نحمده ونصلي على رسوله الكريم
|
بسم الله الرحمن الرحيم
|
وعلى عبده المسيح الموعود
Keutamaan Salat Malam
Keutamaan Salat Malam
Di bawah ini, saya akan memberikan beberapa cuplikan tentang keutamaan Salat Malam yang disadur dari kitab Baḥr ad-Dumū‘ karya Abū al-Faraj Ibnu Al-Jauzī.
“Dalam sebuah hadis: Jika seorang hamba bertaubat kemudian baik taubatnya, para malaikat akan menyalakan sebuah pelita lalu menggantungnya di antara langit dan bumi. Lantas, para malaikat pun bertanya: Apakah ini? Dikatakanlah kepada mereka: Sesungguhnya, fulan bin fulan telah berbincang bersama Majikannya sepanjang malam.”[1]
“Dalam sebuah hadis dari Ḥaḍrat NabiSAW, beliau bersabda: Jika seorang hamba bangun mendirikan salat di tengah malam, anggota-anggota tubuhnya saling menyampaikan kabar gembira dan berseru satu sama lain: Pemilik kita telah bangun untuk mengkhidmati Allah Taala.”[2]
“Dari Aḥmad bin Abī al-Ḥawārī: Aku masuk ke dalam rumah Abū Sulaimān Ad-Dārānī dan Aku mendapatinya tengah menangis. Lantas, Aku pun bertanya kepada beliau: Apa yang menyebabkanmu menangis, wahai Tuanku? Beliau menjawab: Wahai Aḥmad! Sesungguhnya, para pecinta yang mencintai, apabila malam telah menggulita bagi mereka, kaki mereka akan menapak di atas tanah, sedangkan air mata mereka berlinang di pipi mereka antara rukuk dan sujud. Taktala Sang Majikan Jalla Jalāluhū menampakkan cahaya-Nya atas mereka, Dia berfirman: Wahai Jibrīlas! Demi Wujud-Ku! Siapa yang berlezat-lezat dengan kalam-Ku dan memilih untuk beristirahat dengan bermunajat kepada-Ku, Aku pasti akan menampakkan diri-Ku kepada mereka. Aku mendengar perkataan mereka dan Aku melihat apa yang tersembunyi dari mereka dan tangis mereka. Oleh karena itu, serulah mereka, wahai Jibrīlas, dan katakanlah kepada mereka: Apalah kesedihan ini yang Aku saksikan dari Kalian. Apakah seorang pengabar telah mengabarkan kepada Kalian bahwa seorang yang dicintai akan menyiksa para pecintanya dengan Api? Apakah mungkin bagi-Ku untuk menginap bersama sekelompok orang lalu sekonyong-konyong Aku perintahkan mereka untuk menyeburkan diri ke dalam api? Ini sama sekali tak cocok, bahkan bagi seorang hamba yang sangat hina. Lantas, bagaimana mungkin dengan Sang Raja Yang Mahamulia? Oleh karena itu, demi kemuliaan-Ku Aku bersumpah! Aku akan memberikan hadiah-Ku kepada mereka, yakni Aku akan menyingkapkan wajah-Ku yang mulia kepada mereka. Aku akan melihat mereka secara langsung dan mereka pun akan melihat-Ku secara langsung.”[3]
Salat di waktu malam adalah salat yang amat sangat berharga. Para penunainya, sebagaimana seorang sufi berkata, adalah kafilah-kafilah orang-orang saleh. Pada zaman ini, jangankan salat malam, salat wajib lima waktu saja telah banyak ditinggalkan. Oleh karena itu, Allah Taala mengutus abdi-Nya di era ini, Ḥaḍrat Mirzā Ghulām Aḥmad Al-Qādiānīas, selaku Imām Mahdī dan Masīḥ Mau‘ūd untuk menegakkan kembali tiang agama yang telah roboh itu. Beliau bersabda:
وَجِئْتُ لِأُقِيْمَ التَّوْحِيْدَ وَالصَّلَاةَ.
“Seungguhnya, Aku diutus untuk menegakkan tauhid dan salat.”[4]
Bukan hanya itu saja. Malahan, tahajud yang merupakan saalat malam paling utama diwajibkan bagi orang-orang yang berkinginan untuk baiat dan masuk ke dalam kalangan para pengikut beliau, Al-Jamā‘ah Al-Islāmiyyah Al-Aḥmadiyyah. Kita membaca pada poin ketiga dari Sepuluh Syarat Baiat:
“Akan senantiasa mendirikan salat lima waktu semata-mata karena mengikuti perintah Allah Taala dan Rasul-NyaSAW dan dengan sekuat tenaga akan senantiasa mendirikan salat tahajud, dan mengirim selawat kepada Junjungan Yang Mulia RasūlullāhSAW, serta memohon ampun dari kesalahan dan mohon perlindungan dari dosa atau kelemahan manusiawi. Akan ingat setiap saat kepada nikmat-nikmat Allah lalu mensyukurinya dengan hati tulus serta memuji dan menjunjung-Nya dengan hati yang penuh kecintaan.”
وَالْحَمْد لِلّٰهِ رَبّ الْعَالَمِيْنَ.
Catatan Kaki
[1] Abū al-Faraj Ibnu Al-Jauzī, Baḥr ad-Dumū‘ (Tanta: Dār aṣ-Ṣaḥābah Li at-Turāts, 1992 M/1412 H), h. 30.
[1] Abū al-Faraj Ibnu Al-Jauzī, Baḥr ad-Dumū‘ (Tanta: Dār aṣ-Ṣaḥābah Li at-Turāts, 1992 M/1412 H), h. 30.
[2] Ibid.
[3] Ibid, h. 31.
[4] Ḥaḍrat Mirzā Ghulām Aḥmadas, Al-Istiftā’ (Surrey: Al-Shirkatul Islamiyyah, 2005), h. 55.