Tafsir Hadis tentang Para Imam Yang Menyesatkan dan Diletakkannya Pedang di Tengah-Tengah Umat Islam

نحمده ونصلي على رسوله الكريم
بسم الله الرحمن الرحيم

وعلى عبده المسيح الموعود


Tafsir Hadis tentang Para Imam Yang Menyesatkan dan Diletakkannya Pedang di Tengah-Tengah Umat Islam

Ada tersebut dalam sebuah riwayat:
عن ثوبان، قال: قال رسول اللّٰه صلى اللّٰه عليه وسلم: إِنَّمَا أَخَافُ عَلٰى أُمَّتِيَ الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ، وَإِذَا وَقَعَ فِيْ أُمَّتِيَ السَّيْفُ لَمْ يُرْفَعْ عَنْهَا إِلٰى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
“Dari arat Tsaubānra, beliau berkata: arat RasūlullāhSAW bersabda: Sesungguhnya, yang Aku takutkan atas umatku semata-mata adalah para imam yang menyesatkan. Dan, apabila pedang telah diletakkan di tengah-tengah umatku, pedang itu tak akan dilepaskan dari mereka hingga hari kiamat.”[1]
Mengenai para ulama dan imam yang menyesatkan, Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah, arat Mīrzā Ghulām Amad Al-Qādiānīas yang merupakan Imām Mahdī dan Masīḥ Mau‘ūd pada akhir zaman ini bersabda:
“Ketika telah jelas dari penjelasan yang lalu bahwa raja-raja Islam pada zaman ini tidak mampu memperbaiki kerusakan-kerusakan yang berkobar bagai matahari dan bulan, Engkau selanjutnya berhak untuk berkata bahwa fitnah ini sebenarnya lahir dari kebodohan orang-orang yang bodoh dan kelak akan tiada dengan pengajaran para ulama karena merekalah para pewaris arat NabiSAW dan orang-orang yang ahli dalam urusan ini dan karena mereka tercahayai dengan cahaya ilmu lantas mereka diharapkan untuk memperbaiki apa yang tidak dapat perbaiki sultan-sultan berbagai negeri. Namun, ketahuilah! Sesungguhnya, Aku, setelah menghadiri majlis para ulama ini dan menyertai mereka layaknya para pecinta, setelah mendatangi mereka dengan pakaian kehampaan di hadapan mereka bagai orang-orang yang asing atau bodoh, mengeksaminasi kecintaan, kedendaman, kesusahan, dan kemakmuran mereka, dan setelah mengetahui sejauh mana kedambaan-kedambaan mereka dan ketakwaan yang mereka miliki, tampaklah kepadaku bahwa kebanyakan mereka bagi Islam adalah layaknya penyakit, tidak seperti obat. Mereka bagi agama adalah layaknya serangan dan topan yang gelap, tidak seperti pelita dan cahaya yang menerangi. Mereka mengumpulkan segala aib dalam tiap perangai dan tingkah laku. Mereka menodai diri mereka sendiri dengan kenistaan-kenistaan yang banyak. Mereka berusaha mengambil harta manusia untuk diri mereka sendiri dengan segala tipu daya, dengan jalan apa pun yang telah disepakati, dan dengan ayat muslihat. Mereka berkata, tetapi mereka tidak melaksanakan. Mereka memberi wejangan, tetapi mereka tidak sudi menerima wejangan. Mereka berangan-angan untuk memetik tanpa menanam. Hati mereka keras. Lisan mereka buruk dan hati mereka gelap. Penglihatan mereka lemah. Nurani mereka mati. Akal mereka bercacat. Kedambaan mereka rendah. Amal mereka rusak. Tidaklah Engkau melihat niat mereka mengenai seseorang yang menyelisihi mereka, selain berbicara dengan panjang lebar tentangnya lalu dengan muslihat apa pun mereka mengkafirkan dan mencela orang itu, dan tentang hartanya yang mereka harapkan untuk mereka punyai lalu dengan jalan apa pun mereka berusaha mengambilnya. Mereka angkuh dengan ilmu yang sedikit lagi cetek. Tidaklah mereka, kecuali bak seekor keledai. Mereka memerintahkan manusia untuk meninggalkan dunia dan perhiasannya kemudian mereka sendiri menuntutnya lebih-lebih dari orang-orang awam dan mereka berupaya menawarnya walau dengan jalan yang haram. Mereka berusaha merebut tempat-tempat sedekah para penguasa. Tatkala mereka dikabarkan, mereka bersegera menjumpai para penguasa itu dalam kefakiran bagaikan orang-orang asing. Mereka mengikuti jenazah, tetapi tidak untuk salat, tetapi untuk sedekah. Mereka terus meminta-minta dengan mendesak-desak walau telah dipukul mundul semundur-mundurnya. Mereka tidak menerima kebenaran dan tidak pula memahaminya walau kebenaran itu adalah suatu penjelasan yang mampu membuat seorang yang buta dapat melihat lagi.”[2]
Ini adalah suatu kenyataan yang Kita tak kuasa untuk menangkalnya. Para ulama pada zaman ini telah sedemikian rupa menyimpang dari ajaran Islam sehingga mereka justru mengecoh dan menipu kaum muslimin. Keadaan mereka persis seperti keadaan ulama Banī Isrāīl pada zaman Nabi ‘Īsāas sebagaimana telah dinubuatkan:
حدثنا أبو بكر أحمد بن محمد بن إسماعيل المقرئ؛ قال: حدثنا الحسن بن عرفة، قال: حدثنا المحاربي؛ عن عبد الرحمن بن زياد بن أنعم، عن عبد اللّٰه بن يزيد، عن عبد اللّٰه بن عمرو، قال: قال رسول اللّٰه صلى اللّٰه عليه وسلم: سَيَأْتِيْ عَلٰى أُمَّتِيْ مَا أَتٰى عَلٰى بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ، مِثْلًا بِمِثْلٍ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ.
“Abū Bakr bin Amad bin Muammad Al-Muqri’ menceritakan kepada Kami; dia berkata: Al-asan bin ‘Arafah menceritakan kepada Kami; dia berkata: Al-Muḥāribī menceritakan kepada Kami; dari ‘Abd-ur-Ramān bin Ziyād bin An‘am, dari ‘Abdullāh bin Yazīd, dari arat ‘Abdullāh bin ‘Amrūra, beliau berkata: arat RasūlullāhSAW bersabda: Kelak akan menimpa umatku apa yang telah menimpa Banī Isrāīl, satu persatu layaknya jejak satu bagian terompah dengan terompah pasangannya.”[3]
Layaknya Banī Isrāīl, taktala mereka jatuh ke dalam kesesatan, Allah mengutus ‘Īsā bin Maryamas sebagai Al-Masīḥ bagi mereka, Dia pun mengirim dari hadirat-Nya seorang Al-Masīḥ bagi umat MuammadSAW ketika umat Islam menyimpang dari ajaran PendirinyaSAW agar mereka tidak terjerembab ke dalam api neraka. Al-Masīḥ itu adalah Mīrzā Ghulām Amad bin Mīrzā Ghulām Murtaḍāas.
Berikutnya, apa yang dimaksud dengan, “Sekali pedang hadir di dalam umatku, mereka tidak akan lepas darinya hingga hari kiamat”? Sejatinya, kata hari kiamat di sini bukanlah hari ketika seluruh alam semesta hancur dan segala kehidupan musnah, melainkan ini adalah isyarat kepada zaman Masīḥ Mau‘ūdas karena beliau disifati dalam hadis sebagai:
لَا يُوْقِظُ نَائِمًا وَّلَا يُهَرِيْقُ دَمًا.
“Tidak membangunkan orang tidur dan tidak pula menumpahkan darah.”[4]
Dan:
يَضَعُ الْحَرْبَ.
“Menyudahi peperangan.”
Atau:
وَتَضَعُ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا.
“Peperangan akan melepaskan beban-bebannya.”[5]

Juga:
Mengenai hadis ini, Masīḥ Mau‘ūdas menjelaskan:
“Oleh karena itu, Al-Mahdī yang juga dipanggil sebagai Masīḥ Mau‘ūd akan secara pasti mengakhiri peperangan. Dia akan memerintahkan manusia untuk tidak berperang atas nama agama. Namun, wajib bagi mereka untuk menyebarkan agama dengan cahaya-cahaya ketulusan, mukjizat-mukjizat akhlak, dan tanda-tanda kedekatan dengan Tuhan. Kebenaran demi kebenaran Aku kumandangkan bahwa seseorang yang berperang atas nama agama, mengadvokasi pembunuhan, mengajak orang lain kepada hal itu, baik secara terbuka maupun tertutup, atau menginginkan hal itu di dalam hatinya, dia sungguh telah membangkang terhadap Allah dan Rasul-NyaSAW dan dia sungguh telah keluar dari perintah-perintah, batasan-batasan, dan kewajiban-kewajiban yang datang dari keduanya.”[6]
Justru, pada masa beliau inilah dan melalui beliaulah Islam akan meraih kejayaannya yang kedua kali dan untuk selama-lamanya, sedangkan kekuatan setan akan dibinasakan. Beliau dengan penuh kejombangan menerangkan:
“Dan kepadanyalah Allah mengisyaratkan dalam firman-Nya إِلٰى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ sebagaimana orang-orang yang bertadabur mengetahuinya. Tidaklah dimaksudkan dengan firman ini kebangkitan orang-orang mati, tetapi yang dimaksudkan dengannya adalah kebangkitan orang-orang yang sesat setelah mereka sesat. Ini dikuatkan dengan firman Allah Taala yang lain di dalam Alquran لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ sebagaimana hal itu tidak tersembunyi bagi orang-orang yang berakal dan para pemilik ‘irfān karena pemenangan agama Islam di atas agama-agama lain tidak dapat terlaksana, kecuali dengan keterangan yang besar, hujah yang kokoh lagi agung, dan banyaknya orang-orang saleh dan bertakwa. Tidak diragukan bahwa suatu agama yang mampu memberikan petunjuk-petunjuk yang menyampaikan kepada keyakinan, mensucikan jiwa dengan sebenar-benarnya pensucian, dan menyelamatkan mereka dari tangan setan yang terlaknat, itulah agama yang perkasa dan yang mengalahkan semua agama selainnya dan itulah agama yang dapat membangkitkan orang-orang mati dari kubur syak-wasangka dan maksiat dan yang dapat menghidupkan mereka dengan ilmu dan amal atas karunia Allah Yang Maha Memberi. Allah telah menentukan bahwa agama-Nya tidak akan menjadi perkasa dengan keperkasaan yang paripurna, tidak pula kebanyakan hati akan dikaruniai petunjuk-petunjuk kebenaran, dan tidak pula kebanyakan hati akan dianugerahi ketakwaan, kecuali pada zaman Masīḥ Mau‘ūd dan Mahdī Ma‘hūd. Adapun zaman-zaman sebelumnya, takwa dan pengetahuan tidaklah menyeluruh, bahkan yang banyak adalah kefasikan dan kepenyimpangan.”[7]
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat! Jazākumullāh!
[1] Misykāt al-Maṣābīḥ, Kitāb Al-Fitan, Al-Fal Ats-Tsānī, no. 5394.

[2] Ḥaḍrat Mīrzā Ghulām Aḥmadas, Al-Hudā Wa At-Tabirah Li Man Yarā dalam Rūḥānī Khazā’in v. 18 (Surrey: Islam International Publications Limited, 2009), h. 313.

[3] Al-Ibānah ‘An Syarī‘at Al-Firqat An-Nājiyah, Bāb I‘lām an-NabīSAW, no. 714.

[4] ‘Alī bin Ḥusām-ud-Dīn Al-Muttaqī Al-Hindī, Al-Burhān Fī ‘Alamāti Mahdī Ākhir az-Zamān (Tanta: Dār aṣ-Ṣaḥābah Li at-Turāts, 1992 M/1412 H), h. 25.

[5] Tafsīr Ibni Abī Ḥātim Ar-Rāzī, no. 6249.

[6] Ḥaḍrat Mīrzā Ghulām Aḥmadas, aqīqat al-Mahdī dalam Rūḥānī Khazā’in v. 14 (Surrey: Islam International Publications Limited, 2009), hh. 431-432.

[7] Ḥaḍrat Mīrzā Ghulām Aḥmadas, Al-Khubah Al-Ilhāmiyyah dalam Rūḥānī Khazā’in v. 16 (Surrey: Islam International Publications Limited, 2009), hh. 321-322.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *