Kausalitas Cinta

نحمده ونصلي على رسوله الكريم
بسم الله الرحمن الرحيم
وعلى عبده المسيح الموعود

Kausalitas Cinta


Wanderer above the Sea of Fog, Caspar David Friedrich, Wikipedia

Humberto Maturana, biologiawan kognitif asal Chile, pernah menjuluki manusia sebagai Homo sapiens-amans ‘makhluk penimbang nan pecinta’. Hal ini, sebagaimana ia nyatakan dalam The Origin of Humanness in The Biology of Love, merupakan suatu warisan genetis, anatomis, dan fisiologis selaku hasil dari evolusi. Oleh karena itu, katanya, tidak mengherankan bahwa bocah-bocah kecil yang masih lugu bersikap sangat ramah dengan orang-orang di sekitarnya. Bahkan, mereka juga ahli dalam mendeteksi perasaan orang lain. Apabila seorang bocah mendapati kakaknya melakukan kebohongan emosional, kepercayaannya kepada sang kakak seketika menghilang. Lantas, hubungan antara adik dan kakak itu akan terkikis dan akhirnya akan terdisintegrasi.
Kejadian di atas juga berlaku pada hubungan yang bersifat hierarkis. Manusia secara ekologis adalah populasi dengan pola penyebaran berkelompok. Layaknya hewan lain, manusia mengangkat pemimpin untuk mengatur urusan-urusan kelompoknya. Hanya saja, tiap individu manusia memiliki free will untuk melakukan hal-hal yang ia inginkan dengan bebas, apakah itu baik atau buruk, sedangkan hewan tidaklah demikian. Sayangnya, ketika dibarengi dan disokong kekuasaan, free will cenderung disalahgunakan untuk hal-hal yang buruk, tepat seperti kata Lord Acton, “Power tends to corrupt.” Syahdan, bila penyalahgunaan itu terjadi, manusia akan bertransformasi menjadi Homo sapiens-arrogans ‘makhluk penimbang yang hanya mementingkan diri sendiri’ atau Homo sapiens-aggressans ‘makhluk penimbang yang siap menyerang’. Orang-orang yang tadinya menaruh kepercayaan kepada sang pemimpin pun akan merasa jengkel dan terkhianati. Akhirnya, mereka akan mencabut kepercayaan tersebut sehingga terciptalah kekacauan sosial.
Dalam sejarah, setidaknya sejarah nasional, kita dapat menyaksikan pengejawantahan hal di atas dengan gamblang. Sekecil apapun ego yang merasuk ke dalam otak dan hati, akan terjatuh seorang pemimpin dibuatnya. Bung Karno adalah contoh yang patut diketengahkan. Siapa yang mampu mengingkari jasa perjuangan Sang Proklamator untuk rakyat Indonesia? Namun, bersebab superiority complex yang dilandasi ego pribadi, Putra Sang Fajar mencetuskan Manipol-Usdek pada 1959 yang berujung pada pengangkatan beliau sebagai presiden seumur hidup dan terbentuknya Resopim pada pertengahan 1963. Kebijakan-kebijakan tersebut memiliki implikasi jelek yang tidak sepele. Soe Hok Gie, misalnya, melukiskan kisah seseorang yang terpaksa memakan kulit mangga karena begitu laparnya, padahal Istana hanya 2 km jaraknya. “Paduka kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istrinya yang cantik,” tulis Gie. Tidak hanya itu, ekonomi terpimpin pun secara keseluruhan mengalami kegagalan karena inflasi yang terlalu besar. Peristiwa-peristiwa ini memicu ketidakpercayaan masyarakat yang masif kepada Pemerintah. Protes-protes, terutama dari kalangan mahasiswa, menyeruak dan memuncak dalam bentuk Tritura 1966. Akibatnya, bintang Soekarno menukik drastis hingga akhirnya tenggelam. Pasca G-30S/PKI atau Gestapu dalam istilah beliau, Soekarno secara de facto tidak lagi merupakan presiden Republik Indonesia hingga akhirnya resmi dilengserkan pada 1967.
Nasihat untuk Stakeholders

Stakeholders alias para pemegang tampuk kekuasaan hendaknya belajar dari pengalaman sejarah. Mengutip Benjamin Franklin, “Experience is the best teacher.” Tidak dimungkiri bahwa motivasi mereka menjadi penjabat pasti didasari rasa cinta kepada sesama, rasa peduli terhadap penderitaan orang lain sesuai dengan fitrah Homo sapiens-amans mereka. Akan tetapi, sepercik kekuasaan dapat mengubah kepribadian seseorang. Sangat disayangkan, inilah yang acapkali terjadi. Untuk menangkal penyelewengan kekuasaan, para penguasa harus terus melestarikan – mengonservasi, menurut terma Maturana – esensi kemanusiaan mereka selaku Homo sapiens-amans. Dengan demikian, gambaran menakutkan Homo sapiens-arrogans atau Homo sapiens-aggressans tidak termanifestasikan dalam diri mereka.

Pertanyaannya, bagaimana cara yang mesti ditempuh stakeholders untuk melestarikan fitrah amans mereka? Cara yang paling sederhana ialah dengan tidak menjaga jarak dengan rakyat. Alih-alih menjaga jarak, stakeholders harus terus menyambung silaturahmi dengan rakyat, turun ke jalan untuk mendengarkan dan menampung keluh-kesah rakyat, serta mengadvokasi permasalahan-permasalahan rakyat sampai ke tingkat di mana mereka menjabat. Mereka pun hendaknya melakukan open house, tidak hanya pada masa lebaran atau hari-hari besar lainnya, tetapi rutin dan periodik sebagai suatu the way of saying bahwa, “Kami tidak menyia-nyiakan amanah kalian.” Jika hal-hal ini dilaksanakan, rakyat akan sangat senang karena merasa dihargai. Bagi seorang rakyat jelata, melihat seorang pejabat saja sudah menjadi kebanggaan tersendiri, apalagi jika mereka duduk dan makan bersama dengan pejabat itu. Sepulang dari kediaman atau kantor sang pejabat, ia akan mulai memberitahukan dan mempromosikan kebaikan pejabat tersebut kepada orang-orang di lingkungannya. Pemberitahuan dan promosi tadi akan berdampak amat bagus ketika telah viral lalu mengena hati masyarakat secara umum. Impresi baik timbul dan kepercayaan muncul. Dengan demikian, program-program yang telah dicanangkan sang pejabat dapat berjalan mulus karena mendapat kepercayaan dan dukungan dari masyarakat.

Pada era sekarang, kausalitas cinta antara stakeholders dan rakyat mereka di Bumi Pertiwi ini adalah sesuatu yang amat nadir. Akan tetapi, hal itu bukanlah imaji utopis. Kausalitas cinta antara kedua pihak tersebut amat mungkin terwujud. Di sini, Pemerintah Pusat memainkan peran yang sentral. Sekali Pak Jokowi dan jajaran kabinet beliau mengimplementasikannya, efek domino adalah keniscayan selanjutnya. Bukankah manusia paling cepat meniru yang lain? Bahkan, peniruan manusia tidak hanya sebatas produksi-ulang dari aksi yang ditiru layaknya simpanse, tetapi ia juga mampu mengemasnya menjadi lebih baik. Oleh karena itu, mari, Pak Jokowi, kita dengungkan bersama-sama: n
ow or never!

—0— 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *