Kemarin sore, saya membaca-baca jilid keempat dari kitab al-Bidāyah wa an-Nihāyah karangan salah seorang sejarawan terbesar umat Islam, ‘Allāmah Ibnu Katsīrrh (w. 704 H), untuk mencari referensi tentang hijrah kaum muslimin awalin ke Abbesinia. Setelah terus membuka halaman demi halaman, saya sampai pada satu bab – yang kebetulan merupakan bab sebelum bab yang berisikan keterangan-keterangan soal hijrah Abbesinia – yang membahas riwayat-riwayat mengenai bagaimana kaum Quraisy, terutama penatua-penatua mereka, tetap saja menentang dakwah Ḥaḍrat RasūlullāhSAW kendati mereka dengan penuh kesadaran mengakui bahwa beliau berada di atas kebenaran. Memang, hampir semua nukilan-nukilan tersebut sudah pernah saya baca sebelumnya. Akan tetapi, ada dua narasi yang membuat hati saya benar-benar tergugah seraya menghadirkan kembali ingatan lama yang sempat hilang. Dua riwayat itu berceritera akan Abū Jahal, tokoh antagonis nomor satu sepanjang sejarah Islam yang bahkan dipermisalkan dengan Firaun.1 Riwayat pertama dikutip oleh Ibnu Katsīrrh dari Dalā’il an-Nubuwwah yang ditulis oleh al-Baihaqīrh (w. 458 H) sebagai berikut:
عَنِ الزُّهْرِيِّ، قال: حُدِّثْتُ أَنَّ أَبَا جَهْلٍ وَأبَا سُفْيَانٍ وَالْأَخْنَسَ بْنَ شَرِيْقٍ خَرَجُوْا لَيْلَةً لِيَسْمَعُوْا مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّيْ بِاللَّيْلِ فِيْ بَيْتِهِ، فَأَخَذَ كُلُّ رَجُلٍ مِنْهُمْ مَجْلِسًا لِيَسْتَمِعَ مِنْهُ، وَكُلٌّ لَا يَعْلَمُ بِمَكَانِ صَاحِبِهِ، فَبَاتُوْا يَسْتَمِعُوْنَ لَهُ، حَتّٰى إِذَا أَصْبَحُوْا وَطَلَعَ الْفَجَرُ تَفَرَّقُوْا فَجَمَعَهُمُ الطَّرِيْقُ فَتَلَاوَمُوْا، وَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: لَا تَعُوْدُوْا، فَلَوْ رَأَكُمْ بَعْضُ سُفَهَائِكُمْ لَأَوْقَعْتُمْ فِيْ نَفْسِهِ شَيْئًا. ثُمَّ انْصَرَفُوْا. حَتّٰى إِذَا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الثَّانِيَّةُ عَادَ كُلُّ رَجُلٍ مِنْهُمْ إِلٰى مَجْلِسِهِ، فَبَاتُوْا يَسْتَمِعُوْنَ لَهُ حَتّٰى إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ تَفَرَّقُوْا فَجَمَعَهُمُ الطَّرِيْقُ، قَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ مِثْلَ مَا قَالُوْا أَوَّلَ مَرَّةٍ ثُمَّ انْصَرَفُوْا، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الثَّالِثَةُ أَخَذَ كُلُّ رَجُلٍ مِنْهُمْ مَجْلِسَهُ فَبَاتُوْا يَسْتَمِعُوْنَ لَهُ حَتّٰى إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ تَفَرَّقُوْا فَجَمَعَهُمُ الطَّرِيْقُ، فَقَالُوْا لَا نَبْرَحُ حَتّٰى نَتَعَاهَدَ أَنْ لَا نَعُوْدَ. فَتَعَاهَدُوْا عَلٰى ذٰلِكَ ثُمَّ تَفَرَّقُوْا، فَلَمَّا أَصْبَحَ الْأَخْنَسُ بْنُ شَرِيْقٌ أَخَذَهُ عَصَاهُ ثُمَّ خَرَجَ حَتّٰى أَتٰى أَبَا سُفْيَانٍ فِيْ بَيْتِهِ، فَقَالَ: أَخْبِرْنِيْ يَا أَبَا حَنْظَلَةَ عَنْ رَأْيِكَ فِيْمَا سَمِعْتَ مِنْ مُحَمَّدٍ. فَقَالَ: يَا أَبَا ثَعْلَبَةَ، وَاللهِ لَقَدْ سَمِعْتُ أَشْيَاءً أَعْرِفُهَا وَأَعْرِفُ مَا يُرَادُ بِهَا. فَقَالَ الْأَخْنَسُ: وَأنَا وَالَّذِيْ حَلَفْتَ بِهِ. ثُمَّ خَرَجَ مِنْ عِنْدِهِ حَتّٰى أَتٰى أَبَا جَهْلٍ فَدخَلَ عَلَيْهِ بَيْتَهُ فَقَالَ: يَا أَبَا الْحَكَمِ، مَا رَأْيُكَ فِيْمَا سَمِعْتَ مِنْ مُحَمَّدٍ؟ فَقَالَ: مَاذَا سَمِعْتُ؟ تَنَازَعْنَا نَحْنُ وَبَنُوْ عَبْدِ مَنَافٍ الشَّرَفَ، أَطْعَمُوْا فَأَطْعَمْنَا، وَحَمِلُوْا فَحَمِلْنَا، وَأَعْطَوْا فَأَعْطَيْنَا، حَتّٰى إِذَا تَجَاثَيْنَا عَلَى الرُّكَبِ وَكُنَّا كَفَرَسِيْ رِهَانٍ قَالُوْا: مِنَّا نَبِيٌّ يَأْتِيْهِ الْوَحْيُ مِنَ السَّمَاءِ، فَمَتٰى نُدْرِكُ هٰذِهِ؟ وَاللهِ، لَا نَسْمَعُ بِهِ أَبَدًا وِلَا نُصَدِّقُهُ. فَقَامَ عَنْهُ الْأَخْنَسُ بْنُ شَرِيْقٍ.
“Dari az-Zuhrīrh,2ia berkata: Pernah diceritakan kepadaku bahwa, pada suatu malam, Abū Jahal, Abū Sufyān, dan Akhnas b. Syarīq keluar untuk mendengarkan sesuatu dari Ḥaḍrat RasūlullāhSAW yang tengah bersalat di rumah beliau. Masing-masing dari antara ketiganya mengambil tempat tersendiri untuk mendengar dan masing-masing dari antara mereka tidak mengetahui tempat kawannya yang lain. Mereka pun bermalam guna mendengar. Ketika subuh datang dan fajar menyingsing, mereka pulang dan bertemu di jalan. Saling mencelalah seorang kepada yang lainnya di antara hingga mereka berkata: Janganlah kembali lagi! Seumpama ada seorang pandir yang melihat kalian, pastilah mereka akan curiga. Mereka pun berpaling. Akan tetapi, pada malam kedua, mereka justru kembali bermalam untuk mendengarkan, pulang, dan bertemu lagi di jalan saat fajar menyingsing. Mereka pun akhirnya berujar: Janganlah kita pulang sampai kita sama-sama berjanji untuk tidak kembali lagi! Barulah kemudian mereka berpencar. Pagi harinya, Akhnas mengambil tongkatnya dan keluar mengunjungi Abū Sufyān di rumahnya. Ia bertanya, Kabarkanlah kepadaku, wahai Abū Ḥanẓalah, tentang apa yang engkau dengar dari MuḥammadSAW! Abū Sufyān menjawab: Wahai Abū Tsa‘labah! Demi Allah! Aku telah mendengar hal-hal yang Aku pahami dan Aku pahami pula apa yang diinginkan MuḥammadSAW dengan membacanya. Akhnas menimpali: Aku setuju dengan apa yang engkau sumpahkan. Ia pun berpamit untuk menemui Abū Jahal di rumahnya. Ia bertanya: Wahai Abū-l’Ḥakam!3Apa pendapat engkau tentang apa yang engkau dengar dari MuḥammadSAW? Abū Jahal menjawab: Apa yang Aku dengar?!
Dari kedua pengikhbaran di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa rasa sombong dan ketinggian diri merupakan penghalang utama bagi seseorang untuk menerima kebenaran. Perlu diketahui bahwa nasab Ḥaḍrat RasūlullāhSAW sejatinya bertemu dengan silsilah Abū Jahal pada kakek keenam, Murrah b. Ka‘b. Nasab NabiSAW secara lengkap ialah sebagai berikut:
MuḥammadSAW b. ‘Abdullāh b. ‘Abd al-Muṭṭalib b. Hāsyim b. ‘Abd Manāf b. Quṣayy b. Kilāb b. Murrah b. Ka‘b.10
Sementara itu, silsilah Abū Jahal – yang bernama asli ‘Amrū – adalah sebagai berikut:
‘Amrū b. Hisyām b. Mughīrah b. ‘Abdullāh b. ‘Umar b. Makhzūm b. Yaqzhan b. Murrah b. Ka‘b.11
Memang, dari kedua cabang ini, keturunan Murrah dari pihak Kilāb, terutama Quṣayy, lebih mentereng dari yang lain. Sebab, menurut catatan sejarah, Quṣayylah orang yang pertama kali menyatukan urusan Quraisy, membawa mereka ke Mekkah, serta memberikan hak kelola Ka‘ah kepada mereka setelah memerangi Banī Ṣūfah – yang bertidak semena-mena dalam mengurus Baitullah – di daerah ‘Aqabah, dekat Mekkah.12 Karena sistem tribal di Arabia bersifat patriarkis, hak kepemimpinan dalam Quraisy diteruskan ke keturunan Quṣayy. Di antara keturunan Quṣayy, yakni ‘Abd ad-Dār, ‘Abd Manāf, ‘Abd asy-Syams, dan ‘Abd,13 ‘Abd Manāflah yang paling dibanggakan sehingga suatu kali Abū Ṭālib, paman NabiSAW, pernah bersenandung:
فَعَبْدُ مَنافٍ سِرُّها وَصَمِيْمُهَا
فَفِيْ هَاشِمٍ أَشْرافُهَا وَقَدِيْمُها
هُوَ المُصْطَفٰى مَنْ سِرُّها وَكَرِيُمهَا
|
إِذَا اجْتَمَعتْ يَوْمًا قُريْشُ لِمَفْخَرٍ
فَإِنْ حُصِّلَتْ أَشْرَافُ عَبْدِ مَنافِهَا
فَإنْ فَخِرَتْ يَوْمًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا
|
“Bila Quraisy suatu hati berkumpul untuk saling membanggakan, ‘Abd Manāflah rahasia dan intisarinya.
Jika diperas lagi orang-orang yang termulia dari ‘Abd Manāf, dalam Hāsyimlah terdapat orang-orang termulia dan terdepannya.
Andai mereka suatu hari berbangga-bangga, MuḥammadSAW-lah yang terpilih sebagai inti dan budiawannya.”14
Sementara itu, Banī Makhzūm – yang darinya Abū Jahal lahir – telah berupaya semaksimal mungkin sepanjang zaman untuk menyamai prestise dan privilese yang diperoleh Banī ‘Abd Manāf dan keturunan Quṣayy lainnya. Namun, ketika mereka telah berdiri sejajar, tiba-tiba saja ada seorang nabi yang dibangkitkan di tengah-tengah Banī ‘Abd Manāf. Jelaslah bahwa orang yang hanya memikirkan kemuliaan dan kemegahan diri seperti Abū Jahal tidak dapat menerimanya sebab ia dengan arif mengetahui bilamanakah akan datang seorang nabi dari kalangan Makhzūm.
Meskipun demikian, kebenaran tetaplah kebenaran. Abū Jahal sendiri pun tak kuasa menyembunyikannya. Ia yang berusia sebaya dengan MuḥammadSAW terpaksa mengakui bahwa sosok yang tidak pernah berdusta kepada sesama manusia sepanjang hidupnya itu tidak mungkin berbohong kepada Tuhannya. Benarlah apa yang disabdakan pecinta hakiki MuḥammadSAW, Aḥmadas, yang bergelar Masīḥ Mau‘ūd:
قَــدْ كـَذَّبـُوْهُ تَـمَـرُّدَا
إِنْـكَـارَهُ لَــمَّـا بَــدَا
|
اَلـظَّالِـمُـوْنَ بِظُـلْـمِـهِمْ
وَالْـحَـقُّ لَا يـَسَـعُ الوَرَى
|
“Orang-orang yang aniaya dengan keaniayaan mereka,
Telah mendustakan beliau karena kecongkakan.
Namun, kebenaran adalah bahwa tak ada manusia yang kuasa,
Ingkar akan beliau ketika beliau muncul.”15
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ مُحَمَّدٍ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Selasa, 31 Januari 2017
Yang Lemah
R. Iffat Aulia Ahmad Argawinata
—0—
Bibliografi
1 Imam al-Baihaqīrh dalam suatu kesempatan membawakan riwayat sebagai berikut:
“Dari Ḥaḍrat ‘Abdullāh b. Mas‘ūdra, beliau berkata: Aku mendatangi Nabi SuciSAW pada hari Perang Badar. Aku berkata kepada beliau: Aku telah berhasil membunuh Abū Jahal. Beliau pun bertanya: Demi Allah yang tidak tidak ada tuhan selain-Nyakah ini? Aku jawab: Demi Allah yang tidak ada tuhan selain-Nya sebanyak dua atau tiga kali. Beliau pun berujar: Allah Mahabesar. Segala puji bagi Allah yang telah membenarkan janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan menghancurkan sekutu-sekutu itu dengan bersendirian. Kemudian, beliau berkata: Marilah kita pergi untuk melihatnya! Kami pun pergi dan melihatnya. Beliau lalu berkomentar: Inilah Firaun bagi umat ini.”
Lihat: Abū Bakr al-Baihaqī, Dalā’il an-Nubuwwah wa Ma‘rifat Aḥwāl Ṣāḥib asy-Syarī‘ah, vol. 3 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988 M/1408 H), hlm. 88.
2 Nama lengkapnya adalah Muḥammad b. Muslim b. ‘Ubaidullah, berasal dari suku Zuhrah sehingga mendapat nasab az-Zuhrī. Salah satu nama pendahulunya yang paling terkenal adalah Syihāb sehingga sering juga dipanggil Ibnu Syihāb. Menurut Khalīfah b. Khayyāṭrh (w. 240 H), salah seorang ahli tarikh ternama Islam, az-Zuhrīrh lahir pada 51 H dan wafat pada 124 H dalam usia 72 tahun. Beliau tergolong dalam kalangan tabiin karena pernah bertemu sepuluh orang Sahabat NabiSAW. Beliau sendiri meriwayatkan sekitar 2.000 hadis. Ibnu Minjawaihrh (w. 428 M), muhadis besar dan masyhur asal Isfahan, Persia, mengatakan bahwa az-Zuhrīrh adalah salah satu pakar hadis yang paling hafiz pada zamannya dan yang paling paham akan siyāq atau konteks berbagai riwayat.
Lihat: Jamāl ad-Dīn Yūsuf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ ar-Rijāl, vol. 26 (Beirut: Mu’assasat ar-Risālah, 1992 M/1413 H), hh. 419-420, 432, 440-441.
3 Abū-l’Ḥakam adalah julukan bagi Abū Jahal semasa Jahiliyah yang artinya ialah ‘Bapak Kebijaksanaan’. Pada waktu itu, Abū Jahal adalah orang yang cerdas dan dikagumi oleh orang-orang Quraisy atas pendapat-pendapatnya yang cemerlang di Dār an-Nadwah, semacam tempat musyawarah bagi para petinggi kaum. Ketika Islam datang, Abū Jahal menjadi orang yang paling keras menentang Nabi Suci MuḥammadSAW dan para pengikut beliau hingga ada beberapa orang dari antara mereka yang mereguk cawan kesyahidan di tangannya. Oleh sebab itu, ia digelari oleh kaum muslimin sebagai Abū Jahal, yakni ‘Bapak Kebodohan’.
4 ‘Allāmah Ibnu Katsīr, al-Bidāyah wa an-Nihāyah, vol. 4 (Kairo: Hijr, 1997 M/1417 H), hh. 160-161.
5 Ḥijābah adalah kehormatan untuk menutupi bangunan Ka‘bah dengan kain kiswah.
6 Siqāyah adalah kehormatan untuk memberi minum para pehaji saat musim haji.
7 Nadwah adalah kehormatan untuk menyediakan tempat berkumpul dan berbahas bagi para pemuka Quraisy di daerah yang dekat dengan Ka‘bah.
8 Liwā’ adalah kehormatan untuk membawa bendera perang Quraisy pada waktu perang.
9 ‘Allāmah Ibnu Katsīr, op. cit., hlm. 162.
10 Ibnu Hisyām, as-Sīrah an-Nabawiyyah, vol. 1 (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1990 M/1410 H), hh. 11-14.
11 Ibid, hlm. 297.
12 Ibid, hlm. 142.
13 Ibid, hlm. 136.
14 Ibid, hlm. 302.
15 Ḥaḍrat Mīrzā Ghulām Aḥmadas, Karamāt aṣ-Ṣādiqīn (Surrey: Al-Shirkatul Islamiyyah, 2007), hlm. 8.
Jazakumullah