|
إمام في الحديث.
|
Imam dalam ilmu hadis.
|
Ibnu Khirāsy
|
كان من أهل الأمانة والمعرفة.
|
Termasuk dalam orang-orang yang terpecaya dan ternama.
|
Al-La’likā’ī
|
كان إماما عالما في الحديث، حافظا له، متقنا ثبتا.
|
Imam yang alim dalam ilmu hadis, ḥāfiẓ, mutqin, dan tsabat.
|
Abū Nu‘aim
|
إمام في الحفظ.
|
Imam dalam hafalan.
|
An-Nasā’ī
|
ثقة.
|
Tsiqah.
|
Al-Khaṭīb Al-Baghdādī
|
كان أحد الأئمة الحفاظ الأثبات، مشهورا بالعلم، مذكورا بالفضل.
|
Salah seorang imam yang ḥāfiẓ, tsabat, masyhur dengan ilmu, dikenal dengan keutamaan.
|
Aḥmad bin ‘Abd-ur-Raḥmān Ad-Dasytakī
Nama lengkapnya adalah Aḥmad bin ‘Abd-ir-Raḥmān bin ‘Abdillāh bin Sa‘d bin ‘Utsmān Ad-Dasytakī Ar-Rāzī Al-Muqri’. Abū Ḥātim Ar-Rāzī menggelarinya ṣadūq[3].
‘Abdullāh bin Abī Ja‘far
Dia bergelar Ar-Rāzī. Para ulama bersilang pendapat mengenainya. Abū Zur‘ah dan Abū Ḥātim menggelarinya ṣadūq.
Adapun komentar para ulama yang menyangsikannya, hal itu adalah sebagai berikut:
Ulama
|
Komentar
|
Terjemahan
|
Muḥammad bin Ḥumaid Ar-Rāzī
|
سمعت منه عشرة آلاف حديث فرميت بها، كان فاسقا.
|
Aku mendengar puluhan ribu hadis darinya lalu Aku pun membuang semuanya, dia seorang fasik.
|
Ibnu ‘Adī
|
من حديثه ما لا يتابع عليه.
|
Dari hadisnya ada yang tidak memiliki mutāba‘ah (artinya dia bersendirian dalam meriwayatkan).[4]
|
Adz-Dzahabī
|
ضعيف.
ليس بحجة.
|
Lemah.[5]
Bukan merupakan hujah.[6]
|
Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī
|
صدوق يخطئ.
|
Ṣadūq, tetapi sering salah.[7]
|
Dalam kasus hadis di atas, dia tidak memiliki mutāba‘ah. Seorang yang tsiqah, apabila bersendirian (tafarrud) dalam meriwayatkan dan tidak memiliki mutāba‘ah, hadisnya masih bisa diterima (maqbūl). Namun, seseorang yang dianggap lemah oleh kebanyakan imam seperti ‘Abdullāh bin Abī Ja‘far ini, hadisnya tidak dapat diterima. Dengan demikian, catat (‘illat) pertama dari hadisini telah Kita temukan dan berpangkal dari sosok ‘Abdullāh bin Abī Ja‘far.
Abū Ja‘far Ar-Rāzī
Nama aslinya adalah ‘Īsā bin Abī ‘Īsā (Hāmān). Sama seperti mengenai putranya, para ulama hadis pun berselisih mengenainya. Beberapa ahli ilmu menyanjungnya, sedangkan yang lain mencelanya. Berikut adalah mereka yang memujinya:
Ulama
|
Komentar
|
Terjemahan
|
Aḥmad bin Ḥanbal
|
صالح الحديث.
|
Hadisnya bagus.
|
Yaḥyā bin Ma‘īn
|
ثقة.
|
Tsiqah.
|
Abū Ḥātim Ar-Rāzī
|
ثقة صدوق.
|
Tsiqah ṣadūq.[8]
|
Adz-Dzahabī
|
صالح الحديث.
|
Hadisnya bagus.[9]
|
Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī
|
صدوق.
|
Ṣadūq.[10]
|
Adapun para imam yang lain, mereka melemahkan Abū Ja‘far. Di antara mereka adalah:
Ulama
|
Komentar
|
Terjemahan
|
Aḥmad bin Ḥanbal
|
ليس بالقوي.
|
Tidak kuat.
|
An-Nasā’ī
|
ليس بالقوي.
|
Tidak kuat.
|
Abū Zur‘ah
|
يهم كثيرا.
|
Banyak berwaham.
|
Ibnu Al-Madīnī
|
ثقة كان يخلط.
يكتب حديثه إلا أنه يخطئ.
|
Tsiqah, ingatannya bercampur.
Hadisnya boleh ditulis. Hanya saja, dia sering salah.
|
‘Amrū bin ‘Alī
|
فيه ضعف.
|
Dalam dirinya terdapat kelemahan.
|
As-Sājī
|
صدوق وليس بمتقن.
|
Ṣadūq, tetapi tidak mutqin.[11]
|
Al-Fallās
|
سيئ الحفظ.
|
Hafalannya jelek.
|
Ibnu Ḥibbān
|
ينفرد بالمناكير عن المشاهير.
|
Bersendirian dengan hadis–hadis munkar dari orang-orang yang masyhur.[12]
|
Dapat disimpulkan dari keterangan-keterangan ini bahwa Abū Ja‘far berada pada kedudukan ṣadūqwalau sering berbuat kesalahan. Namun, sejatinya, kunci dari persoalan ini terletak pada perkataan Ibnu Ḥibbān, yakni dia bersendirian dalam meriwayatkan hadis munkar atau, dalam kata lain, apabila bersendirian, dia meriwayatkan hadis-hadis munkar. Berkaitan dengan hadis di atas, Abū Ja‘far bersendirian dalam meriwayatkan dari Ar-Rabī‘ bin Anas dan pada ujungnya nanti Al-Ḥasan Al-Baṣrī bersendirian dalam meriwayatkan secara irsāl.
Ar-Rabī‘ bin Anas
Nama lengkapnya adalah Ar-Rabī‘ bin Anas Al-Bakrī Al-Ḥanafī Al-Baṣrī Al-Khurāsānī. Sama seperti dua perawi sebelumnya, ada perbedaan pendapat mengenai para ulama mengenainya. Yang memujinya di antara lain:
Ulama
|
Komentar
|
Terjemahan
|
Al-‘Ijlī
|
صدوق.
|
Tidak kuat.
|
Abū Ḥātim Ar-Rāzī
|
صدوق.
|
Tidak kuat.
|
An-Nasā’ī
|
ليس به بأس.
|
Tidak ada masalah dengannya.
|
Adapun yang memberikan celaan terhadapnya, mereka adalah:
Ulama
|
Komentar
|
Terjemahan
|
Yaḥyā bin Ma‘īn
|
كان يتشيع فيفرط.
|
Ber-tasyayyu‘ lalu sering berlebih-lebihan.
|
Ibnu Ḥibbān
|
الناس يتقون من حديثه ما كان من رواية أبي جعفر عنه، لأن في أحاديثه عنه اضطرابا كثيرا.
|
Orang-orang menakuti hadisnya yang diriwatkan oleh Abū Ja‘far Ar-Rāzī karena di dalamnya terdapat banyak sekali kegoncangan.[13]
|
Lagi-lagi, perkataan Ibnu Ḥibbān menjadi kunci. Kaedah yang masyhur dalam ilmu ḥadīts menyatakan, “Al-jarḥ al-mufassar muqaddamun min at-ta‘dīl al-‘ām,” atau, “Kritik yang terperinci didahulukan dari pujian yang umum.” Dengan demikian, rangkaian hadisyang di dalamnya terdapat transmisi dari Ar-Rabī‘ bin Anas ke Abū Ja‘far Ar-Rāzī ini muḍṭarib dan munkar.
Al-Ḥasan Al-Baṣrī
Saya kira kefakihan, kealiman, dan keistimewaan beliau sudah umum di kalangan para penuntut ilmu dan banyak ulama telah menyanjung beliau. Namun, dalam ilmu hadis, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī[14], beliau banyak sekali membuat irsāldan tadlīs. Bahkan, menurut Imam Adz-Dzahabī, irsālyang dilakukan beliau adalah seburuk-buruk irsāl (awhā al-marāsīl)[15]. Karena termasuk dalam irsāl Al-Ḥasan Al-Baṣrī, hadis ini dikategorikan buruk.
Kesimpulannya, dari ketiga perawi, yaitu ‘Abdullāh bin Abī Ja‘far, Abū Ja‘far Ar-Rāzī, dan Al-Ḥasan yang melakukan irsāl, status hadisini adalah munkar muḍṭarib wāhin. Oleh karena itu, hadisini tidak dapat dijadikan hujah dan pegangan.
Pada hakikatnya, para penentang Jemaat Muslim Ahmadiyah sampai kapanpun tidak akan dapat mengajukan hadis marfuk mauṣūlyang berasal langsung dari lisan kudus Nabi MuḥammadSAW bahwa Nabi ‘Īsā Al-Isrā’īlīas masih hidup dan kelak akan kembali di akhir zaman. Perkataan ‘Allāmah Ibnu Qayyim berikut ini Saya kira cukup bagi para pencari kebenaran:
وأما ما يذكر عن المسيح أنه رفع إلى السماء وله ثلاث وثلاثون سنة فهذا لا يعرف له أثر متصل يجب المصير إليه.
“Adapun cerita-cerita tentang Al-Masīḥas bahwa beliau diangkat ke langit pada usia 33 tahun, tidak dikenal baginya satupun hadis muttaṣilyang mewajibkan Kita untuk meyakininya.”[16]
Sebaliknya, yang tersebut dalam hadis marfuk mauṣūldari lisan suci NabiSAW melalui dua wanita yang paling beliau cintai, Fāṭimah Az-Zahrā’ra dan ‘Ā’isyah Aṣ–Ṣiddīqahra, adalah kewafatan Al-Masīḥas. Abū Ja‘far Aṭ–Ṭaḥāwī mencatat sabda beliau itu:
وَأَخْبَرَنِيْ أَنَّ عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ عَاشَ عِشْرِيْنَ وَمِائَةَ سَنَةٍ.
“Dan Jibrīlas mengabarkan kepadaku bahwa ‘Īsā bin Maryamas hidup selama 120 tahun.”[17]
Insaf akan kenyataan yang diketengahkan oleh Ibnu Qayyim dan hadis Aṭ–Ṭaḥāwī yang juga dinukil oleh imam-imam lain seperti Al-Baihaqī dan Aṭ–Ṭabrānī di atas, Imam Asy-Syāmī mengikrarkan:
وهو كما قال، فإن ذلك إنما يروى عن النصارى، والمصرح به في الأحايث النبوية أنه إنما رفع وهو ابن مائة وعشرين سنة.
“Hal itu persis sama dengan apa yang Ibnu Qayyim katakan karena cerita bahwa ‘Īsāas diangkat ke langit pada usia 33 tahun sejatinya diriwayatkan dari orang-orang Kristen, sedangkan kejelasan mengenainya yang terdapat dalam hadis-hadis NabiSAW ialah bahwa beliau diangkat (secara rohani) pada usia 120 tahun.”[18]
Dengan demikian, benarlah apa yang Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah, Imām Mahdī dan Masīḥ Mau‘ūd, Mīrzā Ghulām Aḥmadas, sabdakan:
أَتَظُنُّوْنَ أَنَّ الْمَسِیْحَ بْنَ مَرْيَمَ سَیَرْجِعُ إِلَى الْأَرْضِ مِنَ السَّمَاءِ؟ وَلَا تَجِدُوْنَ لَفْظَ الرُّجُوْعِ فِيْ کَلِمِ سَیِّدِ الرُّسُلِ وَأَفْضَلِ الْأَنْبِیَاءِ، أَأُلْهِمْتُمْ بِهٰذَا أَوْ تَنْحِتُوْنَ لَفْظَ الرُّجُوْعِ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِکُمْ کَالْخَائِنِیْنَ؟ وَمِنَ الْمَعْلُوْمِ أَنَّ هٰذَا هُوَ اللَّفْظُ الخَاصُّ الَّذِيْ یُسْتَعْمَلُ لِرَجُلٍ یَّأْتِيْ بَعْدَ الذَّهَابِ، وَیَتَوَجَّهُ السَّفَرَ إِلَى الْإِیَابِ، فَهٰذَا أَبْعَدُ مِنْ أَبْلَغِ الْخَلْقِ وَإِمَامِ الْأَنْبِیَاءِ أَنْ یَّتْرُكَ هٰهُنَا لَفْظَ الرُّجُوْعِ وَیَسْتَعْمِلَ لَفْظَ النُّزُوْلِ وَلَا یَتَكَلَّمَ کَالْفُصَحَاءِ وَالْبُلَغَاءِ.
“Apakah Kalian menyangka bahwa Al-Masīḥ bin Maryamas kelak akan kembali ke bumi dari langit? Kalian tidak akan pernah dapat menjumpai lafal rujū‘ dalam kalam Pemimpin Para Rasul dan Yang Terbaik dari antara Para NabiSAW. Apakah telah diilhamkan kepada Kalian tentang hal ini atau Kalian mengada-ngadakan lafal rujū‘ dari diri Kalian sendiri layaknya orang-orang yang berkhianat kepada NabiSAW? Telah diketahui bahwa lafal ini adalah lafal khusus yang dipergunakan bagi seseorang yang datang sehabis bepergian dan menempuh perjalanan hingga pulang. Oleh karena itu, apabila ‘Īsāas benar akan kembali ke dunia, niscaya akan sangat aneh bahwa wujud yang merupakan Sosok Paling Mahir dalam balāghah dan Imam Para NabiSAW meninggalkan di sana rujū‘ dan mempergunakan lafal nuzūl lalu tidak berbicara layaknya orang-orang yang mahir dalam faṣāḥah dan balāghah.”[19]
Sekarang, permasalahan yang tersisa adalah mengenai lafal nuzūl. Ḥaḍrat Masīḥ Mau‘ūdas telah banyak sekali menguraikan hakikat dan makrifat dari lafal nuzūlini di dalam buku-buku beliau. Oleh karena itu, Saya tidak mampu menuliskan semuanya di sini. Saya hanya ingin mengetengahkan di sini secercah baṣīratyang beliau sampaikan bahwa lafal nuzūl yang dikenakan kepada Al-Masīḥ Akhir Zamanas pada dasarnya serupa dan setara dengan lafal nuzūl yang dikenakan kepada Junjungan beliau, Muḥammad Al-MuṣṭafāSAW. Allah Taala berfirman dalam Surah Aṭ-Ṭalāq ayat 11-12:
قَدْ أَنْزَلَ اللّٰهُ إِلَيْكُمْ ذِكْرًا ﴿﴾ رَسُوْلًا يَّتْلُوْ عَلَيْكُمْ آيَاتِ اللّٰهِ مُبَيِّنَاتٍ ﴿﴾
“Kami telah menurunkan kepada Kalian sebuah dzikr, yaitu seorang rasul yang membacakan kepada Kalian ayat-ayat Allah yang terang.”
Para mufasir mengemukakan bahwa lafalرَسُوْلًا adalah badal dari ذِكْرًا . Kata dzikr menurut para ahli takwil juga merupakan salah satu nama Nabi MuḥammadSAW[20]. Dengan demikian, ayat itu bermakna:
أظهر اللّٰه لكم ذكرا رسولا.
“Allah menciptakan kepada Kalian dzikr (MuḥammadSAW) sebagai seorang rasul.”[21]
Dari keterangan ini, Kita dapat menarik kesimpulan bahwa lafal inzāl (menurunkan) dapat pula bermakna iẓhār (menciptakan), tidak melulu turun dari langit. Sejarah sendiri menuturkan bahwa Nabi MuḥammadSAW tidaklah terbang melayang dari langit ketika datang ke dunia, tetapi lahir dari rahim ibunda beliau, Amīnah. Demikian pula halnya dengan Ḥaḍrat Imām Mahdīas, lafal nuzūl yang dipergunakan bagi beliau tidak berarti bahwa beliau akan turun dari angkasa. Namun, serupa dengan Nabi MuḥammadSAW, lafal itu bermakna ẓuhūr, artinya beliau dilahirkan dari rahim ibunda beliau, Chirāgh Bībī. Inilah hakikat yang beliau terangkan ketika bersabda:
وَأَنْزَلَ أَحْمَدَيْنِ مِنَ السَّمَاءِ لِيَكْوْنَا كَالْجِدَارَيْنِ لِحِمَايَةِ الْأَوَّلِيْنَ وَالْآخِرِيْنَ.
“Dan Dia menurunkan dua Aḥmad dari langit untuk menjadi dua benteng yang kuat sebagai perlindungan bagi orang-orang yang datang terdahulu dan orang-orang yang datang belakangan.”[22]
Semoga Kita semua dapat menjadi para pengikut sejati Aḥmad Yang Keduaas pada akhir zaman ini dan kita harus terus berdoa, semoga Allah Taala menganugerahkan petunjuk dan bimbingan kepada saudara-saudara kita dari kaum muslimin untuk beriman kepada wujud yang kedatangannya telah dijanjikan oleh Aḥmad Yang PertamaSAW karena bahtera keselematan pada zaman yang dipenuhi dengan topan kesesatan ini hanya dan hanya dan hanya terletak pada iman terhadap wujud yang telah dinubuatkan itu.
ببركات القرآن الكريم، ببركات رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، ببركات الإمام المهدي والمسيح الموعود عليه الصلوة والسلام، ببركات خليفة المسيح الخامس أيده الله تعالى بنصره العزيز:
عندك هين وعندنا متعسر
للسائلين فلا ترد دعائي
|
يارب أصلح حال أمة سيدي
يا من أرى أبوابه مفتوحة
|
Catatan Kaki
[1] Tafsīr Ibni Abī Ḥātim ar-Rāzī no. 6232.
[1] Tafsīr Ibni Abī Ḥātim ar-Rāzī no. 6232.
[2] Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī, Tahdzīb at-Tahdzīb v. 3 (Beirut: Mu’assasat ar-Risālah, 1995 M/1416 H), h. 510.
[3] Jamāl-ud-Dīn Yūsuf Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl Fī Asmā’ ar-Rijāl v. 1 (Beirut: Mu’assasat ar-Risālah, 1983 M/1403 H), h. 386.
[4] Syams-ud-Dīn Muḥammad bin Aḥmad Adz-Dzahabī, Mīzān al-I‘tidāl Fī Naqd ar-Rijāl v. 4 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995 M/1416 H), h. 78.
[5] Syams-ud-Dīn Muḥammad bin Aḥmad Adz-Dzahabī, Dīwān aḍ–Ḍu‘afā’ Wa al-Matrūkīn(Mekkah: Maṭba‘ah an-Nahḍat al-Ḥadītsiyyah, 1967 M/1387 H), h. 213.
[6] Syams-ud-Dīn Muḥammad bin Aḥmad Adz-Dzahabī, Al-Mughnī Fī aḍ–Ḍu‘afā’ v. 1 (Qatar: Idārat Iḥyā’ at-Turāts al-Islāmī, 1987 M/1407 H), h. 476.
[7] Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī, Taqrīb at-Tahdzīb(Riyadh: Dār al-‘Āṣimah, 1421 H), h. 497.
[8] Syams-ud-Dīn Muḥammad bin Aḥmad Adz-Dzahabī, Siyar A‘lām an-Nubalā’ v. 7 (Beirut: Mu’assasat ar-Risālah, 1996 M/1417 H), h. 347.
[9] Syams-ud-Dīn Muḥammad bin Aḥmad Adz-Dzahabī, Mīzān al-I‘tidāl Fī Naqd ar-Rijāl v. 5 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995 M/1416 H), h. 347.
[10] Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī, op. cit., 1421 H, h. 770.
[11] Syams-ud-Dīn Muḥammad bin Aḥmad Adz-Dzahabī, Siyar A‘lām an-Nubalā’ v. 7 (Beirut: Mu’assasat ar-Risālah, 1996 M/1417 H), h. 347.
[12] Syams-ud-Dīn Muḥammad bin Aḥmad Adz-Dzahabī, Mīzān al-I‘tidāl Fī Naqd ar-Rijāl v. 5 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995 M/1416 H), hh. 347-348.
[13] Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī, Tahdzīb at-Tahdzīb v. 1 (Beirut: Mu’assasat ar-Risālah, 1995 M/1416 H), h. 590.
[14] Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī, op. cit., 1421 H, h. 391.
[15] Syams-ud-Dīn Muḥammad bin Aḥmad Adz-Dzahabī, Al-Mūqiẓah Fī ‘Ilmi Muṣṭalaḥat al-Ḥadīts(Kairo: Dār al-Ātsār, 2007 M/1428 H), h. 44.
[16] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Zād al-Ma‘ād Fī Hadyi Khair al-‘Ibād v. 1 (Beirut: Mu’assasat ar-Risālah, 1998 M/1418 H), h. 82.
[17] Musykil al-Ātsār Li Abī Ja‘far Aṭ–Ṭaḥawī Al-Ḥanafī, no. 1937.
[18] Nawwāb Ṣiddīq Ḥasan Khān, Fatḥ al-Bayān Fī Maqāṣid al-Qur’ān v. 2 (Beirut: Al-Maktabah al-‘Aṣriyyah, 1992 M/1412 H), h. 247.
[19] Ḥaḍrat Mīrzā Ghulām Aḥmadas, Maktūbu Aḥmad dalam Rūḥānī Khazā’in v. 11 (Surrey: Islam International Publications Limited, 2009), hh. 150-151.
[20] Al-Qāḍī Ibnu ʻAṭīyyah Al-Andalusī, Al-Muḥarrar al-Wajīz Fī Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz (Beirut: Dār Ibni Ḥazm, 2002), h. 1870.
[21] Abū ‘Abdillāh Muḥammad bin Aḥmad Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ Li Aḥkām al-Qur’ān v. 21 (Beirut: Mu’assasat ar-Risālah, 2006 M/1927 H), h. 62.
[22] Ḥaḍrat Mīrzā Ghulām Aḥmadas, I‘jāz al-Masīḥ dalam Rūḥānī Khazā’in v. 11 (Surrey: Islam International Publications Limited, 2009), h. 198.
good, mubarak…