Kebenaran Hz. Mirza Ghulam Ahmad as. Ditinjau dari Ayat ولو تقوّل علینا بعض الاقاویل  Bagian 1

Kebenaran Hz. Mirza Ghulam Ahmad as. Ditinjau dari Ayat ولو تقوّل علینا بعض الاقاویل Bagian 1


Oleh : Arif Rahman Hakim
ہے کوئی کاذب جہاں میں لاؤ لوگو کچھ نظیر

میرے جیسی جس کی تائیدیں ہوئی ہوں بار بار

(حضرت مسیح موعودؑ)

Adakah seorang pendusta di dunia ini wahai orang-orang

yang didukung oleh Tuhan berkali-kali sebagaimana Dia mendukung dan menolongku.

            Semenjak dunia diciptakan, nabi-nabi pilihan Allah Ta’ala terus berdatangan untuk menyampaikan pesan-pesan Ilahi. Mereka adalah nur Ilahi dan sahabat manusia dikala susah. Sebagaimana hukum alam yang berlaku bahwa ketika kebaikan datang tentunya keburukan akan berusaha untuk menghalangi. Begitu juga nabi, tentu selalu ada penentang yang mengingkarinya dan berusaha memadamkan cahaya Ilahi yang dibawa nabi tersebut. Sudah menjadi sunatullah yang terpatri dalam Kitab Samawi bahwa seorang utusan atau nabiullah tidak akan diterima begitu saja oleh manusia bahkan mereka akan dikatakan sebagai seorang pendusta, penipu bahkan dajjal. Perilaku-perilaku zhalim pun akan mereka terima, caci makian, di usir dari kampung halaman sendiri, dilemapari bebatuan, dikatakan orang gila, dan lain sebagainya. Namun, pada akhirnya Tuhan akan selalu melindungi mereka dan mengazab para musuhnya. Tanda-tanda Ilahi, mukjizat yang menunjukkan kebesaran Allah Ta’aala beserta karunia-karunia Ilahi menjadi saksi agung atas kebenaran mereka.

            Allah Ta’aala telah menetapkan perbedaan antara orang-orang yang benar dengan para pendusta, sehingga dunia dapat kembali menuju jalan yang lurus setelah tersesat dan kebenaran pun tidak lenyap karena penentangan. Ada satu tanda dari rasul-rasul pilihan Allah Ta’aala yakni para penentangnya akan mengajukan keberatan seperti yang dilakukan oleh para penentang nabi-nabi sebelumnya. Sebagaimana yang dikatakan di dalam Alquran Karim bahwa,

قُلۡ مَا كُنتُ بِدۡعٗا مِّنَ ٱلرُّسُلِ وَمَآ أَدۡرِي مَا يُفۡعَلُ بِي وَلَا بِكُمۡۖ

“Katakanlah, “Aku bukan rasul baru di antara rasul-rasul, dan tidak pula aku mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku atau terhadapmu.”

(Q.S. Al-Ahqaf: 10)

Dalam ayat yang lainnya,

مَّا يُقَالُ لَكَ إِلَّا مَا قَدۡ قِيلَ لِلرُّسُلِ مِن قَبۡلِكَۚ إِنَّ رَبَّكَ لَذُو مَغۡفِرَةٖ وَذُو عِقَابٍ أَلِيمٖ

“Tiada sesuatu pun yang dikatakan terhadap engkau melainkan apa yang telah dikatakan terhadap rasul-rasul sebelum engkau. Sesungguhnya Tuhan engkau Yang Memiliki ampunan dan juga Pemilik azab yang pedih.”

(Q.S. Ha Mim As-Sajdah: 44)

Inilah contoh dari para penentang seorang nabi yang setiap zaman pasti akan selalau ada, walaupun keberatan-keberatan yang mereka keluarkan sudah terbukti salah sebelumnya.

Berdasarkan standar Alqur’an inilah kembali terulang bahwa tuduhan-tuduhan atau keberatan-keberatan serupa (yang dahulu terjadi terhadap nabi-nabi sebelumnya) pun ditujukan kepada Hdh. Mz. Ghulam Ahmad Qadiani as.

            Penulis buku “Asyarah Kamilah” pada Bab Pertama menyebutkan bahwa ada sepuluh nabi palsu yang mendakwakan dirinya sebagai nabi. Hasratnya menyantumkan hal demikian adalah ingin membuktikan dan menggiring pendapat publik supaya menganggap bahwa Hdh. Masih Mau’ud as. juga termasuk di antara para nabi palsu tersebut. (Na’udzubillah)Karena, sebagaimana Hdh. Masih Mau’ud as. setelah mendakwakan diri memperoleh wahyu dan ilham serta dalam masa yang panjang mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan pendakwaannya, begitu pula sebagian pendakwa palsu juga melewati masa tersebut dengan ilham-ilham palsu dah bohongnya bahkan mereka juga mendapatkan pengakuan. Seolah-olah sang penulis dengan usaha maksimal hendak membenarkan perkataan orang-orang kafir yaitu                                      ان ھٰذا إلّا اساطیر الاوّلین. Sang penulis bahkan menyampaikan tujuannya dengan menulis dalam bukunya bahwa,

“Mirza Sahib sering mengemukakan akibat dari ayat ولو تقوّل علینا بعض الاقاویل bahwa andaikata aku seorang pendusta maka aku tidak akan mendapatkan kesempatan selama 23 tahun yang serupa dengan masa kenabian Hadhrat Khatamurrasul saw. Tetapi dari ayat ini argumen beliau justru menunjukan kekeliruan, karena beberapa pendakwa palsu pun ada yang bertahan lebih dari 23 tahun, seperti Abu Manshur selama 27 tahun, Muhammad Bin Tumrat selama 24 tahun, Hasan bin Sabah selama 35 tahun, Saleh bin Tarif selama 47 tahun, Akbar Badsyah-e-Hind selama 25 tahun, dan lain-lain. Ada juga masa kenabian dari beberapa nabi sebenarnya yang kurang dari 23 tahun, seperti Hdh. Zakariya as. dan Hdh. Yahya as. Katakanlah kalau dalil Mirza Sahib ini benar maka beliau telah dinyatakan kufur atas pendakwaan kenabian sebelum tahun 1901, sedangkan beliau telah mendakwakan diri pada tahun tersebut kemudian meninggal setelah tujuh tahun yaitu pada tahun 1908, maka secara hitungan beliau tidak sampai 23 tahun menjadi nabi. Ayat ini pun termasuk ke dalam ayat makkiyah di mana Hdh. Rasulullah saw. tinggal hanya selama 13 tahun setelah mendakwakan kenabian di Mekkah, lalu bagaimana bisa dalil 23 tahun bisa berlaku kepada orang-orang kafir Mekkah.” (Catatan Kaki, hal. 20-21)

            Alih-alih ingin membuktikan ayat tersebut keliru jika dijadikan dalil, sang penulis buku ‘Asyarah Kamilah’ tersebut malah berkontradiksi dengan akidahnya sendiri dengan menulis bahwa,

“Tidak disebutkan di manapun dalam Alqur’an Suci bahwa seorang pendusta akan dibinasakan dengan cepat. Orang-orang yang berdusta atas nama Tuhan sebagian begitu cepat dibinasakan dan sebagian lagi ada yang pada mulanya sangat miskin, kemudian setelah berdusta atas nama Allah bahkan menjadi seorang raja dan sampai beberapa masa mereka terus menyebarkan kedustaannya melalui kerajaannya. Itulah mengapa Abdullah Sahib Afrika, Ibnu Tumarat, Saleh bin Tarif setelah mendakwakan kenabian dan mengaku menerima wahyu, mereka bertiga menjadi raja dan menjalankan kerajaannya sampai beberapa periode. Pemerintahan dan kerajaan mereka pun bisa bertahan sampai masa yang lama bersamaan dengan keturunan dan umat mereka. Sedangkan keadaan nabi-nabi yang haq malah sebagian dengan cepat disyahidkan oleh musuh-musuh mereka, seperti Hdh. Yahya as., Hdh. Zakariya as., sedangkan yang lain terus menyampaikan petunjuk-petunjuk dalam jangka waktu yang lama.” (Asyarah Kamilah, Hal. 70)

            Jadi, kesimpulan dari dua pernyataan Munshi Sahib adalah,

1.                  Dari ayat ولو تقوّل علینا بعض الاقاویل, standar 23 tahun tidak terbukti karena beberapa pendusta ada yang bertahan lebih dari 23 tahun, seolah-olah mafhum ayat Qurani ini bertentangan dengan peristiwa-peristiwa sejarah.

2.                  Kemudian zaman dari beberapa nabi yang sebenarnya bahkan ada yang kurang dari 23 tahun, seperti Hdh. Yahya as., dan lain-lain.

3.                  Walaupun dengan membenarkan standar 23 tahun tersebut, kebenaran Hdh. Mz. Sahib tidak bisa dibuktikan. Karena beliau hanya mendapat kesempatan selama tujuh tahun dan ayat tersebut pun merupakan ayat makkiyah di mana Rasulullah saw. tidak tinggal setelah pendakwaan sebagai nabi di Mekkah selama 23 tahun.

 

                    I.                        Ayat ولو تقوّل علینا بعض الاقاویل  dan Standarnya

           

Alqur’an adalah hukum mutlak yang kuat. Tak ada satu pun ilmu di dunia ini yang mampu menemukan kesalahannya. Sebagaimana, Allah Ta’aala berfirman,

لَّا يَأۡتِيهِ ٱلۡبَٰطِلُ مِنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَلَا مِنۡ خَلۡفِهِۦۖ تَنزِيلٞ مِّنۡ حَكِيمٍ حَمِيدٖ  

“Kebatilan tidak dapat mendekatinya baik dari depannya maupun dari belakangnya. Diturunkan dari Yang Mahabijaksana, Mahaterpuji.”

(Q.S. Ham Mim As-Sajdah: 43)

Filsafat tidak berarti apa pun jika dihadapkan dengan hikmah Alqur’an walaupun seluruh prinsipnya disatukan. Begitu juga sejarah dengan riwayatnya tidak berarti apa pun di hadapan penjelasan-penjelasan Alqur’an. Oleh karena itu, bukanlah Alqur’an yang disenadakan dengan peristiwa-peristiwa/ riwayat-riwayat sejarah melainkan sebaliknya, mafhum harus benar sesuai dengan firman-firman Rabbul ‘Aalamiin. Ketika menafsirkan Alqur’an bukanlah berdasarkan keinginan atau pendapat pribadi karena من فسّر القرآن برأیہ فقد کفر   , yaitu barangsiapa yang menafsirkan Alqur’an dengan pendapatnya sendiri maka sesungguhnya dia telah kafir, melainkan menafsirkan Alqur’an itu berdasarkan القرآن یفسّر بعضہ بعضًا yakni Alqur’an sebagiannya itu menafsirkan sebagian lainnya.

            Pertama sebagai dasarnya, kita hendaknya melihat apa sebab ayat itu berlawanan. Jika dari ayat itu standar 23 tahun terbukti kebenarannya maka keberatan-keberatan dari yang berkeberatan bukan lagi kepada Hadhrat Masih Mau’ud as. melainkan kepada Rasulullah saw. sedangkan apabila standar ini tidak terbukti maka keberatan selesai. Allah Ta’aala berfirman dalam surah Al-Haqqah ayat 45-48 yaitu,

 

 وَلَوۡ تَقَوَّلَ عَلَيۡنَا بَعۡضَ ٱلۡأَقَاوِيل لَأَخَذۡنَا مِنۡهُ بِٱلۡيَمِينِ   ثُمَّ لَقَطَعۡنَا مِنۡهُ ٱلۡوَتِينَفَمَا مِنكُم مِّنۡ أَحَدٍ عَنۡهُ حَٰجِزِينَ

“Dan sekiranya ia menada-adakan sebagian perkataan atas nama Kami, niscaya Kami akan menangkapnya dengan tangan kanan. Kemudian, tentulah Kami memotong urat nadinya. Maka tidak ada seorang pun di antaramu dapat mencegah darinya.”

Dalam ayat ini, untuk orang-orang kafir dibuat sebuah standar yang sangat hebat dan tidak memberikan sedikit kesempatan pun untuk berkutik bahwa jika seorang pendakwa berdusta dengan mengatasnamakan Tuhan maka seketika itu pula Tuhan akan memegang erat dia dan mencabut nyawanya, sehingga dia tidak bisa mendapatkan sedikit pun kesempatan. Maka dari itu, bagi mereka yang mendapat kesempatan dan selamat dari maut merupakan sebuah dalil yang sangat mantap bahwa dia tidaklah berdusta.

            Kemudian muncul anggapan bahwa Hdh. Masih Mau’ud as. diselamatkan oleh pemerintah Inggris. Berkenaan dengan ini pun perlu diingat dan menelaah kembali ayat di atas bahwa walaupun seluruh isi dunia ini bersatu untuk melindungi seorang pendusta, maka dia tidak akan pernah bisa lolos dari murka Allah Ta’alaa.

           

                  II.                        Sepuluh Rujukan dari Para Mufassir

 

Untuk membuktikan ini, Mln. Abul ‘Ata Jalandhari mengemukakan sepuluh (10) rujukan dari para mufassir;

1.                  Allamah Fakhruddin Razi, menulis dalam tafsir beliau ‘Tafsir Kabir’bahwa:

 


 

“Dalam ayat ini dikemukakan contoh keadaan seseorang pendusta/penipu bahwa Raja akan memperlakukan orang-orang yang berdusta atas namanya, yaitu dia tidak akan memberikannya kesempatan melainkan pada saat itu juga akan membunuhnya.” (Tafsir Kabir, jilid 8, hal. 205, cetakan Mesir)

(Inilah juga yang akan terjadi jika berdusta atas nama Allah).

Kemudian beliau bersabda,

 


“Berdasarkan hikmah Allah Ta’aala perkara ini penting dan harus terjadi supaya keadaan orang-orang yang benar tidak disamakan dengan para pendusta.” (Tafsir Kabir, Jilid 8, hal. 206)

Pada penafsiran ini tentunya Allamah Fakhruddin Razi menggunakan metode-metode penafsiran yang sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran dan bukan hasil dari pemikiran atau pendapat beliau sendiri. Sehingga secara akal/ rasional pun hal ini dapat diterima.

2.                  Imam Abu Ja’far Thabri, dalam buku tafsir beliau “Tafsir Ibnu Jarir” menulis bahwa,

 

“Andaikata Rasulullah saw. berdusta/mengada-adakan perkataan atas nama Kami, maka Kami akan memegangnya dengan kuat dan kemudian memutus urat kehidupannya (nadi). Yakni Allah Ta’aala akan segera menghukum beliau saw. dan tidak akan membiarkan sedikit pun kesempatan.” (Tafsir Ibnu Jarir, Jilid 29, hal. 42, cetakan Mesir)

 

3.                  Allamah Zamkhasyri rh., bersabda dalam tafsir beliau “Tafsir Kasyaf” bahwa,

 

 

“Jikalau pendakwa ini mengada-adakan perkataan atas nama Kami, maka Kami dengan segera membalasnya dan mencabut nyawanya seperti seorang raja yang melakukan serupa jika ada yang berbohong mengatasnamakan dia.” (Tafsir Kasyaf, hal. 1524, cetakan Kolkata)

 

4.                  Allamah Syeikh Ahmad Shawi, menulis dalam tafsirnya “Tafsir Shawi ‘Ala Al-Jalalain” bahwa,

 

“Jika dia mengada-adakan atas nama Kami maka sesegera mungkin Kami bertindak untuk mencabut nyawanya.” (Tafsir Shawi ‘Ala Al-Jalalain, Jilid 4, hal. 238)

5.                  Dalam Tafsir Ibnu Katsir yang tercantum pada Jilid 10 halaman 71 pada catatan kaki Fath al-Bayan bahwa,

 

“Jika rasul ini mengada-ada suatu perkataan dari dirinya kemudian menisbahkan itu dari Kami (Tuhan) maka Kami akan segera menghukumnya.”

 

6.                  Dalam Tafsir Ruhul Bayan yang tercantum dalam jilid 4 halaman 462, bahwa:

“Dalam ayat ini ولو تقوّل علینا  dijelaskan bahwa Rasulullah saw., jika mengada-adakan suatu dari dirinya sendiri atau mengurangi dan melebihkan satu huruf pun dari wahyu Kami, maka Allah Ta’aala akan menghukumnya dengan berat. Rasulullah saw. adalah wujud yang paling mulia di hadapan Allah Ta’aala, maka jika kepada beliau saja syarat seperti ini diberlakukan maka bagaimana bisa seorang pendusta bisa selamat.”


7.                   Allamah Sayuti Raqamthraz, bersabda bahwa:

قطع الوطین  maksudnya adalah kematian, karena الوطین  adalah nama dari urat nadi di hati (jantung). Ketika itu terputus maka manusia pasti akan mati.” (Jalalain Matba’ul Mujtabai, hal. 470)


8.                  Dalam Fath al-Bayan jilid 10 halaman 47 ditulis bahwa,

 

“Makna dari ayat ini adalah jika dia berbohong maka Kami dengan segera akan membinasakannya sebagaimana seorang raja melakukan hal yang sama terhadap orang-orang yang seperti itu, yang berbohong/menipu atas namanya.”

 

9.                  Syihab menulis dalam kitabnya “Syihab ‘Ala al-Baydhawi” jilid 8 halaman 241, bahwa:

 

“Dalam ayat قطع الوطین dan sebagainya, kebinasaaan seorang pendusta adalah ketika diperlihatkan di hadapan matanya sesuatu yang paling mengerikan yang Sang Pemilik Masa berikhtiar untuknya karena Dia murka kepada mereka dan Dia akan memegang urat seorang pendusta dengan tangan kanannya dan mengayunkan pedang ke arah leher mereka.”

 

10.              Allamah al-Khathib al-Syabini bersabda dalam tafsirnya “Al-Siraj al-Munir”jilid 4 halaman 363, bahwa:

 

“Imam Suddi dan Muqatil r.a. bersabda bahwa اخذنا منہ بالیمین  maksudnya adalah bahwa sesungguhnya Kami akan membalas/menghukum seorang pendusta dan ‘tangan kanan’ di sini bermakna kebenaran.”

            Jadi nampak dari beberapa referensi tafsir di atas bahwa menurut para mufassir, hukuman bagi seorang pendusta dalam ayat ini jelas, yaitu dia sedikit pun tidak akan mendapatkan kesempatan, sebagaimana lamanya jangka waktu Rasulullah saw. menyampaikan dakwa beliau yaitu 23 tahun. Akan tetapi, dia akan dibinasakan sesegera mungkin dan anak keturunannya pun akan dimusnahkan. Para mufassir pun telah sependapat berkenaan dengan ini. Masih banyak lagi referensi-referensi tafsir yang menafsirkan ayat         ولو تقوّل علینا بعض الاقاویل  ini. Bagaimana pun juga para mufassir telah sepakat atas perkara ini bahwa dalam ayat ini disampaikan standar kehancuran dan kebinasaan para pendusta dan Allah Ta’aala tidak akan memberikan kesempatan selama 23 tahun kepada pendakwa ilham palsu.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *