Oleh: Ilham Sayyid Ahmad
Pernahkah kita bertanya, mengapa Hz. Rasulullah saw. begitu menekankan barisan yang lurus dalam shalat? Apakah ini hanya soal disiplin atau ada rahasia lain yang tersembunyi dalam keteraturan itu? Saat itu, mungkin kita belum sepenuhnya memahami alasan di balik penekanan tersebut. Namun, seiring waktu, kita mulai mengetahui hikmah kerohanian yang terkandung di dalamnya.
Namun, pada kesempatan ini, penulis tidak akan membahas pelurusan barisan dalam shalat dari aspek rohani. Sebaliknya, kita akan mengeksplorasi perspektif lain: adakah hikmah ilmiah di balik kerapatan barisan dalam shalat?
Penulis memilih perspektif ini karena meyakini bahwa ciptaan Allah Ta’ala tidak bertentangan dengan hukum-hukum alam. Sebaliknya, semakin dalam kita mempelajari sains, semakin jelas terlihat kesempurnaan dan harmoni antara ibadah dan hukum alam. Dalam tulisan ini, kita akan melihat pelurusan barisan shalat melalui lensa ilmu fisika. Mari kita eksplorasi bersama rahasia di balik pelurusan barisan shalat dari sudut pandang ini.
Gelombang Elektromagnetik
Para pembaca mungkin bertanya-tanya, apa hubungannya shalat dengan gelombang elektromagnetik? Untuk memahaminya, mari kita mulai dengan konsep sederhana tentang gelombang elektromagnetik. Secara sederhana, gelombang elektromagnetik adalah bentuk energi yang mencakup cahaya. Namun, cahaya yang kita kenal—seperti cahaya lampu atau sinar matahari—hanyalah sebagian kecil dari fenomena ini.
Cahaya memiliki berbagai tingkatan yang ditentukan oleh panjang gelombangnya. Rentang ini dikenal sebagai Spektrum Elektromagnetik . Menariknya, cahaya tampak—yang dapat dilihat oleh mata manusia—hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan gelombang elektromagnetik. Apakah Anda pernah membayangkan bahwa ada begitu banyak ‘cahaya’ di sekitar kita yang tidak bisa kita lihat? Untuk memberikan gambaran lebih jelas, berikut adalah ilustrasi Spektrum Elektromagnetik:

Gambar 1. Spektrum Elektromagnetik: Rentang panjang gelombang dari gelombang radio hingga sinar gamma.
Gambar 1 di atas menunjukkan spektrum gelombang elektromagnetik yang diurutkan berdasarkan panjang gelombangnya. Panjang gelombang adalah jarak antara satu puncak gelombang ke puncak gelombang berikutnya. Untuk mempermudah pemahaman, perhatikan ilustrasi berikut:

(Gambar 2. Cara melihat panjang suatu gelombang.)
Semakin rapat jarak antar puncak gelombang, semakin pendek panjang gelombangnya. Dan menariknya, semakin pendek panjang gelombang, semakin besar pula kemampuannya menembus benda padat. Misalnya, sinar-X—yang memiliki panjang gelombang sangat pendek—mampu menembus jaringan lunak seperti daging, tapi tertahan oleh tulang. Itulah sebabnya sinar ini digunakan dalam dunia medis untuk melihat struktur tulang manusia. Bahkan, sinar gamma yang lebih rapat lagi memiliki daya tembus ekstrem hingga dapat merusak struktur DNA di dalam tubuh.
Dari fenomena alam ini, penulis menarik pelajaran tentang pentingnya kerapatan barisan dalam shalat. Jika dalam fisika, kerapatan gelombang menentukan kekuatannya menembus medium, maka dalam ibadah pun, kerapatan hati dan fisik kita bisa memperkuat daya tembus ruhani menuju Ilahi. Bagaimana menurut para pembaca? Apakah kita dapat menghubungkan keteraturan alam ini dengan barisan dalam shalat?
Ibadah Islam adalah Persatuan
Lebih jauh lagi, jika kita amati, seluruh bentuk ibadah dalam Islam sesungguhnya mengarahkan kita untuk bersatu dan membentuk ikatan yang terpadu. Semakin giat kita melaksanakan ibadah-ibadah tersebut, semakin kuat pula kita sebagai satu kesatuan umat.
Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda bahwa Allah Ta’ala menghendaki agar seluruh umat manusia menjadi seperti satu jiwa yang tunggal. Inilah yang disebut sebagai “Wahdat Jumhuri”—sebuah konsep di mana banyak individu dipandang sebagai satu kesatuan dalam tatanan yang seragam. Agama pun membawa misi yang serupa, yaitu menjadikan manusia bagaikan butir-butir tasbih yang dirangkai dalam satu benang persatuan. Salah satu contohnya adalah shalat berjamaah, yang merupakan sarana penting untuk mencapai tujuan ini—di mana seluruh peserta shalat dihitung sebagai satu kesatuan yang utuh di hadapan Allah.
Mari kita perhatikan bagaimana Islam secara bertahap membangun kesatuan umat melalui tahapan ibadah yang semakin luas. Dimulai dari shalat lima waktu di masjid-masjid lingkungan, di mana penduduk sekitar diajak untuk merapatkan saf dan saling mengenal. Tujuannya bukan sekadar menjalankan kewajiban, tetapi juga agar terjadi pertukaran akhlak, cahaya-cahaya rohani saling menyatu untuk mengikis kelemahan, serta menciptakan kedekatan—yang pada akhirnya menjadi fondasi bagi persatuan.
Lalu, setiap pekan, Allah Ta’ala menetapkan shalat Jumat sebagai momen kolektif yang lebih besar. Warga kota berkumpul di masjid jami’, memperluas lingkaran ukhuwah yang sebelumnya hanya terjadi di lingkungan terdekat. Dengan berkumpulnya umat setiap hari Jumat, diharapkan hubungan antar sesama menjadi lebih erat dan semangat persatuan pun semakin tumbuh.
Setahun sekali, lingkaran itu semakin melebar dalam shalat Idulfitri dan Iduladha. Warga dari berbagai penjuru kota dan desa bertemu, memperkuat rasa kebersamaan yang lebih luas dan lintas wilayah.
Hingga akhirnya, puncak dari seluruh rangkaian ini terjadi di Padang Arafah—sekali dalam seumur hidup. Di sinilah umat Islam dari seluruh penjuru dunia bersatu dalam satu saf raksasa, tanpa memandang perbedaan bahasa, warna kulit, atau status sosial. Intinya, melalui tahapan-tahapan ibadah ini, Allah Ta’ala menghendaki agar kasih sayang dan kedekatan di antara sesama manusia terus tumbuh dan menguat.[1]
Dari saf di masjid kecil hingga barisan umat di Arafah, Islam merajut jalinan persatuan yang makin kuat dan mendalam. Inilah wahdat jumhuri yang dikehendaki Allah Ta’ala—kesatuan yang dibangun bukan hanya secara fisik, tapi juga lewat penyatuan hati dan ruh. Dan persatuan itu hanya bisa dibangun jika kita saling mendekat, mengikis jarak, serta berbagi cahaya kerohanian.
Mari kita menjadi seperti gelombang yang semakin rapat, semakin besar daya tembusnya. Demikian pula hati manusia—semakin rapat terhubung dalam kebersamaan, semakin kuat pula pancarannya menuju Ilahi. Dalam saf yang rapat, bukan hanya tubuh yang berdiri sejajar, tetapi juga jiwa yang menyatu. Dan dari sanalah, pandangan batin kita bisa menembus langit, menyaksikan kehadiran Tuhan dengan kejernihan yang tak terhalangi.
Semoga tulisan sederhana ini tidak sekadar memberi pemahaman, tetapi juga menyalakan kembali kerinduan kita untuk merapatkan saf—bukan hanya di masjid, tetapi juga dalam hati. Karena dalam kebersamaan yang rapat itulah, kita bisa merasakan kehadiran-Nya lebih dekat.
[1] (Al-Badr, Jilid 3, Nomor 34, Tanggal 8 September 1904, Halaman 5)