Ahmadiyah dan Pancasila : Dua Hal yang Beriringan

Ahmadiyah dan Pancasila : Dua Hal yang Beriringan

Oleh : Mawahibur Rahman
(Gambar : Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Ir. Soekarno, dalam suatu kesempatan menerima Al-Qur’an terbitan Ahmadiyah, yang diberikan oleh Mln. Sayyid Shah Muhammad Al-Jaelani, seorang Muballigh Ahmadiyah)
Tanggal 1 juni ini pemerintah secara resmi sudah menetapkan sebagai hari lahir Pancasila. Keputusan yang diresmikan sekitar 4 tahun yang lalu itu diambil di tengah dialegtika yang sedang hangat saat itu mengenai  sampai dimanakah urgensi penerimaan pancasila sebagai ideologi final bernegara kita. Dalam iklim demokrasi memang dialegtika adalah sesuatu yang niscaya terjadi, tetapi tentunya dialegtika itu haruslah dilandasi dengan niat dan cara yang baik, sehingga menghasilkan konklusi yang sehat.
Jemaat Muslim Ahmadiyah sebagai salah satu ormas Islam awal di Indonesia[1]yang masih eksis hingga saat ini, tentu merasakan betul bagaimana sejarah panjang tumbuh kembang dialegtika Pancasila.  Islam Ahmadiyah dan Pancasila telah bersama – sama telah melewati labirin waktu yang sangat panjang dengan segala lika-liku dan terjalan yang ada. Saat ini di tahun 2020, ketika Jemaat Ahmadiyah Indoesia (setelahnya disingkat JAI)  telah hampir memasuki usianya yang seabad, dan Pancasila telah melewati ¾ abad perjalanannya. Maka tulisan ini berusaha menengok jauh ke belakang, untuk melihat bagaimana dengan begitu luar biasanya JAI begitu mengejawantahkan nilai-nilai luhur Pancasila baik secara pemikirian ataupun secara amalan.
Ahmadiyah dan Kemerdekaan NKRI
Kelahiran Pancasila pada 1 Juni 1945[2]adalah janin besar yang sudah diujung usia kelahirannya, hingga terlahirlah putra yang bernama Negara Kesatuan Republik Indoesia pada tanggal 18 Agustus 1945[3]. Artinya Pancasila dan kemerdekaan adalah putra perjuangan yang dilahirkan dari janin yang sama, yaitu janin kesadaran akan negara yang berdaulat dan berkemanusian. Perjuangan dan penjagaan terhadap kemderdekaan adalah perjuangan dan penjagaan terhadap Pancasila itu sendiri. Dalam konteks ini JAI terus mengawal dan membantu perjuangannya, dimulai dari pembuahan janin  lewat gagasan kemerdekaan, kemudiaan penjagaan janin lewat perjuangan mendapatkan kemerdekaan, kelahiran janin lewat momen proklamasi Indonesia hingga perawatan janin yang baru lahir lewat perjuangan mempertahanan kedaulatan kemerdekaan. Tema ini sebenarnya bisa menjadi satu tulisan sendiri yang cukup panjang, tetapi penulis dalam uraian ini akan menuliskan gambaran singkatnya saja.
1.                 Ahmadiyah dan Gagasan Kemerdekaan
Dalam hal ini para tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan seperti  seperti Bung Karno, Sultan Syahrir, bahkan Tan Malaka pernah mendatangi Mln. Rahmat Ali (Mubaligh Ahmadiyah pertama di Indonesia) untuk mendiskusikan berbagai hal. Juga di masa lalu, Haji Agus Salim sering merekomendasikan orang-orang yang ingin mendalami Islam agar datang ke mesjid Ahmadiyah di Gang Petojo – Jakarta[4]. Dalam diskusi-diskusi itu dibahas tentang Islam, Nasionalisme dan Tatanan Dunia Baru yang menjadi salah satu insipriasi akan gagasan tentang kemerdekaan. Terlebih Soekarno sebagai Founding Father Proklamasi memiliki hubungan yang erat dengan Ahmadiyah hingga dituangkan menjadi satu bab khusus dalam buku fenomenal beliau berjudul Dibawah Bendera Revolusi[5]
2.                 Ahmadiyah dan Perjuangan Kemerdekaan
Dalam hal ini saya akan kutipkan tulisan mubaligh awal Ahmadiyah di Indonesia yaitu Mln. Syahid Syah Muhammad Al-Jaelani :
Pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia dan serentak menyusun pemerintah Republik Indonesia. Dalam pada itu Tentara Sekutu yang diwakili oleh Balatentara Inggris mendarat di kota Surabaya dengan tugas melucuti senjata balatentara Jepang. Belanda yang merasa masih berkuasa di Indonesia mempergunakan kesempatan itu dengan membonceng Tentara Sekutu masuk ke Indonesia dengan nama NICA
Para anggota Jemaat Ahmadiyah, baik anggota biasa maupun pemimpin-pemimpinnya senantiasa ikut aktif bersama-sama rekan sebangsanya memasukkan diri dalam kancah perjuangan baik secara langsung mengangkat senjata sebagai anggota BKR-TKR ataupun sebagai lasykar-lasykar rakyat seperti TRIP dan dalam badan-badan perjuangan lainnya seperti Kowani, KNI, dan sebagainya. Ketika itu Pemerintah Republik Indonesia merasa sukar untuk melanjutkan perjuangan di ibukota Jakarta, dan oleh Presiden Sukarno ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Jogyakarta.
Ketua Hoofdbestuur  Jemaat Ahmadiyah Indonesia pada waktu itu adalah almarhum R. Mohammad Muhyiddin pegawai tinggi Kementerian Dalam Negeri, aktif dalam mempertahankan kedaulatan RI di Jakarta, pada tahun 1946 telah diangkat sebagai Sekretaris Panitia Perayaan Kemerdekaan RI yang pertama, yang sedianya juga akan memegang bendera Sang Merah Putih di muka barisan. Akan tetapi delapan hari sebelum sebelum peringatan proklamasi yang pertama itu beliau telah diculik oleh Belanda dan hingga kini hilang tak tentu rimbanya
Sebelum Balatentara NICA memasuki dan merebut kota Bandung dua orang Muballigh Ahmadiyah almarhum Abdul Wahid HA dan almarhum Malik Aziz Ahmad Khan yang pada akhir tahun 1945 bertugas di Yogyakarta telah aktif sebagai penyiar RRI untuk siaran Bahasa Urdu untuk memperkenalkan perjuangan bangsa Indonesia ke benua alit India. Juga beberapa orang Ahmadi di Padang dan Medan tidak ketinggalan mengambil bagian dalam perjuangan fisik melawan Belanda. Perlu kiranya menjadi catatan, ketika pemerintah RI memerlukan pinjaman uang dari rakyat maka anggota Jemaat Ahmadiyah telah memberikan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Sebagai contoh Jemaat Ahmadiyah Garut telah menyumbangkan sejumlah uang kepada pemerintah ketika itu.[6]
 (Gambar : Sebagian  penghargaan yang diterima para Ahmadi dalam jasanya mempertahankan kemerdekaan)
Selain itu salah satu sumbangsih terbesar Ahmadiyah bagi perjuangan kemeerdekaan adalah himbauan puasa nafal pada tahun 1946 yang disampaikan langsung oleh Khalifah[7]Ahmadiyah saat itu yaitu Hz. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad ra. Kepada para ahmadi di seluruh dunai agar kemerdekaan Indonesia bisa terus berdaulat. Lebih dari itu beliau juga memerintahkan agar seluruh mubaligh ahmadiyah di berbagai penjuru dunia yang ada di Amerika, Afrika, Eropa, Mesir dsb menyebarluaskan kemerdekaan Indonesia ke berbagai penjuru dunia agar kemerdekaan yang masih sangat baru itu segera diakui oleh dunia.
Ahmadiyah dan Pengejawantahan Pancasila
Setelah Jemaat Ahmadiyah berjuaang demi kedaulaatan NKRI dan Pancasila, maka perjuangan setelahnya adalah bagaimana mengejawantahkanPancasila baik dalam pemikiran ataupun amalan. Dalam hal ini Khalifah Internasional Ahmadiyah yang ke-IV yaitu Mirza Tahir Ahmad rh. secara tegas menyatakan bahwa pancasila adalah Golden Values[8], Pancasila adalah nilai-nilai emas yang beriringan dengan nilai-nilai luhur yang diperjuangkan oleh Islam Ahmadiyah.
Karena nilai-nilai Pancasila serasi dengan pemikiran Islam dan nilai-nilai Ahmadiyah adalah nilai-nilai Islam itu sendiri, maka begitu banyak tulisan-tulisan dari Pendiri dan Khalifah Jemaat Ahmadiyah yang serasi dengan nilai-nilai Pancasila. Karena tulisan harus dibatasi, maka penulis akan mencantumkan sekelumit tulisan-tulisan tersebut.
1.              Ahmadiyah dan Ketuhanan Yang Maha Esa
Topik Ke-Esaan Tuhan dalam sila pertama memang akan memilki dinamika persepektif sejalan dengan kemajemukan keyakinan di Indonesia. Dalam hal ini , perspektif yang akan disampaikan adalah menurut Islam Ahmadiyah, dimana pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hz. Mirza Ghulam Ahmad as. menulis :
Tuhan kita adalah Maha Esa dalam Wujud-Nya dan dalam Sifat-sifat-Nya. Tidak ada wujud lainnya yang bersifat abadi dan tegak dengan sendirinya seperti Wujud-Nya. Begitu juga sifat-sifat dari wujud lain yang menyamai Sifat-sifat-Nya. Pengetahuan seseorang membutuhkan seorang guru dan itu pun tetap terbatas. Pengetahuan Tuhan tidak memerlukan guru dan tanpa batas. Kemampuan pendengaran seseorang tergantung kepada udara dan bersifat terbatas, tetapi sifat mendengar Allah swt. bersifat inheren dan tanpa batas. Kemampuan penglihatan manusia tergantung kepada adanya cahaya matahari atau sumber sinar lainnya serta bersifat terbatas, sedangkan penglihatan Tuhan adalah berasal dari Nur yang inheren dalam Wujud-Nya dan tanpa batasan apa pun. Kemampuan manusia untuk mencipta tergantung pada sarana dan waktu serta bersifat terbatas. Kemampuan Allahs.w.t. mencipta tidak bergantung pada apa pun, tidak juga pada waktu dan bersifat tanpa batas. Semua sifat-sifat-Nya tanpa banding dan tidak ada apa pun yang sepadan dengan Wujud-Nya atau pun sifat-sifat-Nya. Jika ada sifat-Nya yang dianggap cacat maka keseluruhan sifat-Nya juga pasti akan cacat dan karena itu ke-Esan[9]
Begitu luar biasanya keyakian mengenai Ke-Esaan Tuhan  di dalam Jemaat Ahmadiyah, karena keyakinan akan hal ini diyakini oleh pemeluk Jemaat Ahmadiyah menerobos ruang dan waktu di 214 negara. Para Ahmadi membuktikan Ke-Esaan Tuhan di 214 negara tersebut yang tentu negara-negara memiliki keragaman ideologi, budaya, keyakinan dll. Dan salah satu perjuangan Islam Ahmadiyah dalam mengimplementasikan Sila Pertama ini dengan upaya penerbitan Al-Qur’an ke dalam 100 bahasa dunia, agar nilai Ke-Esaan Tuhan yang syarat akan sifat Pengasih, Penyayang, dan Keadilan Universal itu bisa dinikmati oleh berbagai bangsa.
2.                 Ahmadiyah Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Tujuan utama dari kedatangan Islam adalah membentuk masyarakat yang menjalin hubungan baik dan memenuhi kewajiban dengan Allah swt. (vertical) dan dengan sesama mahluk Allah swt (horizontal). Sila pertama dari Pancasila membicarakan tentang kewajiban pertama, maka begitu indahnya Pancasila dimana sila kedua langsung membicarakan kewajiban kedua itu. Dalam sila ini kita diarahkan agar memiliki kesadaran yang tinggi untuk bersikap empati dalam bentuk fikiran, perkataan dan amalan kepada seluruh umat manusia tanpa membedakan keyakinan, suku, bahasa dll. Untuk itu  Hz. Mirza Masroor Ahmad aba. menulis :
Pengkhidmatan nilai kemanusiaan menghendaki seseorang untuk tidak beristirahat sampai ia selesai memecahkan masalah orang lain dan memikul beban orang lain ke pundaknya sendiri. Hal ini memerlukan hati seseorang senantiasa tercurah oleh cinta kepada orang lain, dimana ia tidak hanya peduli untuk kenyamanannya sendiri – melainkan dia hanya peduli kepada kenyamanan orang lain. Hal ini membutuhkan bahwa seseorang harus selalu siap secara pribadi untuk memikul segala tekanan demi orang lain dan menganggap rasa sakit orang lain seolah-olah sebagai rasa sakit dirinya sendiri. Hal ini membutuhkan bahwa seseorang siap untuk menanggung penderitaan dan kegelisahan pribadi sehingga orang lain dapat hidup dengan damai dan kepuasan[10].
 (Gambar : Sebagian dari aksi kemanusiaan Humanity First Indonesia di tengah Pandemi Covid-19)
Lewat badan kemanusiannya, Humanity First, di Indonesia Jemaat Ahmadiyah telah berusaha untuk mewujudkan pengkhidmatan kemanusian yang universal. Dalam berbagai bencana-bencana alam di di Indonesia, tim Humanirty First selalu berusaha ikut serta mendirikan posko bantuan kemanusian. JAI merupakan salah satu komunitas donor darah terbesar di Indoensia. Setiap triwulan, para Muslim Ahmadi di berbagai cabang di seluruh Indonesia serentak mengadakan Gerakan Donor Darah Nasional. Dalam segi donor mata, organisasi Islam ini menjadi penyumbang calon donor mata terbesar di Indonesia dengan calon donor mata nya melebihi 6000 orang, karena MURI mengganjarkanya dengan rekor nasional donor kornea terbanyak di Indonesia. Terbaru dalam Pandemi Covid-19, seluruh cabang dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang berjumlah lebih dari 300 cabang  membuat gerakan-gerakan kemanusian seperti pembagian hand sanitizier, masker, sembako, donor darah siaga dll.
3.                  Ahmadiyah dan Persatuan Indonesia
Jemaat Ahmadiyah memiliki moto hidup yaitu Love For Allah Hatred For None yang artinya Cinta Untuk Semua dan Tiadak Benci Bagi Siapapun. Moto ini pun diamalkan betul oleh JAI, dimana mereka demi persatuan NKRI terus menyebarkan cinta dan kasih sayang. Walaupun mengalami berbagai persekusi di berbagai wilayah dalam kurun waktu puluhan tahun, tapi JAI tidak pernah mengadakan serangan balasan. Mereka membalas cacian dengan doa, membalas pengusiran dengan pengkhdimatan. Dan nilai-nilai ini betul-betul penjagaan terhadap Persatuan Indonesia.
Akhak-akhak luhur dalam cinta kasih dan pemaafan itu adalah hasil sirama rohani dari Pendiri Jemaat Ahmadiyah, dimana beliau menulis :
Sekiranya kamu ingin agar Tuhan ridha kepadamu di langit, maka segeralah bersatu-padu dan seakan-akan kamu sekalian antara satu dengan yang lain bagaikan saudara-saudara sekandung layaknya. Di antara kamu sekalian yang paling mulia adalah ia yang paling suka memaafkan kesalahan saudaranya; dan malanglah ia yang bersikeras kepala dan tidak bersedia memaafkan kesalahan orang lain; orang yang semacam itu bukanlah bagian dari Jemaatku.[11]
4.                 Ahmadiyah Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
Dalam mengamalkan sila ini, JAI dalam perkembangannya sudah melewati berbagai kepala pemerintahan dengan berbagai coraknya. Tetapi dalam perjalanan panjang itu JAI selalu menjadi warga Negara yang loyal terhadap pemerintah yang berwenang. Karena JAI selalu berkeyakinan bahwa pemerintah yang ada adalah hasil dari kebijaksanan dan permusyawaratan keadilan.
Dalam internal JAI sendiri nilai-nilai musyawarah sangat dinjunjung tinggi, sehingga dewan tertinggi di Jemaat Ahmadiyah adalah Majlis Syuro, yaitu Majlis Musyawarah tahunan yang dihadiri oleh wakil-wakil dari seluruh cabang di Indonesia. Dalam majlis ini hikmat kebijaksannaan sangat dijunjung sehingga doa dan prinsip ketakwaan selalu dikedepankan. Dalam Majlis Syuro ini juga akan dipilih Pengurus Besar (PB) JAI untuk kurun waktu tiap 3 tahun. Mekanisme yang berlaku di nasional ini pun berlaku di tingkat cabang-cabang lokal.
5.                    Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Berkenaan dengan topik ini telah dituliskan
Kita harus menyadari tanggung jawab kita sebagai manusia dan harus mencoba memperhatikan untuk memecahkan masalah hak asasi manusia, yang akan membantu menegakkan perdamaian di dunia. Jelas, upaya ini harus didasarkan pada keadilan dan memenuhi seluruh persyaratan keadilan.[12]
Walaupun sebagai kelompok minoritas terkadang JAI belum mendapatkan keadilan dasar misal hak beribadah dengan tenang. Tetapi JAI tidak berkutat mau sebagai korban, bahkan berusaha menjalin komunikasi dengan berbagai elemen masyarakat untuk bisa mewudukan pemenuhan HAM di berbagai wilayah. Paling minimal, JAI menjunjung tinggi HAM dengan cara ketika terjadi persekusi terhadap mereka, mereka tidak mengadakan serangan balasan begitu saja, tetapi melawan nya lewat jalur silaturahmi dan advokasi. Dengan pola itu kepercayan terhadap konstitusi sebagai pencipta keadilan social berusaha terus dirawat.
Dengan perjalanan panjang Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Pancasila yang selama ini terus beriringan, maka mereka akan menatap masa depan dengan visi sama yaitu kesejahteraan untuk seluruh bangsa Indonesia.
 


[1] Jemaat Muslim Ahmadiyah mulai masuk dan berkembang di Indonesia pada tahun 1925, di tahun-tahun ketika NU dan Muhamadiyah juga mulai berkembang di Indonesia.
Diakses pada tanggal 1 Juni 2020 pukul 11:35
[3] Achamad Rizali, Makalah Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI), tersedia (online)
Diakses  pada tanggal 1 Juni 2020 pukul 11:42
[4]M.A.Suryawan, Bukan Sekedar Hitam Putih (Jakarta : 2005) hlm 187
[5] Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi ( Jakarta : 1964) hlm. 345-346
[6] Jemaat Ahmadiyah Indoesia, Kami Orang Islam, cetakan ke-VI, 1989, hlm 115-116
[7] Khalifah dalam Ahmadiyah adalah bentuk kepemimpinan rohani bukan politik
[8] Majalah Sinar Islam, 1985
[9] Mirza Ghulam Ahmad, Khutbah Lahore, Lahore, Rifahi Aam Steam Press, 1904; Ruhani Khazain, vol. 20, hal. 152-155, London, 1984.
Dicantumkan dalam kompilasi Inti Pokok Ajaran Islam(terjemahan : A.Q. Khalid), Neratja Press, 2014, hlm 49.
 [10] Hazrat Mirza Masroor Ahmad, pidato utama pada konferensi Internasional badan amal Humanity First pada Sabtu, 24 Januari 2015
[11] Mirza Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh (Neratja Press, Cetakan ke-V, 2018), hlm 23-24
[12] Mirza Masroor Ahmad, Krisis Dunia dan Jalan Menuju Perdamaian (Neratja Press, Cetakan ke-IV, 2017), hlm 12-13

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *